23 - Kebodohan-Kebodohan yang Dikombinasikan akan Menghasilkan Penyesalan

13 5 0
                                    

Seharusnya Mingi mengurungkan niatnya untuk kembali mabuk saat tahu ruangan privat yang biasa disewanya sedang penuh. Bukan meneruskan niatnya dengan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan barista, dengan musik yang memekakkan telinga dan orang-orang yang banyak menaruh mata kepadanya.

Oke, untuk yang terakhir mungkin Mingi masih bisa berpura-pura tidak menyadarinya. Namun, entah sudah berapa banyak perempuan yang mencoba mendekati Mingi. Mulai dari mendiamkannya hingga Mingi mengusir dengan kasar sudah dilakukanya dan rasanya eksistensi orang-orang penganggu ini semakin banyak karena merasa tertantang.

Apakah bisa Mingi dianggap tidak ada dan membiarkannya minum dengan tenang?

Namun, sepertinya itu hanyalah harapan kosong Mingi lantaran sekarang dia kembali didekati oleh perempuan yang berpakaian minim, parfum yang menyengat dan suara yang sengaja dibuat-buat serak.

Memangnya apa yang menarik dari suara seperti itu? Seperti orang yang tidak mampu membeli air untuk diminum. Kemudian, Mingi berdecak karena orang yang berpakaian yang kurang bahan, memangnya mampu untuk membeli minuman saat menutupi dirinya dengan layak tidak bisa.

"Hai, tampan. Apakah...?"

Mingi bahkan tidak membiarkan perempuan itu menyelesaikan perkataannya, karena Mingi sudah mengangkat sebelah tangannya dan memberikan gestur untuk pergi. Namun, Mingi menyadari kalau perempuan itu masih berdiri di sampingnya, membuatnya yang tengah minum, akhirnya meletakkan gelasnya dan berkata, "Pergi. Aku tidak mau diganggu."

Namun, Mingi merasa semua perempuan yang menghampirinya semakin lama semakin dungu karena tidak mengerti bahasa manusia. Apalagi mendengar tawa perempuan itu, seolah yang Mingi katakan tadi itu lucu, padahal dia jelas-jelas mengusir perempuan itu dari hadapannya.

"Aku tahu kamu sedang ... AAACK!"

Mingi menatap perempuan yang sudah tersungkur di lantai dengan dua kursi yang menghadap ke bar juga terjatuh, karena tadi menyentuh dan mencoba untuk memeluk lengannya. Perempuan itu ditolong oleh dua orang lelaki, kemudian perempuan tersebut menatap Mingi dengan marah.

"Apa yang kamu lakukan dengan pacarku?!?" teriak lelaki itu yang mencoba mencengkram lengan Mingi, tetapi ditepisnya. "Hei, aku berbicara denganmu, brengsek!"

Mingi menghabiskan minuman di gelasnya, lalu melemparkan gelasnya ke dekat kaki lelaki itu. Kemudian menatap lelaki itu dengan marah dan Mingi berkata, "Aku sudah dari tadi mengusirnya dan dia justru semakin melewati batasan dengan menyentuhku!"

Namun, lelaki itu justru menyerang Mingi dengan meninju wajahnya hingga terjatuh dari kursinya. Tentu Mingi tidak terima dan menyerang lelaki itu, meski mendengar teriakan dan melihat darah yang mulai tergenang karena ternyata mendorong ke arah gelas yang dilemparkan tadi. Meski kepala Mingi sudah mengulang-ulang memberikan perintah untuk dirinya berhenti, tetapi tidak dilakukannya karena kesal.

Atau mungkin efek alkohol yang sudah benar-benar mengambil alih tubuh Mingi. Entahlah, Mingi tidak mau tahu dan tidak mau memikirkannya. Steelah itu, Mingi tidak begitu mengingat apa yang terjadi dan saat membuka matanya, dia sudah berada di kantor polisi. Tidak mengatakan apa pun meski polisi serta orang yang diserangnya berteriak-teriak untuk memenjarakannya.

"Maaf saya baru datang...," suara itu nyatanya tetap tidak membuat Mingi menoleh, meski tahu itu siapa yang mengirimnya, "saya pengacara Tuan Song. Apa Anda bisa menjelaskan kepada saya apa yang terjadi?"

Mingi membuang wajahnya ke arah lain, tetapi sialnya itu justru membuatnya menatap Siyeon. Membuatnya berdecih dan kembali menatap ke depan, tetapi melihat wajah polisi yang tadi mencoba menakutinya—karena ternyata lelaki yang dipukulnya adalah anak petinggi polisi—dan sekarang terlihat sumringah. Mingi menahan tawa, lalu mendelik ke arah Siyeon.

"Kita bisa berbicara nanti, Mingi. Sekarang biarkan Leeshim yang menyelesaikannya."

"Terserah, aku tidak peduli."

Apakah benar Mingi benar-benar tidak peduli? Karena nyatanya sekarang justru Mingi merasa kecewa, meski untuk tidak hal yang seharusnya.

Seharusnya Mingi tahu kalau San memang tidak akan datang kepadanya karena hubungan mereka yang telah berakhir. Juga karena mendengar nama lelaki lain yang mampu membuat San mengeluarkan emosi yang tidak pernah diperlihatkannya saat bersama dengan Mingi.

Seharusnya, Mingi sadar dan berhenti.

Namun, Mingi putus asa dan melakukan apa pun untuk mencoba membuktikan bahwa harapan itu ada untuknya kembali kepada San, meski melakukan hal bodoh sekali pun. Akan tetapi, sampai akhir ternyata harapan itu tidak pernah menjadi nyata dan itu menyakitkan.

"Ayo kita pulang," ucap Siyeon saat tahu semuanya sudah diselesaikan oleh pengacaranya, menepuk sebelah bahu Mingi dengan dua jarinya, "ke apartemen atau ke rumah? Tapi lebih baik kita...."

"Aku mau ke rumah, bukan apartemenmu!"

"Oh, oke."

Mingi berdiri dari kursinya dan limbung. Namun, saat menyadari jika Siyeon yang menangkap sebelah tangannya untuk membuat Mingi seimbang, dia menepis tangan perempuan itu. Berjalan keluar dari kantor polisi dan Siyeon menghela napas panjang, lalu mengikuti Mingi.

Mingi duduk sendirian di kursi penumpang di belakang, sementara Siyeon serta supir—yang sepertinya sebenarnya adalah kepala pelayan—duduk di depan. Tidak ada pembicaraan apa pun dan tidak ada yang memutar musik, karena tadi Mingi mengomel mendengar suara musik klasik. Hanya karena suara yang pertama didengarnya adalah biola dan itu mengingatkan Mingi dengan San yang terus mengulang-ulang lagu dari boyband Youngkyun berada, S#ARK.

Padahal Mingi sudah memastikan Youngkyun tidak akan bisa mendekati San semudah itu sejak sepuluh tahun yang lalu, tetapi kenyataanya dunia tetap tidak berpihak kepadanya. Karena San justru sekarang memilih seseorang yang jelas-jelas mengabaiannya dan bukan Mingi yang selalu berusaha untuk mereka bersama.



Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang