15 - Semuanya Berasa dari Disfungsional yang Tidak Berusaha Diperbaiki

12 6 0
                                    

Pagi hari saat sarapan dimulai dengan omelan Ayahnya kepada Mingi tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Namun, seolah-olah Ayahnya merasa pantas memperlakukan Mingi seperti itu setiap harinya dan sarapan yang berguna baginya bukanlah makanan, tetapi perbandingan pencapaiannya dengan Siyeon.

Rasanya ini adalah lelucon yang tidak lucu bagi Mingi. Karena Ayahnya yang terlalu membanggakan Siyeon, saat perempuan itu bukanlah anak kandungnya. Siyeon adalah anak dari hasil pernikahan Ibunya yang sebelumnya dan nyatanya perempuan itu jauh diperlakukan lebih baik dari Mingi yang notabene anak Ayahnya yang sebenarnya.

"Apa tidak bisa sehari aku sarapan dengan tenang tanpa semua omong kosong ini?" tanya Mingi yang sebenarnya tahu kalau ini hanya akan membuat Ayahnya semakin menjadi.

Namun, siapa yang tidak muak kalau terus mendengar hal seperti ini berulang-ulang?

"Lihat! Aku tengah berbicara dan kamu justru memotong perkataanku!"

Rasanya Mingi hendak menggebrak meja dan untuk kali ini dia melakukan konfortasi fisik dengan Ayahnya. Namun, perhatian mereka teralihkan saat Siyeon yang biasanya makan tanpa suara—bahkan Mingi mempertanyakan perempuan itu bisa memastikan alat makannya tidak menimbulkan bunyi—kali ini seperti sengaja meletakkan sumpitnya dengan keras. Kemudian Siyeon berdiri dari kursinya dan menundukkan kepalanya sesaat.

"Saya sudah selesai sarapan. Permisi."

Rasa-rasanya, Mingi baru kali ini melihat Siyeon bersikap seperti ini. Bahkan melihat ekspresi Ayahnya yang terngaga tidak percaya, sepertinya memang benar-benar mengejutkan. Suara pintu yang di tutup—yang sepertinya kali ini memang sengaja dibanting oleh Siyeon—membuat Mingi serta Ayahnya saling memandang, lalu melengos sembari membuang wajah ke arah lainnya.

Meski Mingi tidak tahu alasan Siyeon pagi ini bersikap anomali. Kemudian, Mingi berdecak saat kembali mendengar Ayahnya mengatakan omong kosong untuk mengomelinya. Meski kali ini, untuk pertama kalinya Ayahnya tidak melanjutkan membandingkan Mingi dengan Siyeon.

Seolah sikap Siyeon tadi baru disadari sebagai bentuk kurang ajar kepada Ayahnya.

Pada akhirnya, Mingi tidak bisa menghabiskan sarapannya karena muak mendengar suara Ayahnya. Tidak peduli jika itu membuat Mingi mendengar namanya diteriakkan beserta makian-makian yang seharusnya tidak diucapkan oleh seseorang yang harusnya menjadi orang tua yang menjadi contoh yang baik.

Biasanya Mingi langsung pergi dan tidak mengambil pusing Siyeon ke kantor dengan siapa. Perempuan itu sudah hidup lebih lama dari Mingi dan di rumah ini tidak kekurangan mobil untuk mengantar setiap penghuni rumah ke tempat tujuan masing-masing. Namun, kenyataannya Mingi justru berjalan berkeliling ke tempat-tempat yang kemungkinan Siyeon berada di sana.

Hal yang tidak Mingi perhitungkan adalah menemukan Siyeon yang berada di ruangan di mana abu Ibunya di simpan. Tidak seperti orang-orang, Ayahnya menolak untuk meletakkan abu Ibunya di rumah abu dan justru membuatkan sebuah ruangan yang didedikasikan untuk perempuan itu. Sering kali, Mingi bertanya-tanya kenapa Ibunya bisa tahan hidup bersama lelaki yang sialnya menjadi Ayahnya itu.

Kepala pelayan yang menyadari kehadiran Mingi, menoleh dan menundukkan kepalanya sesaat. Berbicara dengan suara sekecil mungkin—hingga Mingi tidak yakin dia mendengar atau menebak—sembari berkata, "Apa Tuan Muda akan melakukan penghormatan kepada Nyonya Besar?"

"Apa?"

Kemudian Mingi terbelalak, karena baru menyadari hari ini adalah hari peringatan kematian Ibunya. Akhirnya Mingi mulai mengerti semua sikap aneh Siyeon tadi dan sekarang merasa benar-benar buruk. Karena selama ini Mingi sering mengatakan hal-hal yang menyangkut Ibunya kepada Siyeon, lalu ternyata dirinya dengan mudahnya melupakan peringatan hari kematian Ibunya.

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Where stories live. Discover now