04 - Hal yang Hilang Sebenarnya Adalah Cinta

40 11 1
                                    

"Halo, San. Tumben meneleponku." Sapa Siyeon, meski tahu telpon mantan tunangan Adik tirinya itu pasti karena terjadi sesuatu. "Mingi melakukan apa kepadamu, San?"

"Noona, bisakah membantuku untuk membuat Mingi berhenti meneleponku? Aku tidak mau mengubah keputusanku atau bertemu dengannya selama beberapa waktu."

"Aku akan mencobanya, San. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa pun untukmu." Jawaban Siyeon yang membuatnya mendengar helaan napas panjang dari San. "Bagaimana kabarmu, San? Jangan lupa minum air mineral, karena tidak lucu seorang dokter sakit karena pola makannya yang berantakan."

"Aku baik, Noona sendiri bagaimana?"

"Kabarku seperti biasanya, San."

Tidak ada percakapan apa pun dan Siyeon memutar kursinya, untuk melihat jalanan malam Seoul. Sudah tidak macet, karena ini sudah jam 11 malam. Namun, bukan berarti sepi, karena yang dilihat Siyeon sekarang banyak orang yang berlalu lalang. Entah untuk pulang setelah hari yang panjang bekerja atau pergi bersenang-senang untuk melepaskan tekanan di tempat kerja dengan alkohol.

Hal yang Siyeon benci, karena itu membuatnya kehilangan Ibunya karena ditabrak oleh seseorang yang mabuk dan membuatnya tinggal di neraka dunia. Meski dari luar semua orang menganggap Siyeon beruntung karena hidup tidak perlu memikirkan uang dan Ayah tirinya berbaik hati untuk tetap membuatnya tinggal. Bahkan sejak beberapa tahun yang lalu justru menjadi penerus perusahaan keluarga, padahal dia bukanlah anak kandung Ayahnya.

Semua orang hanya memandang tentang harta dan takhta, tetapi tidak tahu yang Siyeon inginkan sebenarnya hanyalah cinta dari keluarganya.

"Noona...," suara San membuat lamunan Siyeon buyar dan tidak menyangka kalau lelaki itu masih tetap tersambung dengannya, "maafkan aku karena tidak bisa menepati janjiku kepadamu."

"Tidak apa-apa, San. Aku mengerti."

"Tidak, Noona tidak mengerti yang sebenarnya terjadi."

Siyeon mendengarnya hanya menghela napas. Memang benar, Siyeon tidak mengerti, tetapi bukankah lebih mudah jika dirinya mengatakan hal itu? Setidaknya Siyeon terdengar seperti orang yang pengertian kepada yang orang mengalaminya.

"Aku yakin Noona sudah mendengar alasanku putus dengan Mingi." Suara San membuat Siyeon hanya bergumam sebagai pertanda dia mendengarkan. "Tapi aku hanya mau bilang ini kepada Noona, karena aku senang bersamamu, itu semua tidak ada hubungannya dengan Youngkyun seperti semua orang katakan."

"Aku tahu, San."

"Noona, sudah aku katakan kamu tidak tahu apa-apa."

"Kalau begitu, apa kamu mau menceritakan kisahnya secara utuh untuk membuatku tahu?"

Helaan napas San yang didengar Siyeon hanya membuatnya tersenyum. Bukan karena Mingi yang disakiti oleh San yang membuatnya tersenyum, tetapi karena kepalanya bisa membayangkan sikap lelaki itu. Mungkin bisa dibilang, Siyeon senang dengan San karena lelaki itu adalah satu-satunya orang yang bisa disayanginya seperti Adik sendiri dan tidak menolaknya.

Karena nyatanya, Mingi yang notabene Adik tirinya, menolak keberadaan Siyeon.

"Sejak awal, aku tidak pernah mencintai Mingi." San kembali menghela napas panjang dan Siyeon kembali menatap jalanan dari jendela kantornya. "Aku hanya memanfaatkannya untuk bisa menggapai mimpiku dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk menghentikan semuanya." Ada jeda selama beberapa saat dan Siyeon mendengar San yang tengah meneguk sesuatu. Mungkin air es, karena San tidak suka minum air mineral dalam suhu ruang. "Aku hanya ingin mendapatkan kebahagiaanku setelah selama ini menipu semua orang dan diriku."

"San, terima kasih."

"Huh?"

"Terima kasih karena sudah menceritakannya kepadaku."

San mengerang dan kemudian berkata, "Noona ... berhenti untuk bersikap baik kepada semua orang!" Tentu itu membuat Siyeon hanya tersenyum, tetapi kemudian mendengar San berkata, "Jangan tersenyum mendengar omelanku! Berhenti bersikap baik kepada orang jahat sepertiku, Noona."

"Orang yang benar-benar jahat tidak akan pernah mengakui dirinya jahat, San."

"Siyeon Noona!!!"

Siyeon kembali tersenyum, tetapi tatapannya menjadi kosong. "San, apa aku bisa bertanya hal ini? Aku harap, kamu menjawab yang sejujurnya. Meski aku tidak akan tahu kalau kamu berbohong kepadaku."

"Hngg ... oke."

"Apa kamu benar-benar tidak pernah mencintainya?"

"Noona...," San kemudian menghela napas panjang, "aku sudah bilang kalau sejak awal bersama Mingi bukan karena perasanku. Karena dia satu-satunya pilihanku untuk bisa menggapai mimpiku." Namun, helaan napas yang kembali Siyeon dengar membuatnya mengangkat sebelah alisnya. "Tapi aku bukannya tidak pernah mencoba, Siyeon Noona. Hanya saja ... ternyata tidak bisa."

Hanya ada diam setelahnya dan Siyeon memutar kursinya. Mematikan komputernya, lalu berdiri untuk mengambil tasnya dan berjalan keluar ruangannya. Menghela napas karena melihat sekretarisnya yang masih tetap di kantor, padahal sejak jam 5 sore sudah Siyeon perintahkan untuk pulang.

"San...," panggil Siyeon saat dirinya menunggu pintu lift terbuka dan membiarkan sekretarisnya berada di belakangnya, "terima kasih."

"Siyeon Noona, aku sudah bilang untuk...."

Siyeon tahu memotong perkataan seseorang itu menyebalkan, tetapi dia sengaja melakukannya saat ini. Karena dia mau mengatakan, "Terima kasih karena telah mencoba untuk mencintai Mingi, San. Meski pada akhirnya itu bukan kesalahanmu karena sejak awal yang hilang dari kami adalah cinta."

"Siyeon Noona ... maaf."

"Aku tutup teleponnya ya, San." Siyeon pamit karena pintu lift akhirnya terbuka. "Serta sepertinya aku harus menjemput Mingi yang kehilangan kesadaran di tempat yang aku benci. Selamat malam, San."

Setelah sambungan telepon mereka berakhir, Siyeon menelepon nomor yang mengatakan berasal dari bar. Nomor yang setengah jam yang lalu meneleponnya untuk mengatakan bahwa mereka mendengar ruangan yang Mingi sewa terdengar suara lemparan gelas dan meminta untuk segera menjemput lelaki tersebut atau mereka akan menelepon polisi.

Alasan Siyeon baru pergi sekarang karena pekerjaannya tadi belum selesai dan karena telepon dari San. Juga karena tahu Mingi tidak akan pernah senang melihatnya saat keadaan sadar. Jadi lebih baik Siyeon datang saat Mingi sudah kehilangan kesadaran dan tidak perlu mendengarkan hal-hal yang menyakitkan dari orang yang berusaha untuk dimengerti serta disayanginya.

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Where stories live. Discover now