07. Biar Waktu Yang Habiskan

66 33 3
                                    

Sudah terhitung setengah tahun dari kepergiannya. Tanpa ada lagi kabar dan tawa dari dirinya. Tak ada lagi senyum yang selalu indah, senyum yang menjadi penenang dari gundahnya hati. Senyum itu menghilang, sama halnya dengan senyum di wajah ku.

Seakan dia redup bersama penciptanya.

Entah mengapa hujan selalu menemani kesedihan ku. Seakan tidak rela aku menangis sendirian.

Semesta ikut menangis kala hati sedang tak baik-baik saja.

Hampir setengah tahun ini hujan terus jatuh membasahi bumi. Mengisi kosongnya tong-tong penampuan air sampai meluap-luap, sama halnya dengan rindu yang kini meluap.

Rindu yang tak ku temui cara menyudahinya.

Dulu dengan mudah sekali menyudahi rindu ini cukup dengan nemuinya. Lantas kini bagaimana caranya?

Bahkan dia saja tak bisa ku temui lagi seperti dulu.

Pergi ke tempat peristirahatannya? Sungguh aku tak sanggup. Hanya akan ada tangisan disana.

Hujan di luar sana masih jatuh di atas bumi. Mungkin bumi sudah lelah menerima hantaman tangis yang kian kemari semakin deras.  Sama halnya dengan dada ku yang kini sudah terlampau sakit menahan sesak.

Buku  89 hari itu sudah habis ku baca. Kalau kalian bertanya apakah aku sanggup aku membacanya, jawabannya adalah TIDAK! Aku tidak sanggup membaca tiap halaman yang tergores oleh tinta hitam itu. Aku harus mengumpulkan keberanian untuk membalik tiap halamanya. Ada tangis yang selalu terdengar saat halaman itu siap ku baca.

Dan kini, catatan 89 hari itu sudah selesai ku baca. Halaman terakhir itu membuat ku benar-benar tersedu. Bagaimana harapannya harus terkubur bersama raganya. Semesta rupanya pernah membercandakan dia.

Bagaimana semesta melebihi dua hari saja jatah hidupnya di dunia. Dokter memvonisnya kanker otak stadium IV dengan masa bertahan hidup 89 hari saja.  Namun semesta memberinya izin sampai 91 hari. Tiga bulan lebih dua hari.

Sembilan puluh satu hari.

Dokter bilang cuma sampai 89 hari aja. Namun Tuhan kasih lebih dari itu, aku harap Tuhan beri waktu yang lebih panjang lagi.

Hari ini semua apa yang ingin aku wujudkan sudah siap di laksanakan. Terimakasih atas kesempatan yang sangat berharga ini, dan aku harap semua akan kembali seperti semula. Baik-baik aja. Dan aku ingin sehat.

Mungkin semesta hanya menginginkan dia menyelesaikan tugas yang belum terselesaikan itu. Agar tak ada risau yang mengganggunya disana.

Dan hari ke- 91 adalah hari terakhir, dimana aku bisa menatap kedua nayanika yang cerah itu. Andai aku tau hari itu adalah hari terakhir hidupnya, mungkinkan ku dekap dia selama mungkin.

Padahal hari itu sudah ku beri tau Tuhan untuk tidak merebutnya, namun takdir berkata lain.

Tuhan menjemputnya. Pukul 00.05 dia sudah tak ada lagi di dunia.

Langit ku runtuh hari itu. Bagaimana tidak? Sorenya dia masih tertawa begitu girang. Masih bisa berlarian di tepi pantai, masih bisa mendekap dan mengusap rambut ku.

Aku tidak bahagia. Aku tidak bisa bahagia tanpa diri mu Nathan.

Kamu sudah bahagia?

Kamu bilang senja itu sesaat, dan kamu tidak menyukainya. Namun mengapa kamu menjadi seperti senja itu? Mengapa kamu juga sesaat?

Kamu bilang, kamu cuma di titipkan Tuhan untuk menemukan kebahagian ku. Tapi kenapa semuanya benar? Kenapa kamu cuma di titipkan? Kenapa tidak selamanya?

Senja Dan Rindu [END]Where stories live. Discover now