32. Terkikis Waktu

21 3 0
                                    

Bunga-bunga kamboja di pemakaman luruh bertebaran di atas tanah. Menghiasi jalan menuju rumah terakhir manusia yang sudah tertidur selamanya.

Aku berjejak kesana. Ke rumah abadi sang pengisi hati yang sudah lama aku lupakan.

Hari ini aku harus berpamitan dengannya. Meninggalkan Ibu Kota yang selama ini rupanya hanya mampu melukai ku saja.

Bunga itu sudah ku taburkan di atas pusaranya. Berbaur bersama bunga baru yang aku tidak tau siapa yang hari ini berkunjung kesana.

Aku kirim doa pada raga yang sudah hancur di makan bumi. Aku selalu berharap dia bahagia di surga sana.

Aku harap dia benar-benar tertidur dengan tenang. Tanpa harus memeluk rasa sakit seperti dahulu.

Usai dengan doa ku, ku usap nisan dingin itu. Rasanya sangat berbeda saat aku tidak pernah ikhlas di tinggalkannya. Dahulu rasanya sangat menyakitkan, sampai-sampai dada ku membiru bila harus berada di samping pusaranya. Namun, setelah aku mengikhlaskan, setelah aku relakan dia pulang pada yang MahaKuasa. Sakit itu mereda. Kemudian hilang dan berganti dengan perasaan damai yang selalu aku harapkan.

Perasaanku pun mulai berubah. Lambat laun cinta itu terkikis oleh waktu. Semakin lama, cinta ku untuknya pudar begitu saja.

Aku bohong, bohong kalau aku masih mencintai Nathan.

"Maaf Nathan." Pertama-tama aku ingin meminta maaf pada nama yang kini aku jadikan alasan agar aku dan Rafa berakhir. Padahal seharusnya ia tak perlu ku bawa lagi dalam kehidupan baru ini.

"Aku sama Rafa udah selesai. Aku dan Rafa selesai di tempat yang sama kita selesai dulu. Tempat di mana aku meminta pada semesta untuk menjaga kamu, tapi kemaren aku berteriak pada semesta kalau aku membenci Rafa." Kata ku dan sedikit mengulas senyum ku.

"Nathan...ini rahasia, aku mau mengakui sesuatu. Jujur sebenarnya aku engga mau melepaskan Rafa, aku mau hidup lebih lama sama dia. Aku mau menghabiskan semua hidup ku bersama dia. Tapi, kalau keberadaan kita engga diizin orang tuanya, aku bisa apa, Than?" Hari ini aku mulai lagi menceritakan hal-hal dalam hidup ku. Mencurahkan segala isi hati pada gundukan tanah yang tidak akan pernah bisa membantu ku menemukan jawabannya. Namun, hati ku lega. Walaupun tidak ada jawabannya, aku senang bercerita kepadanya.

"Aku engga bisa merebut Rafa dari hidup dia yang sudah bahagia bersama orang tuanya. Dia udah ngabisin semua hidupnya di sana, dan aku di sini cuma orang asing. Aku engga boleh egois buat masuk dalam hidupnya. Aku juga ga mau di benci sama papa nya."

Dari dahulu aku mengharapkan kelak aku di sayang dengan mertua ku. Kelak aku di anggap anak juga oleh mereka. Hidupku sudah lelah di benci mama dan aku tidak mau di benci mertua juga.

Oleh sebab itu, aku meninggalkan Rafa. Bukan menyalahkan papanya, namun aku yang sadar diri bahwa bagaimanapun aku berusaha aku tidak pantas bersamanya.

Aku cuma mau dia dapat yang baik daripada aku.

Ternyata menjalin hubungan serius dengan teman dari kecil itu sedikit rumit. Aku seperti bermain-main, bingung akan perasaan sebenarnya.

"Nathan, kalau nanti aku bertemu lagi dengan lelaki yang berani menyakinkan ku bahwa hidup tidak serumit ini, aku janji akan bawa dia kesini. Aku akan perkenalkan dia sama kamu yang pernah buat aku yakin bahwa hidup engga serumit ini. Nathan, terimakasih sudah mendengarkan seluruh rasa sakit aku, terimakasih udah perkenalkan aku pada bahagia yang buat aku hari itu yakin untuk menjalankan hidup selanjutnya. Aku pamit."

Aku berdiri. Berjalan meninggalkan pusara yang mungkin tidak akan kunjungi untuk waktu yang cukup lama.

Sepertinya Surabaya akan menjadi rumah baru ku. Setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya aku meninggalkan kota ini. Memulai hidup baru di Surabaya adalah jalan yang tepat.

Senja Dan Rindu [END]Where stories live. Discover now