06. Katanya Harus

68 34 3
                                    

Hujan sudah berhenti setengah jam yang lalu. Rindu itupun turut mereda di dalam dada ku.

Kala lengkungan warna warni itu terbentang di angkasa, aku teringat lagi olehnya.

Hujan tadi cukup ganas menghantam bumi yang sudah seminggu ini terus menangis. Entah apa yang membuat bumi sakit, sehingga hari ini tangisnya sungguh deras.

Di luasnya langit yang kini tampak cerah dengan lengkuang yang cantik itu. Pelangi itu membuktikan bahwa setelah kepedihan ada sedikit bahagia yang muncul, setelah hitam ada warna yang cantik terbentang disana. Tapi apakah bisa semuanya abadi? Tidak, dia hanya datang sebagai penenang dari rusuhnya hati.

Hujan yang tadi ganas mendatangkan ketakutan pada setiap orang, dan pelangi itu datang membuat lengkung indah dan hati yang girang. Warnanya cantik, dan datangnya tak menentu. kadang ada, kadang tidak. Begitulah kebahagian yang sementara.

"Kursi sana kosong, duduk sana yok, Ya." Lelaki itu mengajak ku duduk di sebuah bangku taman yang panjang.

"Ehh jangan!!" Aku menahan lengannya saat ia ingin menghapus jejak air hujan di bangku itu dengan lengan kaus panjangnya. "Entar kotor baju lo."

"Ga pa-pa." Lelaki itu sudah menghapus jejak air itu dan membuat bangku itu menjadi kering.

Kini aku hanya mampu memandangin lelaki itu dengan senyum sendu ku.

Ia menoleh ke arahku, yang membuat ku mengerjap kaget. Soalnya aku masih asik melihat wajahnya.

"Kenapa?"

"Engga pa-pa." Jawab ku dan kembali memandang lurus pada lengkungan yang belum hilang itu.

Mata ku masih asik melihat betapa indah lengkungan itu, namun saat ia mulai hilang dari pandangan, mata ku memburam. Harusnya tak ada derai air mata lagi hari ini.

"Saat apa yang gue harapkan ga akan pernah hilang dari hidup gue, tapi nyatanya semua hilang. Pelangi itu menunjukan bukti bahwa kiasan yang dia akui dulu mirip dengan kehadiran dia," Kata ku, aku hanya bicara pada semesta ini, tidak berharap lelaki di sebelah ku membalas perkataan ku itu.

Dan benar saja, ia hanya terdiam.

"Gue adalah hujan yang nenangin hati, Katanya. Dan dia akan jadi pelangi itu. Ternyata dia benar-benar jadi pelangi dalam hidup gue. Padahal gue nganggap dia kebahagian gue." Ku tatap lelaki jangkung yang kini terduduk di sebelah ku, matanya pun berkaca-kaca. Lelaki itu membuang mukanya sejenak, guna menghilangkan tangis yang akan muncul begitu saja.

"Hujan dan pelangi adalah sesuatu yang pas. Hujan memberi manfaat ke setiap makhluk yang di bumi, dan pelangi memberi bahagia pada mereka. Hujan dan pelangi itu kehadirannya sama-sama di tunggu. Mereka punya sisi negatif dan positifnya masing-masing. Dia memberi kiasan itu karna semuanya menjadi indahㅡ Gelap yang selalu datang menjadi terang dan memberi warna yang indah, Ya walaupun ngga lama, tapi setidaknya dia pernah jadi orang yang paling bisa buat warna gelap itu menjadi cerah."

Aku bisa memahami apa maksud dari ucapannya kini.

"Dan setelah itu ia redup tanpa ada lagi cahaya seperti semula." Sambung ku dan tersenyum sumir.

"Cahaya yang hilang itu pasti bakalan ada lagi, bisa jadi aja cahaya yang datang akan jauh lebih indah dari sebelumnya. Dia juga harus nemukan cahaya itu di surga, dan lo juga harus nyari cahaya itu di disini."

"Mungkinkah? Gue bisa nemu lagi apa yang selama ini gue harapkan?"

"Bisa aja, kalau lo ga terus menerus terjebak dalam bayang-bayangan Nathan."

"Dengan kepergian dia yang belum ada setahun, apa gue sanggup? Bagi gue ini terlalu cepet buat hidup tanpa bayangannya. Nathan nemanin gue saat posisi gue ga baik-baik aja, dan dia pergi saat semuanya udah hampir tertata. Bagi gue melupakan dia itu hal yang sulit." Jawab ku lirih.

Senja Dan Rindu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang