24. Rumah Dan Rumah Ku

26 10 0
                                    


Aku duduk diruang keluarga, televisi lebar itu tidak menyala lagi karna umurnya yang sudah tua. Ingin ku ganti dengan yang baru, namun aku belum sempat pergi membeli yang baru.

Termenung sembari nenatap kosong kelayar hitam yang memperlihatkan keadaan ku saat ini. Dapat ku temui, bahwa aku sudah banyak berubah sejauh ini. Aku yang lebih baik daripada tiga tahun lalu. Berat badan yang sudah kembali normal, kulit yang tak lagi pucat, aku yang udah jarang menangis.

Fisik ku sudah banyak berubah, namun keadaan mental ku tak pernah berubah.

Kalau boleh jujur aku disini kesepian. Hidup sendirian disini tidak mudah.

Lama ku tatap kesendirian ku, bunyi jam dinding menjadi teman ku dirumah yang kutepati sendirian.

Katanya rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, namun sampai kini aku engga tau dimana letak nyamannya.

Kalau boleh jujur, aku takut tiap kali harus pulang kesini. Aku tidak seberani itu menepati rumah ini sendirian. Aku takut kalau hal buruk terjadi padaku.

Kalau saja hal buruk terjadi pada ku, aku pastikan orang-orang hanya akan bertemu dengan jasad ku. 

Aku yang sok berani ditinggalkan bang Iyan merantau, padahal aku ingin sekali ikut dengannya. Aku tidak mau menyusahkan bang Iyan lagi, tapi apa bisa dipastikan kesendirian aku ini tidak menyusahkan bang Iyan?

Denting jam semakin nyaring ditelinga ku, suara kodok yang menyeramkan membuat bulu kuduk ku merinding. Aku tertunduk, sembari menutup telinga ku dengan telapak tangan.

Sangking takutnya dengan suara malam hari ini, aku tidak mampu berdiri. Kaki ku lumpuh hanya sekedar beranjak kekamar ku.

Membeku di ruang keluarga yang tak pernah jadi tempat bercengkrama satu sama lain.

Hingga hujan jatuh begitu deras, membuat suara yang menakutkan itu berubah menjadi memilukan.

Kembali termenung menatap keadaan diri sendiri yang kacau.

"Kalau rasanya udah sanggup, menikahlah dengan Rafa, Ya. Biar kamu engga sendirian lagi dirumah ini, biar rumah ini bisa jadi tempat paling nyaman buat kamu. Kamu mau nunggu apa lagi, Ya?"

Ucapan Zura tadi sore membuat isi kepala ku kembali berisik.

"Aku nunggu apa lagi?" Aku bertanya pada diri ku sendiri.

Ku tatap lamat diri ku sendiri, hanya air mata yang menjadi jawaban pertanyaan itu. Aku tidak menemukan jawabannya. 

Menangis sendirian sangat menyakitkan, tidak ada yang tau apa yang terjadi sekarang.

Dada ku sesak sekali, sampai rasanya tangis ku malam ini tidak membuat aku tenang.

Mencoba melepas semua sesak itu, namun entah bagian mana yang tak kunjung lepas.

"Aku berusaha ikhlas jalanin semua hidup ku. Berharap Tuhan benar-benar kasih ketenangan, tapi kenapa sampai saat ini aku belum menemukan ketenangan?"

Ternyata mencari tenang jauh lebih susah daripada mencari bahagia.

Entah bagian mana yang salah, sehingga sampai saat ini aku dikukung rasa bersalah.

Bersalah akan hidup ku sendiri.

Perkataan Zura masih terus menghantui ku, membuat aku mencari-cari jawaban.

"Aku nunggu apa lagi?" Aku mengulang kalimat itu. Menelaah pertanyaan singkat yang jawabannya patut ku jadikan alasan.

Petir diluar sana berlomba-lomba siapa yang paling keras. Jantung ku rasanya sudah lari entah kemana. Terduduk sendirian dilantai dingin ruang keluarga.

Senja Dan Rindu [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora