31. Another Day.

21 5 0
                                    

Mari untuk tidak berjumpa dikehidupan mana pun. Dan kalau nanti kita berjumpa juga, aku harap tidak ada ragu untuk mu.

―00―

Aroma kopi menyeruak masuk di indra penciuman. Suasana canggung mengisi tiap sudut bangunan ini.

Di dalamnya rami, namun entah kenapa pandangan Rafa seolah tertuju pada ku saja. Seolah di dalam kafe ini hanya ada kami berdua.

"Dia udah berapa lama di sini?" Aku mengadik kan dagu ku arah pojok, tempat Rafa yang kini sibuk pada laptopnya.

Karyawan ku itu tampak ragu menjawab pertanyaan ku―ia tampak berfikir― mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk, "Dua jam lalu? Heum― bukan kak, dari tadi kita buka. Jam sepuluh pagi." Katanya, membuat aku cukup terkejut.

Jam 10 pagi? Sekarang sudah jam satu siang, ini sudah tiga jam Rafa duduk sambil memainkan laptopnya.

Aku di sana baru 30 menit yang lalu. Awalnya tidak berniat datang ke kafe hari ini. Aku ingin menghabiskan waktu istirahat ku dengan rebahan di kamar ku.

Namun sialnya bang Iyan selalu mengusik ku. Ia selalu mendesak ku untuk datang ke kafe. Katanya, "Kalau bangkrut mau jadi pengangguran? Yang jadi pengangguran bukan kamu doang, tapi pekerja kamu juga." 

Hal itu yang membuat aku akhirnya harus berkunjung ke kafe ini. Rasanya tak sampai hati kalau karyawan aku turut menganggur karna ulah ku.

Mereka yang kerja di sini kebanyakan orang-orang hebat yang berhasil sembuh dari sakitnya.

Namun kayaknya keputusan aku untuk datang di hari ini adalah keputusan yang salah.

Sudah seminggu aku tidak menampakkan muka ku di hadapan lelaki itu. Semenjak semua berakhir, aku selalu berharap untuk tidak berjumpa dengannya.

Hati ku sakit apabila terus menerus bertemu dengannya.

Penyesalan, rasa bersalah, dan rindu ku menyiksa raga dan bathin ku.

Mata kami saling berserobok. Rafa tersenyum hangat ke arah ku. Aku mengerjap, mengalihkan tatapan itu kesembarang arah. Ku tarik nafas panjang ku, dan ku hembuskan secara perlahan. Rasanya gugup sekali saat aku ketahuan memperhatikannya.

Aku beranjak dari tempat ku. Berjalan menghampiri Rafa yang kini tengah memperhatikan layar laptopnya. Ia tampak memijit pangkal hidungnya. Agaknya tugasnya hari ini sungguh berat.

"Berat banget?" Tanya ku, dan menarik kursi di hadapannya.

Iya, aku mengajaknya untuk berbicara setelah dua minggu kami usai. Iya, aku menghampirinya pertama kalinya.

"Lebih berat ketika cinta saya usai." Katanya, Rafa terkekeh kecil sembari menatap ku, "Sebenarnya engga berat, tapi saya cuma memeriksa di mana letak salah saya."

"Hubungan dulu?" Kalimat sambungnya tampak rancu, oleh sebab itu aku perlu penjelasanya.

"Bukan, kerjaan saya." Jawabnya. Rafa menutup laptopnya. Jari-jarinya mengetuk meja, tidak berbicara sedikit pun. Pun pandangannya yang enggan menatap ku, padahal aku sudah ada di depannya.

Padahal sedari aku datang tadi, ia asik mencuri pandang ke arah ku. Entah hanya perasan ku saja.

"Saya?" Aku memulai ucapan ku, bertanya kenapa ia menggunakan saya, saat berbicara kepada ku.

Senja Dan Rindu [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora