20. Tenang Yang Kita Cari

31 12 3
                                    

Aku mencari bahagia dengan menyusuri tiap tempat yang mampu membuat aku paham arti bahagia sesungguhnya.

Melanglang buana dari satu tempat ke tempat yang lain, dari hati satu ke hati satunya lagi. Namun semua masih terasa percuma. Tidak ada tempat nyaman yang ku temui. Selain di dirinya, Anathan.

Kezia Auryn Rieska

Jika di tanya sanggup tidaknya aku berpijak pada bumi penuh luka ini, maka jawabannya adalah tidak. Kalau saja bisa memilih, aku akan memilih untuk tidak lahir, untuk tidak menghirup oksigen yang selalu menyesakkan.

Pijakkan ku di atas bumi terasa gamang, saat ku dongakkan kepala menatap biru langit, namun hujan jatuh deras membasahi wajahku. Sampai saat ini, sampai aku sudah tidak sanggup lagi untuk menghirup gratis oksigen.

Luka itu tidak kunjung sembuh, ia hanya memburuk, melebar kian besar tanpa tertutup sedikitpun. Sudah berusaha mencari obatnya, namun aku malah memberi racun pada yang datang.

Mereka tersakiti, pun dengan luka ku yang makin memburuk. Aku di kekang rasa bersalah pada hati yang ku singgahi, pada perasaan yang ku main-mainkan.

Hati ku ternyata masih utuh di isi oleh tuan yang tak akan pernah datang lagi.

Oleh lelaki pencipta bahagia itu.

Ini sudah dua tahun, ternyata aku tidak sedang bermimpi. Semua nyata, Nathan benar-benar pergi untuk selamanya.

Dia tak akan pernah pulang, walaupun aku meneriakin namanya tiga kali, dia tak akan pernah datang.

Tahun ini aku belajar ikhlas, ikhlas menerima kenyataan bahwa lelaki yang punya pengaruh besar dalam hidup ku sudah tidak ada lagi.

Ia hanya meninggalkan kenangan, meninggalkan pelajaran dalam hidup ku. Ia menganggambar, memberi warna namun tidak tuntas. Dan kini aku berusaha menuntaskan warna itu, menyelesaikan gambar yang hampir rampung itu.

"Kak Jia... jangan ngelamun." Ia meneriaki ku keras.

"Apa? Siapa yang ngelamun?" Aku menjawabnya dengan gelagapan.

Gadis kecil itu mendengus, "Tu buktinya kakak ga fokus. Cat nya meleber itu." Ia melongos, gadis itu berdiri meraih palet di tangan ku. "Laper ihh makan dulu ayo." Katanya.

Maira melepas Apron yang ia kenakan, pun dengan ku yang sudah berdiri juga dan melepas apron yang ku kenakan.

Maira menarik ku, membawa ku pada ruang makan yang terlihat sederhana.

"Udah siap ngelukisnya?" Sang ibu menoleh saat kami sama-sama masuk ke ruang makan.

"Udah, Ma. Aku laper hehehe."

"Cuci tangan dulu ya, bersihin catnya.. masa sampe ke muka di lukis." Sang ibu terkekeh, gadis itu menoleh ke arah ku, "Hahaha efek melamung kak Jia malah lukis muka."

"Kamu juga ya!"

"Cuci muka dulu deh kalian." Suruh ibu Maira, yang ku angguki dan pamit kekamar mandi. 

Sudah dua jam aku berada di rumah Maira, gadis kecil itu mengajak ku untuk melukis bersama dirumahnya.

ㅡ00ㅡ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ㅡ00ㅡ

Usai menemani Maira melukis, kini aku berada pada tempat yang selalu aku kunjungi hampir setiap waktu. Masih menjadi tempat favorite untuk menghilang dari orang-orang sekitar.

Biru langit dan biru air laut tampak senada, angin yang berembus sejuk membawa terbang rambut ku yang tak ku ikat. Membuat rambut lurus ku berantakan.

Aku tersentak saat sebuah tangan mengusak pelan pucuk kepala, ia berdiri dengan senyum yang lebar. Kemudian lelaki itu duduk di sebelah ku. "Ikat dulu rambutnya," ia menyodorkan ikat rambut berwarna hitam itu ke arah ku dan ku terima dengan baik.

Aku mengikat asal rambut ku, "Kok tau gue di sini? Beneran ya lo ngintil gue mulu?" Ucap ku, setelah semua rambut ku terikat baik, ku tatap lelaki yang rupanya kini sedang asik menatap pada laut lepas.

"Tenang banget ya kalau natap laut?" Ia menoleh ke arah ku, nayanika itu menatap ku dengan penuh arti, dan pertanyaannya barusan membuat jantung ku berdebar. Aku mengangguk pelan, dan kemudian ku tatap kembali laut luas di hadapan ku.

"Tenang, sangking tenangnya gue pernah mau menceburkan diri dalam luasnya laut itu." Kata ku, dan kemudian aku menarik nafas panjang. "Pengen pergi tanpa peduli gimana perasaan orang yang gue tinggali, tau ga kenapa gue lebih memilih laut untuk mengakhiri semuanya?" Aku bertanya padanya yang kini masih setia menatap ku, Rafa menggeleng lantas aku terkekeh pelan.

"Supaya tidak ada daksa kaku yang perlu di guncang untuk di paksa bangun, supaya tidak ada tanah yang perlu di peluk, dan lebih baiknya lagi ikan yang makan daging manusia bisa kenyang." Tutur ku.

"Tapi bakalan ada orang yang membenci laut karna di anggap merebut."

"Engga ada yang perlu di benci soal kehilangan seseorang. Semua udah mutlak."

Rafa mengangguk-angguk, "Maaf ni yaa maaf banget..., soal kehilangan dia lo udah bisa menerima?" Pertanyaan dari Rafa membuat ku tersenyum getir.

"Mau sampai kapan gue harus berada pada pusaran yang menyakitkan? Gue harus bisa menarik diri dari sana." Ucap ku, kemudian aku menarik senyum yang terasa menyakitkan.

Benerkah aku sudah ikhlas soal kehilangan dia? Atau aku hanya akan terbiasa dan kemudian lupa?

Rafa tersenyum, ia menepuk-nepuk pelan bahu ku, "Bangga gue sama lo, akhirnya bisa ikhlas sama takdir yang lo jalanin."

"Ada mama, papa, bang Iyan dan orang yang gue sayangyang jadi alasan buat gue tetap bertahan. Gue ga mau liat mereka hancur kayak gue." Tutur ku yang membuat Rafa tersenyum begitu lebar, katanya sih senyum bangganya.

"Hidup sekarang bukan bahagia lagi yang gue cari tapi tenang."

Aku sudah lelah terus menerus mencari bahagia namun yang ku dapati banyak luka, kini ku ubah kemudi mencari tenang. Tenang bathin dan pikiran, melupakan hal-hal sakit yang selalu menghampiri.

Aku berharap kali ini tujuan ku tidak salah lagi.

Nathan....aku berusaha lupa bagaimana sakitnya di tinggal kamu, dan aku akan pasti selalu ingat bagaimana kamu dulu membuat bahagia bersama ku. Bagaimana kamu menenangkan jiwa yang selalu ingin mati.

Kamu membuat ku lupa soal kesedihan dan putus asa kehidupan, namun kepergian mu membuat ku turut ingin pergi.

Perna hilang akal sampai berpikir bunuh diri adalah jalan terbaik keluar dari semua cobaan ini. Terlalu sering percobaan untuk mengakhiri hidup itu aku lakukan, tapi satupun tak ada yang berhasil. Semuanya percuma, saat tali simpul yang sudah siap merengut nyawa ku, aku selalu teringat tentang kamu. Aku selalu melihat kamu tersenyum ke arah ku dan berkata, "Ga ada satupun manusia yang berhak mendahului takdir Tuhan."

Percuma kalau aku berakhir sia-sia, percuma bahagia yang kamu toreh kan dulu dalam hidup. Nathan telah berusaha membuat ku bahagia, masa iya aku harus pergi dengan sia-sia?

🌅

Senja Dan Rindu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang