25. Bunda Datang

28 8 0
                                    

Bunyi lonceng yang berbunyi sangat jelas malam ini membuat aku mengangkat kepala ku.

"Maaf kami sud--" Kalimat ku menggantung begitu saja diudara saat sosok yang aku rindukan berdiri peris dihadapan ku.

Ia tersenyum begitu sempurna, merentangkan tangannya lebar-lebar. Tanpa pikir panjang, aku menghambur dalam pelukan yang teramat aku rindukan. 

"Kamu gimana kabarnya? Sehatkan?" Ia melepas pelukan itu, menatapku intens dari atas kepala ku sampai ujung kaki ku.

"Duduk dulu, Bund." Aku menarik kursi, mengajak wanita itu untuk duduk terlebih dulu.

"Jia ambilkan minum dulu." Bunda mengangguk, lantas aku beringsut pergi dari hadapan bunda.

Aku senang saat wanita yang sudah aku anggap ibu sendiri kini datang menghampiri ku.

Sudah dua tahun ini aku tidak mendengar kabar bunda.

Bunda menghilang tanpa kabar, lenyap dibawa angin entah pergi kemana. Ia meninggalkan aku tanpa pamit, tidak memberitahu ku kemana ia pergi. Nomornya tidak bisa aku hubungi sama sekali, entah apa alasanya aku juga tidak tahu.

Aku dihantui tanda tanya, apa aku punya salah dengan bunda?

Teh hangat itu sudah bertengkar di atas meja, dihadapan bunda.

"Minum, Bund." Kata ku dengan senyum yang teramat bahagia. Bunda mengangguk, menyesap teh hangat itu.

Gerimis di luar sana sangat cocok dengan teh hangat malam ini.

"Jia gimana keadannya sekarang?" Bunda tatap  mata ku begitu dalam.

"Jia udah dapat apa yang Jia cari, Bund. Jia udah paham ohh beginilah hidup. Keadaan Jia sudah jauh lebih baik dari tahun ke tahun, tiap tahunnya perubah baik selalu menghampiri Jia, Bund. Bunda apa kabar? Kemana aja dua tahun ini?"

Aku bertanya penuh kehatian-hatian. Takut kalau nanti pertanyaan aku membuat bunda tersinggung.

Bunda mengulam senyum, senyum yang sama persis dengan sang tuan yang sudah menghilang.

"Setelah kehilangan Nathan bunda engga pernah baik-baik saja."

Aku tahu akan hal itu, wanita yang selalu tegar dihadapan aku, ternyata beliau yang paling hancur hatinya.

Bagaimana tidak, ia mengandung, menyusui, membesarkan dan mengajarkan anak yang tumbuh dengan kepribadian baik. Seluruh hidup bunda sudah dihabiskan bersama Nathan. Nathan separuh nafasnya, dan saat separuh nafasnya pulang, saat itu pula hidup bunda seperti di cekik. 

Beliau kehilangan satu-satunya anak yang selalu ia nantikan. Pengorbanannya menantikan Nathan lebih dari lima tahun tidak ada artinya saat seperkian detik Tuhan cabut nyawa pada raga yang ia nantikan.

Aku mengelus lembut punggung tangan bunda, memberi sedikit hangat untuk wanita yang kini hanya seorang diri.

"Dan sekarang bunda jauh lebih ga baik-baik aja. Tapi ga perlu khawatir, Nak, bunda masih punya Tuhan untuk menjalankan hidup ini." Katanya.

Aku mengangguk, "Bunda masih punya Jia, jia juga anak bunda, kan?"

Tawa sumbang dari bunda membuat suasana malam ini memilu, "Iya....Jia anak bunda."

"Kalau begitu bunda ga boleh segan buat datang ke Jia. Bunda belum jawab pertanyaan aku, bunda kemana dua tahun ini?"  Kembali aku bertanya, menuntut penjelasan dari hilangnya kabar bunda dua tahun terakhir ini.

"Ayah Nathan kabarnya gimana, Bund?"

Dalam tunduknya beliau yang begitu dalam. Aku terdiam mendengar isakan kecil dari bibirnya.

Senja Dan Rindu [END]Where stories live. Discover now