19. Pertemuan Yang Sakit

32 13 3
                                    

Matahari tidak bersinar begitu terang diatas  langit. Sinarnya redup kala langit berubah menjadi kelabu. Berharap kali ini tidak akan hujan lagi.

Suara gembira dari gadis kecil yang kini duduk di belakang, membuat mata ku memanas. Ia terlalu bersemangat untuk menjumpai seseorang yang selalu ia dengar ceritanya.

Sedari tadi celotehnya tak kunjung berhenti, "Aaaaaa akhirnya ketemu abang hebat." Pekiknya, yang membuat hati ku menjerit hebat.

Satu usapan dipunggung lenganku dari sang kakaknya membuat ku menoleh, Kak Dery mengangguk dengan senyum yang masih melengkung. "Jangan nangis." Katanya, yang ku balas dengan anggukan.

Gadis kecil itu terdiam, celoteh yang sedari tadi mengudara kini meninggalkan keheningan yang menyesakkan.

"Kita kenapa kesini, Kak?" Tanyanya entah kepada kakak yang mana.

Aku menoleh ke arahnya, "Nanti kakak jelaskan kita turun dulu ya." Maira mengangguk bingung.

Tempat ini tidak pernah berubah, sedikit pun. Suasananya pun masih sama seperti dulu.  Gundukan tanah itu tampak basah, bunga di atas makan itu pun masih baru. Sepertinya ada yang baru berkunjung.

Aku berdiri di samping pusara yang penghuninya tak kunjung usai di hidup ku.   Maira menggoyangkan lengan ku, ia seperti menuntut penjelasaan. Aku terduduk sembari mengusap lembut nisan dingin itu.

"Abang hebat yang selalu ingin kamu temui itu udah ga ada, Maira." Aku menoleh pada  gadis kecil yang kini mengusap bahu ku,  Matanya berkaca-kaca.

"Dia cuma meninggalkan cerita yang amat mengesankan, dia cuma abadi dalam cerita kakak, Maira." Kata ku dan memutus kontak  mata ku dengan Maira.

"Namanya Nathan, Anathan Drean Aksvaro. Dia lelaki hebat yang punya senyum paling indah, punya sejuta tawa yang selalu terdengar indah, dia adalah pangeran baik hati yang menabur banyak bahagia dalam hidup kakak." Aku menarik nafas panjang guna meredakan sesak yang membuncah dalam dada ku, "Apapun soal dia selalu kakak suka, perjuangnya untuk sembuh sangat luar biasa. Dia engga pernah mau nyerah, apapun akan dia lewati untuk sembuh, namun malam itu, sembuh yang ia mau tidak terwujud. Dia sembuh dengan cara lain, Tuhan membawanya pergi jauh. Tuhan menyembuhkan semua sakitnya didunia." Suara ku bergetar hebat, namun air mata ku membeku. Kalau saja bisa memilih  aku ingin menangis hebat di depan pusaranya. Menumpahkan semua sesak ini, namun air mata ku tertahan begitu saja.

Gadis kecil di sebelah ku sudah terisak, bahunya sedari tadi diusap terus oleh sang kakak. Ia menangis hebat, mungkin kecewa dengan kenyataan ini.

Pertemuan yang ia harapkan bahagia, rupanya menyakitkan.

Cerita dari aku emarin-kemarin sukses membuatnya semangat untuk bertemu dengan orang yang senasib denganya. Ia bersemangat untuk tetap bertahan, tidak bermalas-malasan untuk menjalani rangkaian pengobatan.

Maira memeluk ku begitu erat, "Maaf nyakiti kakak sewaktu Maira selalu desak kakak buat cerita soal bang Nathan yang ternyata udah ga ada lagi." Aku mengelus lembut punggung sempit yang menanggung banyak harapan dari orang terkasih.

"Kakak yang salah, kakak bohongi Maira."

Gadis itu melepaskan pelukannya, ia menggeleng dan mengelus lembut pipi kurusku, "Maaf, Kak."

Maira terduduk di samping pusara Nathan, ia menabur bunga yang sudah di beli kak Dery di depan gerbang TPU tadi, "Bang Nathan hebat, makasih ya udah buat kak Jia bahagia. Makasih buat cerita yang membuat aku terinpirasi, aku akan selalu kuat. Aku akan sembuh, Bang."

ㅡ00ㅡ

Dua puluh menit yang lalu kami sudah meninggalkan tempat yang penuh air mata itu.

Hening di dalam mobil menjadi peneman jalan menuju rumah masing-masing. 

Maira masih diam, ia tak menuntut apa pun dari ku. Ia tak bertanya, kenapa aku membohongi nya.

Mungkin Maira paham akan keadaan sekarang.

Aku menoleh ke arah gadis kecil yang sedari tadi hanya bungkam, ia asik memandang luar jendela. "Maira.." panggil ku, ia menatap ku dengan bola mata yang berkaca-kaca.

"Jangan pernah bilang kalau kamu mau ketemu   dia, jangan sembuh seperti dia, Maira." Aku mengigit kuat bibir bawah ku. Gadis itu menghambur dalam peluk ku, hal itu sukses membuat ku menangis tersedu.

"Maira bakalan terus berusaha untuk tetap di sini." Katanya.


"Biasanya penderita kanker otak stadium akhir bisa bertahan hidup paling lama lima tahun atau lebih, namun kejadian ini jarang banget di temukan."

"Umur Maira cuma segitu, Ya. Atau mungkin kurang dari angka lima itu."

Pernyataan dari kak Dery semalam membuat hati ku semakin gunduh, semakin takut bila Maira turut pergi meninggalkan ku. Gadis itu membawa kembali cahaya yang redup dalam hidupku. Dia datang dengan cahaya baru yang pastinya berbeda dengan Nathan. Aku takut cahaya itu redup kembali.

Pertemuan singkat di rumah sakit waktu itu, membawa banyak cerita yang terduga di hidup ku.

"Kakak jangan nangis lagi dong," Ia mengusap bulir bening yang kini sudah membasahi pipi ku. Aku mengangguk-angguk dengan senyum yang ku paksa merekah.

"Maira harus kuat."

🌅

Heloooo

Jangan lupa vote dan koment ya!

Work ini aku tulis paling lama, udah mau satu tahun tapi juga belum selesai.

Aku bakalan usaha agar work ini bisa selesai tahun, aku mau berkarya lagi. Sudah banyak draf yang ingin aku publish.

Nulis Senja Dan Rindu terlambat selesai karna tahun ini trouble di real life ku lumayan besar heheh..doakan aku selalu sehat ya! Kalian jangan ampe sakit ya?!

Hari aku doubel update, jangan lupa tinggali jejak sebagai hadiah buat aku. Good night✨️

Senja Dan Rindu [END]Where stories live. Discover now