16. Pulang Sebentar

40 22 13
                                    

Dunia ku sepi se-sepinya, tak ada lagi keramaian seperti dahulunya. Semenjak dia pergi, hidupku berubah dan jauh dari kata bahagia.

Dia benar-benar pergi membawa semua kebahagiaan.

Kisah kita selesai sampai sini Nathan.

Nyatanya kalimat yang ku ucapkan dulu tidak pernah terlaksanakan. Kisah itu tidak pernah selesaiㅡsampai kapan pun. Aku selalu mengingat dan membawa semua kenangan masa lalu itu dalam hidup ku. Dia hidup bersama ku dalam dunia ini walaupun orang-orang selalu bilang 'Dia sudah ga ada, Jia' iya aku tau, aku tau dia sudah pergi jauh tinggal di sebuah keabadian, tapi bisakah tidak kalau aku tetap hidup di bawah bayangan dia? melupakannya bukan sebuah perkara yang mudah bagi ku.

Aku masih mengingat semua tentang dia. Senyumnya, mata teduhnya, rupanya, suaranya bahkan aroma tubuhnya, aku masih sangat mengingatnya. Tidak ada satupun tentang dia yang terlupakan dihidup ku.

Orang-orang bilang aku sudah gila karna masih terus mencintai seseorang yang jelas-jelas sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Ahh sudahlah namanya yang tidak merasakan tidak akan pernah tahu bagaimana sakitnya aku.

Malam ini dunia gelap gulita sebab lampu sedang padam setengah jam lalu. Dunia terlalu hening dan sepi. Apalagi rumah ini sekarang benar-benar sepi, hanya aku seorang diri yang menepatinya, malam ini. Jangan tanyakan Papa, jelas-jelas dia merantau dan tinggal disana seperti biasa, dia akan pulang ke rumah ini sekali dua bulan atau hanya sekali setahun.

Bang Iyan, lelaki itu sudah tiga hari di Surabaya sebab ibu mertua dia sedang sakit.

Zeno ia masih melanjutkan kuliahnya di Amerika.

"Sakit banget kehilangan kamu." Rintihku sembari memandang bulan purnama yang begitu terang.

"Aku tu suka menghalu andaikan kamu ga pergi ninggalin aku, mungkin kini kita juga udah punya keluarga kecil kali ya? udah bahagia. Rumah aku yang segede ini mungkin ramai ga sepi kayak gini." Lirih ku dan tersenyum tipis. Sangking takut kehilangan dia, dulu aku pernah memintanya untuk menjalankan rumah tangga bersamanya. Padahal kuliah lagi pusing-pusingnya, aku malah berpikiran untuk menikah.

"Rindu Nathan, rindu banget.... sama kamu, maaf ya sampai saat ini aku belum bisa nerima semua takdir ini." Dada ku terlalu sesak bila mengingat semua tentang dia. Mengingat dia sama saja seperti membunuh ku, tapi bila melupakanya aku bisa mati. Terlalu rumit sekali hidupku ini.

Kematiannya secara tiba-tiba itu meninggalkan bekas yang lama. Bagaimana tidak? Disaat banyak dari orang terdekat ku, yang mengetahui penyebabnya, tapi kenapa aku tidak? Kenapa aku tidak tau seperti mereka? Andai dari awal aku menghetahuinya mungkin semua tak akan semenyakitkan ini.

Zura, Rafa mereka tau, tapi mereka tak memberi tau aku. Kak Tari perempuan itu adalah dokter yang mendampingnya tapi dia juga tak ada memberi tau ku sedikit pun. Entah aku yang tidak peka atau aku memang harus terluka seperti ini?
                              
"Jia." Panggilan itu mengalihkan atensi ku.

"Jia, kamu apa kabar? Makin cantik aja sekarang." Ucap lelaki itu, ia berjalan menghampiri ku.

Aku tersenyum menatap iris kecoklatanya itu, memeluk erat tubuhnya. "Aku baik, kamu sendiri gimana?" Aku terkekeh pelan, "Cantik, kan aku selalu cantik."

Ia mengelus pelan punggung ku, "Baik juga, aku baik." Ia melepas pelukan itu dan mencengkram erat bahu ku dengan senyum yang dapat meluluhkan hati, dia bertanya, "Gimana udah bahagia?"

"UDAH!! ADA KAMU AKU SELALU BAHAGIA." Jawabku begitu gembira.

Ia kembali tarik tubuh ku, ia dekap tubuh kurus ini dalam pelukan yang sangat hangat. Sebuah peluk yang sangat enggan untuk di sudahi.

Senja Dan Rindu [END]Where stories live. Discover now