17. Rumah Singgah

42 22 7
                                    

Perjalan dari Bandara menuju rumah singgah kini terasa amat jauh, biasanya cuma menghabiskan waktu 30 menit namun kini harus sejam.

Tadi itu harus mengantarkan Bang Iyan dan Kak Tari ke bandara.

"Gue kira bang Iyan sama kak Tari masih di Surabaya." Kata Rafa membuka keheningan yang sedari tadi menerpa.

Aku menoleh ke arahnya, "Gue aja kaget pagi-pagi mereka udah di rumah. Tadi itu kata kak Tari, ibu nya udah mendingan makannya mereka pulang. Ehh tau-taunya ni sore kritis."

Mereka baru sampai tadi subuh, namun sore ini harus pergi. Kata kak Tari sih, bang Iyan engga tega ninggalin aku sendirian di rumah. Bang Iyan masih trauma dengan kejadian waktu itu, dia terlampau takut kebodohan itu terulang lagi.

"Mending kemarin nunggu aja pada bolak-balik pemborosan." kata ku.

"Kan kita ga tau keadaannya gimana, kemarin udah mendingan sekarang jadi parah lagi." ucap Rafa yang masih fokus pada mobil yang ia lajukan.

Benar sih, engga di sangka engga di duga. Ahh aku jadi keingat soal sore di tepi pantai itu, saat Nathan terlihat baik-baik namun siapa sangka malamnya dia sudah tertidur selamanya.

"Ini jalan ke rumah singgahnya yang mana? Gue ga tau." Rafa tampak celingukan.

"Belok kiri."

ㅡ00ㅡ

"KAK JIAAAA." Pekik kan dari gadis kecil itu membuat ku tersenyum lebar. Ia berlari sembari membentangkan lengannya.

Gadis itu menabrak tubuh ku, agak sedikit membuat ku terhuyung. Ia memeluk ku begitu erat. "Aaaa rindu banget sama kakak." Katanya, aku mengusap lembut surainya yang kini sudah mulai memanjang. 

"Kakak apa kabar?" Gadis itu melepaskan pelukan eratnya, ia menatap ku penuh arti.  Aku membungkuk, menyamakan tinggi ku dengan gadis itu. "Kakak baik, Maira gimana?"

Gadis itu tersenyum lebar, sampai-sampai matanya tenggelam. "Sehat, aku sehat Kak."

Aku mengusap pucuk kepalanya dengan gemas. Rupanya anak ini tidak berubah seperti yang ku temui pertama kali. Ia masih tampak ceria, tawanya masih terdengar indah seperti dulu.

"Ini pacar kakak yang udah sembuh itu kan?" Ia menoleh ke arah Rafa yang sedari tadi hanya asik melihat interkasi dua perempuan ini.

Aku mengalihkan pertanyaan Maira itu, "Kamu kesini sama siapa?"

"Sama Kak Dery." Ia menarik lengan ku, "Ayo kesana banyak teman-teman, mereka pasti senang kalau kakak datang lagi."

Tempat ini tidak jauh berubah seperti setahun yang lalu, suasanya masih sama. Hanya saja pohon di belakang rumah itu sudah tidak ada. Kata ibu pengurus, pohon itu tumbang di terpa angin yang sangat kuat.

Aku asik memandang luasnya taman belakang, tempat ini amat sejuk.

"Saya engga nyangka aja Maira bisa membaik berkat kamu, tapi lebih ga nyangka lagi, saya sakit karna kamu." Sarkasnya dan mendudukan diri di sebelah ku. Aku menoleh ke arah lelaki itu, mata kami saling bersitatap cukup lama.

"Aku engga ada peran apa-apa soal keadaan Maira." Ucap ku, kemudian aku menarik nafas panjang. "Soal hubungan kita dulu, aku minta maaf kak... maaf aku nyakiti kamu. Aku engga bermaksud nyakiti kakak sama sekali." Terang ku, lelaki itu tersenyum tipis.

Senja Dan Rindu [END]Where stories live. Discover now