08. Bukan Dengan Menyakiti

71 34 2
                                    

Adrian terduduk di ujung ruangan rawat inap itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adrian terduduk di ujung ruangan rawat inap itu. Ia memandang iba pada si bungsu yang terbaring di atas bangsal. Udah hampir dua jam Kezia belum kunjung sadar. Gadis itu menyayat lengannya sendiri entah dengan apa. Darah segar itu membasahi lengan dan pelipisnya.

Ini kali pertama baginya lagi melihat sang adik dengan keadaan kacau. Dulu kali, keadaan ini pernah terjadi waktu Kezia sering sekali mendapat perlakuan buruk dari sang Mama. Ia selalu berusaha mengakhiri hidup. Namun setelah banyak bahagia yang menghampiri, Kezia sudah lupa bagaimana menyakiti dirinya sendiri. Tapi sayangnya keadaan itu tak berakhir lama, luka dan kehancuran itu timbul kembali.

Gadis itu kembali sebagaimana dirinya dulu.

Lengan yang kini banyak barcode itu membuat Adrian meringis. Dulu luka itu sempat memudar, namun semesta terlalu jahat. Kepedihan yang hampir pudar itu entah dasar apa dia tergambar lagi.

Hidup di kekang luka yang tak habis-habisnya. Sedari kecil tidak mendapat kasih sayang seorang ibunda. Di benci karna di anggap pembawa masalah di rumah. Makian mama adalah roll film yang sampai kini terus terputar di kepalanya, kekerasaan mama siang itu menjadi luka yang paling ia ingat. Sudah berusaha di hapus namun terlalu sulit.

Hingga seorang lelaki dengan senyum yang paling menenangkan datang menghampiri gadis malang itu, ia mengubah yang buruk menjadi sangat baik. Luka itu berangsur mengering, tawa yang selalu terdengar di buat-buat menjadi tawa asli yang terdengar indah. Lengkungan sempurna itu mengiasi wajah ayunya setiap hari. Kebahagian menghampirinya, melupakan self harm yang sering kali di lukis di lengannya.

Namun semesta begitu jahat, seolah gadis itu tak boleh bahagia sedetik pun. Semesta merebut apa yang sudah ia harapkan untuk selalu bersamanya. Semesta mengambil lagi bahagianya, hingga saat ini hidupnya redup tanpa cahaya bahagia. Senyum dan tawanya sirna bak di bawa mati raga pecipta tawa yang indah itu.

Decitan pintu itu membuat Adrian mendongak. Lelaki dengan kulit tan itu datang menghampirinya.

"Makan dulu, Bang. Lo dari tadi ga makan." Rafa membawa dua nasi goreng itu di lengannya. Adrian mengangguk, dan berjalan menuju sofa tamu.

"Udah telpon orang tua lo, Bang?" Tanya Rafa, sembari membuka plasti yang berisi nasi goreng itu.

"Udah, besok mama sama papa gue balik."

Rafa sedari tadi belum pulang kerumahnya. Ia menemani Adrian untuk menunggu Kezia  di rumah sakit.

Makanan mereka sudah tandas, perut yang kosong itu akhirnya terisi kembali dengan nasi goreng malam ini.

Adrian mengahampiri bangsal sang adik setelah selesai mencuci tangannya. Ia sentuh bekas luka yang kini tampak lagi. Adrian meringis, ia seperti merasakan sakit yang di alami sang adik.

"Jangan gini terus napa, Ya. Abang aja yang liatnya sakit." Lirihya memandang wajah pucat Kezia.

"Lekas sembuh, Ya." Adrian mengusap pelan dahi sang adik dengan penuh sayang.

Senja Dan Rindu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang