10. Awal Tahun

61 32 3
                                    

Januari 2020

Usai sudah tahun penuh luka dalam hidup ku, 2019 adalah tahun paling menyakitkan yang aku jalanin. Di tahun itu, aku berharap semua bahagia itu rampung, namun ternyata rumpang.

Tahun yang juga banyak membuat aku bahagia, sehingga aku takut buat kehilangan apa yang sudah membuat aku bahagia. Namun ternyata tidak sesebahagia itu. Ternyata tahun itu meninggalkan luka yang paling menyakitkan.

Bercampur aduk, antara bahagia dan luka. April tahun lalu, usia ku tepat perkepala dua. Aku kira semesta memberi kado yang paling indah, ternyata semesta jahat sekali.

Aku meminta kado yang tak terlupakan, dan ternyata semesta memberinya. Semesta memberikan kado yang tak pernah terlupakan itu untuk ku, sampai-sampai kado itu adalah hadiah paling memuakkan yang pernah ku terima.

Benar saja, kado itu ga pernah bisa aku lupakan.

12 April 2019, tepat sehari sebelum usia ku bertambah. Nathan tutup usia.

Lelaki yang selalu aku harapkan tetap bersama ku, ternyata dia pergi lebih dulu.

Hari itu dunia ku runtuh, tubuh ku bahkan tak sanggup untuk terus berdiri tegap.

Sore itu dia masih tertawa begitu indah, sore itu aku masih bisa mendengar gelak tawa yang selalu menyenangkan. Banyak hal bahagia yang terjadi waktu itu, seolah memang isyarat kalau kisah itu tamat.

Aku berteriak pada semesta, bahwa tolong jangan rebut dia. Namun semesta tak mengabulkannya, semesta menghukum ku lagi. Menarik paksa daksanya yang selalu ingin ku dekap.

Tepat pukul 00.05 dia sudah pulang.

Aku berharap semesta ga menghukum ku lagi, aku harap semesta memberi bahagia pada gadis yang selalu berharap bahagi.

Aku mohon Tuhan, tolong biarkan tahun ini menjadi tahun yang baik untuk ku.

Tolong beri aku nafas untuk menghirup sebuah bahagia yang selalu aku inginkan.

Jangan rebut lagi kebahagian ku.

Suara air hujan yang jatuh di atas seng terdengar memekak kan. Di atas balkon kamar ku, udara terasa amat dingin. Teh yang tadi mengepulkan asap tebal, kini sudah dingin.

Hanya kaos hitam tipis yang kini membalut tubuh ku. Tidak dingin, aku rasa.

Matahari belum bersinar menerangi bentala.

Pandangan ku tertuju pada onggokan karung kulit jagung tadi malam. Masih berantakan. Bara yang di gunakan tadi malam itu masih berserakan di halaman rumah ku. Belum sempat di bersihkan.

Keramaian tadi malam masih teringat di kepala. Bagaikan kisah yang di putar kembali. Waktu itu halaman belakang rumahnya pernah menjadi tempat kami berkumpul. Rafa hari itu galau sebab perempuan yang di cintaiinya tidak seiman dengannya, dan tadi malam lelaki itu juga galau karna cintanya bertepuk sebelah tangan.

Aku merasa semua hal yang terhubung dengan Nathan selalu terulang. Hidup ku seperti roll film usang yang memutar kembali kisah itu, namun di kemas secara modern.

Hujan telah berhenti, di ikuti oleh matahari yang menyingsing di ufuk barat. Sinarnya menyilaukan pandangan ku.

Di bawah sana, Bang Iyan sudah siap dengan karung besar dan sapu lidi di lengannya. Pria itu sudah siap ingin membersihkan perkarangan rumah.

Aku hanya memandangnya, malas sekali harus menolong lelaki itu. Aku juga terlalu malas untuk beranjak dari balkon ini. Teringat ini sudah dua jam aku bersantai di  temani suara hujan dan udara dingin.

Matanya bertemu dengan tatapan malas ku, ia melambaikan tangannya ke arah ku.

"HAH? Aku?" Teriak ku.

"Iya. Elu, sini." Sautnya.

Aku berdiri dari duduk ku. Sudah ku duga bang Iyan pasti memanggil ku. Padahal malas sekali rasanya membantu dia membersihkan perkarangan rumah. Terlebih lagi siap hujan seperti ini.

"Maunya tadi masuk kamar, terus pura-pura tidur. Pasti ga bakalan kena suruh." Monolog ku, dan masih menuruni anak tangga. Kaki ku melangkah menuju dapur, ingin menaruh gelas teh yang tidak habis tadi.

"Morning, Kak Tari." Sapa ku ke arah kakak ipar ku, yang kini sedang membuat sarapan.

Kak Tari tersenyum, "Pagi juga, Jia." Katanya, namun masih fokus pada kegiatannya.

"Aku ga bisa bantuin kakak, bang Iyan dah teriak-teriak nyuruh bersihin halaman."

"Iya, engga pa-pa. Gih sana buruan."

ㅡ00ㅡ

Gadis itu terlelap di atas mejanya. Surainya yang panjang menutupi wajah cantik milik sang puan. Sudah berterbaran di mana-mana karna Jia lupa mengikat surainya.

Rafa menarik bangku miliknya untuk bersebelahan dengan sang kawan. Di pandangnya wajah cantik sang puan. Lelaki itu sudah merebahkan kepalanya pula di atas meja. Asik sekali menilisik wajah sang kawan.

"Pantesan Nathan berani banget buat nembak lo dulu, padahal dia tau lo musuhin dia." Bathinnya.

Gadis itu membuka matanya, tidak kaget. Karna dia sudah tau akan kedatangan Rafa. Jia sudah bangun lima menit yang lalu, namun enggan untuk membuka mata.

"Apaan lo liat-liatin gue!" Katanya, masih dengan suara khas bangun tidur.

Rafa mengerjap, lelaki itu langsung menegapkan punggungnya. Ia berdeham guna menetralisir rasa gugup. Kaget melihat  Jia langsung membuka mata. Untuk tadi ia berucap dalam hati, kalau secara langsung bisa mampus dirinya.

"Lo tidur jam berapa tadi malam?" Rafa enggan membalas ucapan Jia, ia lebih baik mengalihkan topik pembicaraan.

"Jam 3, terus subuh gue bangun buat solat. Udah tu ga pake tidur lagi, gue menikmati hujan di balkon kamar ampe matahari terbit. Sudah tu gue di suruh bang Iyan buat bersihin halaman yang kotor karna acara malam, dan sialnya gue kira sekarang engga kuliah. Ehhhhhh tau-taunya Pak Tama si dosen kiler malah chat di grup buat masuk jam 8." Gadis itu menarik nafas, enggap sekali rasanya setelah berceloteh telampau panjang. "Niat gue mau tidur ampe sore batal."

"Buset dah, ntu tidur atau simulasi mati." Kekeh Rafa. Lucu sekali rasanya melihat gadis itu bercerita panjang lebar. 

Tatapan sinis dari Kezia membuat Rafa bergidik ngeri, namun ada lucunya juga sih.

"Sekarang jam berapa?"

"Jam sebelas."

"Jam sebelas?! Wah gue baru inget mau pergi sama Anggi." Gadis itu berdiri dari duduknya, ia mengemasi barang-barang di atas mejanya. Rambutnya ia biarkan berantakan.

"Lah lo mau kemana?" Tanya Rafa penasaran.

"Mau mencari barang antik." Jawabnya dan berjalan meninggalkan Rafa sendirian.

Rafa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa lagi kalau bukan mencari piring hitam."

🌅






Senja Dan Rindu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang