03. Seratus Hari

110 57 13
                                    

Sudah seratus hari semenjak ia tak lagi berada di dunia ini.

Nathan ternyata benar-benar pergi, tapi maaf aku masih tidak bisa percaya. Aku terlalu denial soal kepergiannya. Padahal saat jasad itu terbujur, aku menyaksikannya sendiri. Saat jasad itu terkubur, aku pun meyaksikannya dengan begitu jelas.

Entahlah aku ini memang bodoh.

Hari ini rumah Nathan ramai di kunjungi para tetangga dan sanak saudaranya, mereka datang memberi doa untuknya.

Doa telah selesai, kini saatnya hidangan sederhana itu di bawa keruang tamu. Aku menating piring-piring itu kedepan.

"Itu pacarnya Nathan kan ya? Dia ga sih yang nangis meraung-raung pas di pemakaman?" Suara bisik-bisik itu berasal dari salah satu tetangga Nathan.

"Iya itu, buk. Saya sempat dengar kalau dia gila. Padahal cuma kehilangan pacar doang sampai segitunya." Saut ibu satunya. Aku hanya terdiam mendengar perkataan itu.

Sesak sekali mendengar omongan orang tadi. Mereka tau apa soal kehidupan ku yang sebenarnya? Mereka hanya melihat dari sudut pandangㅡdan sudut itu adalah hal yang tak baik pula.

Aku menahan tangis ku, hembusan nafasan kasar itu terus ku buang agar mengurangi rasa sesak di dada. Mata ku memerah, ia siap saja tercurah.

"Anak Bunda kenapa?" Bunda menghampiri, ia mengelus lembut kepala ku.

Aku mengigit bibir bawahku kuat-kuat. Ohh sungguh keadaan seperti itu sangat tidak mengenakkan.

"A-aku ga pa-pa, Bunda." Jawab ku dengan suara yang bergetar.

Bunda tersenyum, senyum itu sangat mirip sekali dengan Nathan. Ia merapikan anak-anak rambut ku karna keluar dari jilbab yang ku kenakan malam ini. "Kamu tidak gila sayang. Mereka tidak paham saja bagaimana keadaan kamu." Bunda tersenyum hangat di hadapan ku.

Aku mati-matian menahan tangis ini, aku tidak mau menangis malam ini, "Jia ga gila kan Bunda, itu benar kan?" Suara ku bergetar, bahkan bibir ku pun ikut bergetar untuk mengucap kalimat itu.

Bunda menggeleng, ia meraih ku untuk ia bawa dalam dekapan hangatnya, "Kamu cuma capek menghadapi semuanya." Kata Bunda, sembari menepuk-nepuk bahu ku.

Aku masih terus berusaha menahan tangis itu, bibir ku masih bergetar. Bahkan nafas ku kini tersenggal-senggal.

"Sudahi tangis mu, Nak. Sudahi duka mu mari sambut hal yang baru." Kata Bunda dan kemudian dia melepas pelukan itu.

Bunda menatap ku lama sekali dengan matanya yang sudah berkaca-kaca pula. Wanita itu menelisik tiap sudut wajah ku. Lantas ia tersenyum dan berkata, "Benar kata Nathan dulu, kalau kamu adalah perempuan yang sangat hebat." Aku menyeringitkan dahi ku, heran dengan ucapan bunda.

"Hebat?" Bunda mengangguk dengan senyum simpul yang belum hilang di wajah cantiknya.

"Kamu melewatkan banyak hal di dunia ini, Jia. Luka mu sudah ada semenjak belum bersama Nathan. Lantas hal apa yang membuat mu goyah atas kepergian Nathan?"

Pertanyaan dari bunda barusan membuat ku tertunduk lama, aku tak berani memandang mata itu. Bunda masih setia menunggu ku menjawab pertanyaanya.

"Nathan kasih Jia, apa yang ga pernah orang terdekat Jia beri, Bund." Aku menarik nafas panjang lagi,  kemudian melanjutkan ucapan ku, "Nathan kasih kebahagian sama Jia. Nathan mampu membuat aku bahagia, Nathan ngajarin aku soal kehidupan. Nathan jadi obat dari setiap luka yang aku lalui dulu. Aku anak yang haus kasih sayang itu, Bund. Dan Nathan datang menyalurkan rasa sayangnya buat aku."

Bunda terdiam dalam tunduknya, wanita itu terisak, "Maaf Jia kalau kedatangan Nathan nyatanya hanya menambah luka mu." Aku meraih telapak tangan bunda, "Bunda, Nathan tidak membuat aku terluka, tapi aku sendiri yang terus mengorek luka itu."

Senja Dan Rindu [END]Where stories live. Discover now