15. Laut Saksi Bisu

43 20 2
                                    

Luas air biru yang membentang itu menjadi saksi bisu dari awal kisah cinta yang tak berakhir bahagia.

Deru ombak yang selalu menenangkan menjadi nyanyian yang akan selalu ku rindukan. Rindu mendengarkan bersama dirinya.

Anak-anak tangga yang menghadap laut lepas masih sama seperti dulu, hanya saja kini tempat itu mengepung ku dengan rasa sakit yang tak ada habisnya. Ingin sekali semua sakit itu sembuh, namun aku sendiri nggak tau gimana nyari penyembuhnya.

Sudah terlalu lama luka ini memburuk, aku juga sudah terlalu lelah.

Kencangnya angin laut membuat ku berharap angin menyampaikan pesan rindu ku pada sang tuan. Sang tuan yang teramat ku rindukan, membuat lebam-lebam pada hidup ku yang kembali monokrom.

Dahulu ia adalah pembuat warna, pemberi cahaya, pemberi bahagia, menjadi pelangi dari buruknya hujan, dan kini dia masih seperti itu namun hanya kenangan yang tak bisa aku sudahi.

Aku terbelengu dalam kehidupan yang seharusnya aku sudahi. Dalam cinta yang seharusnya aku iklaskan. Namun semuanya tampak sulit, entah memang sulit atau aku yang tak pernah mau mencobanya?

"Nathan Nathan Nathan." 

Aku memanggil 3 kali nama dia, sama halnya dengan yang aku lakukan dulu. Berharap dirinya menyaut panggilan itu seperti dulu 'Apa', kini ingin sekali ku dengar sautannya.

"Nathan Nathan Nathan." Sekali lagi, sekali lagi aku memanggil nama itu. Mata ku masih ku pejamkan dan telapak tangan ku mengepal di depan dada.

Hanya ada suara deru ombak, angin yang bergesekan di udara. Semuanya terasa hening.

"Nathㅡ

"Engga bisa, Jia."

Aku menoleh cepat ke arah suara itu, namun ternyata benar 'Engga bisa'. Aku berharap sautan itu berasal dari sang tuan, namun ternyata bukan.

"Bagaimana pun lo nyuruh dia kembali, dia ga akan bisa, Ya. Mau berapa banyak lo manggil dia, dia ga akan pernah nyaut."

Dan pada akhirnya aku terduduk lunglai di atas anak-anak tangga. "Cuma berusaha mana tau gue mimpi."

Rafa menggeleng, lelaki itu sudah turut duduk di sebelah ku. "Sampai kapan lo mau denial soal kepergiannya?"

"Sampai gue bangun dari mimpi gue sendiri."

Hembusan nafas kasar dari Rafa tampak begitu gentara. Ia memalingkan wajahnya, menghadap laut lepas yang kini hampir menguning.

Sedangkan aku, aku hanya tertunduk gelisah sembari memainkan jari-jari ku.

"Argh."

"Sakit kan?"

Aku tatap Rafa dengan begitu tajam, santai sekali dirinya setelah mencubit lengan ku malah bertanya dengan begitu santai. Nggak ada rasa bersalah gitu.

"Pake nanya lo nya, ya menurut lo sendiri gimana?!" Jawab ku ketus.

"Berarti lo bukan mimpi." Kalimat singkat dari Rafa sukses membuat ku ingin menghantam kepalanya.

"Mimpi mimpi, lo kenapa sih! Sibuk aja dari kemarin, kalau gue bilang ni hidup cuma mimpi gue, lo mau apa!HAH?!. LO MANA NGERTI KEHIDUPAN GUE, FA!." Hardik ku kearahnya.

"SEMUA ORANG SAMA AJA, ENGGA ADA YANG BISA NGERTIIN GUE."

"Gue cuma butuh mereka paham sama apa yang terjadi sama gue, mereka cukup diam aja. Engga usah terus-terusan sadari gue kalau ini nyata."

"Gue tetap mau hidup di atas bayangan dia, gue ga mau lepas dari dia, Fa." Kata ku dengan suara yang terdengar sumbang.

Rafa menarik nafas panjang, ia hanya menatap gadis di sampingnya dengan perasaan iba. Hatinya merasa luka, kala dia tatap mata gadis yang berkaca-kaca itu. Banyak sekali beban dan pilu yang tergambar di mata indahnya.

Senja Dan Rindu [END]Where stories live. Discover now