"Gue pikir lo cuma cewek busuk hati kayak kebanyakan orang. Iri karna gue lebih cantik dari lo semua. Ternyata lo lebih brengsek dari itu." Shella mendorong kasar Andine yang mematung. Ajudannya memberinya jalan untuk keluar. Shella melangkahkan kakinya secepat mungkin. Dia bersumpah untuk tak lagi menginjakkan kaki ke toilet bila tanpa ditemani siapa pun.

Untuk pertama kalinya Shella bergidik menghadapi seorang lesbian.

Jangan bilang Eddie itu seorang cewek!

Terengah-engah Shella menaiki tangga ke lantai dua. Lalu berjalan cepat begitu sampai di koridor.

"Hei," Panggil seseorang sekaligus mencegat langkahnya. "Kok pucat?"

Shella menghela napas di depan Leon. Kenapa dia harus dikelilingi orang-orang mengerikan?

Senyum Leon selalu saja tampak menakutkan.

Shella berjalan. Leon buru-buru menyamakan langkah.

"Shella?"

"Tadi ada lesbian yang coba ngelabrak gue," Tukas Shella seraya mengatur napasnya.

"Lesbian? Siapa?"

"Andine."

"Andine?" Leon tampak berpikir keras. "Ohh! Kelas administrasi?"

Shella mengangguk. Mengernyit bingung ketika Leon terpingkal.

"Bisa-bisanya lo bilang dia lesbian. Dia straight kok Shel!"

Langkah Shella semakin melambat. Tak sepanik tadi. "Dia nyoba ngelepasin kancing kemeja gue!" Pekiknya pelan.

Leon terkekeh. "Itu cara dia dapet duit jajan lebih. Dia biasa ngebully cewek lain, ngelepas seragam mereka trus difotoin. Nah hasilnya dia jual deh," Celotehnya riang. Seolah-olah pernyataan yang dikatakannya barusan adalah hal yang lucu.

Shella terperangah. Tak bisa berkata. Melihatnya Leon tampak gemas, mengacak-acak rambut lurus Shella yang tergerai. Begitu sadar, Shella singkirkan tangan Leon. Cemberut. Dia alihkan pandangannya ke depan. Tiba-tiba terpaku, berhenti berjalan.

Leon juga melakukan hal yang sama. Menyelidiki apa yang membuat Shella tiba-tiba tegang. Dia cermati arah tatapan Shella. Mengacu pada seseorang yang berdiri di dekat pagar pembatas. Seseorang yang familiar dengan sweater hitam, rambut coklat, dan muka datar.

Dia pandang Leon dan Shella tanpa ekspresi. Kemudian berpaling. Berjalan masuk ke dalam kelas yang mungkin adalah kelasnya.

Leon tatap Davin yang berlalu. Lalu dia lihat Shella yang menghela napas. Kemudian terbahak.

"Kalian nggak baikan?"

Shella abaikan pertanyaan Leon. Berjalan cepat melewati kelas Davin tanpa melirik ke arah manapun. Tak sulit bagi Leon untuk mengejar gadis itu. Menyamakan langkah dan masih tertawa.

"Kenapa dah?" Tanyanya lagi usai tawanya lenyap. "Lo nolak Davin?"

Dalam hati Shella meringis. Yang benar saja. Justru yang ditolak itu dia!

Leon mengikuti Shella sampai ke kelas. Bahkan ikut duduk di bangku Albert yang kosong.

Kelas yang mulai terisi agak ricuh. Di tengah kericuhan itu Shella sadar bahwa dirinya dan Leon tengah jadi pusat perhatian.

"Leon. Kelas lo bukan di sini."

"Gue tau lo ngebet Davin."

Shella berbisik, "Bukan urusan lo."

Leon terkekeh. "Lo berdua sepenuhnya urusan gue."

Mata Shella menyipit. "Lo bukan bokap kita."

"Jadi, sebenernya, yang ditolak itu elo?" Tanya Leon seperti berusaha menahan tawa. Melihat Shella menghela napas, Leon jadi benar-benar tertawa. "Udah gue duga. Selera lo aneh."

"Menurut lo Davin aneh?" Sewot Shella sedikit tersinggung. Dua detik kemudian kernyitannya berubah senyum kecut. "Davin emang aneh sih."

Leon terpingkal. Membuat Shella berusaha menyuruhnya tenang.

"Lo suka dia. Dan dia menjauh. Ya kan?"

Shella mengangguk. "Dia bilang, gue nggak boleh deket sama kalian berdua."

Wajah riang Leon seketika lenyap. Berganti raut bingung, kemudian beralih datar. Menatap Shella sedingin mungkin. Secepat itukah iklimnya berganti?

Leon berdeham. Tersenyum tipis saat mengangkat bahunya sekilas. "Davin bener."

Bahu Shella merosot. "Bahkan elo juga bilang kek gitu!?"

"Gue bisa nyelinap ke rumah lo, masang kamera di kamar lo, sementara banyak orang keliaran di sana. Lo pikir orang sembarangan bisa ngelakuin itu?" Bisik Leon yang jelas takkan bisa dicuri dengar oleh orang lain lantaran keadaan yang semakai riuh.

Shella mengangguk pelan. "Gue tau."

"Nah!" Sahut Leon menjentikkan jari. "Davin lebih misterius dari gue."

"Dia juga bilang kalo, kalo gue tetep kekeuh ngedeketin dia, gue bakalan mati." Shella mendengus sinis. "Kalian bukan pembunuh kan?"

Leon diam.

"Gue nggak bakal mati di tangan orang yang udah nolongin gue. Ya kan?"

Leon menghela napas. Menatap Shella prihatin.

"Denger. Kita emang nggak bakalan bunuh elo. Lain ceritanya kalo itu dia."

"Maksud lo?"

Leon tiba-tiba beranjak. Mengacak rambut Shella. "Udah bel. Gue cabut dulu. Bye!"

Shella yang tak mampu menahan kepergian Leon hanya mendengus frustasi. Mengalihkan pandangannya keluar jendela. Menerawang dan bertanya-tanya dalam hati, apa maksud kalimat Leon tadi?

Lain ceritanya kalo itu dia.

Dia siapa?

Kembarannya Davin?

Shella mengacak rambutnya sebal. Ingin berteriak sekarang juga.

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now