Saat itu juga Wina sadar, ini hanya akal-akalan Riko saja. Mungkin sebenarnya dia hanya mencari kesempatan untuk menggoda Wina. Wina menggertakkan gigi.
Axel melangkah maju dari samping kerumunan tempat dia semula berdiri. Berhenti di sebelah Wina, matanya yang sehitam malam tidak dapat di tebak.
Wina gugup, tak berani menatap Axel lagi setelah lirikan singkatnya.
"Jadi Kak Axel, apa yang harus kita berikan pada maba yang melanggar peraturan ini?" Nada Riko masih di nodai dengan godaan.
Axel melirik Wina, lalu menatap Riko dengan serius. "Gue nemuin selembar puisi diantara surat untuk senior, tapi ini tampaknya tak bertuan." Suara berat Axel membuat jantung Wina seakan terhenti.
Bukankah Wina menulis selembar puisi untuk tugas menulis surat cinta? Itu— juga tak ditujukan untuk siapapun. Bukankah ini terdengar seperti konspirasi!
"Bagaimana jika kita meminta junior kita yang berani ini untuk membacanya?"
Seketika itu, Wina menengadah ke samping. Menatap Axel yang juga memandangnya tanpa ekspresi. Wina tidak tahu apa yang dipikirkan pemuda itu, tapi dengan bantuan cahaya dari api unggun, memandang wajah yang cukup tampan itu membuat wajah Wina memerah. Di sekeliling mereka, suara bisik-bisik mulai terdengar.
"Itu ditulis dengan indah, gue penasaran siapa pemiliknya." Lanjutnya. Mungkin hanya perasaan Wina, tapi dia mendengar suara itu melembut. Axel mengeluarkan selembar kertas dari kantongnya, dan menyerahkannya pada Wina.
Wina menatap kertas itu, tatapannya tajam seakan ingin merobeknya jika dia bisa. Dia jelas tahu milik siapa kertas itu. Tapi masalahnya, apakah Axel tahu? Wina curiga.
"Oke, kalau begitu kita akan dengar junior dan teman sejawat kita membaca puisi dari surat tak bertuan." Riko berteriak, memberikan momentum untuk mengajak yang lain berpartisipasi.
Semua mahasiswa baru langsung ribut, saling bersiul dan berteriak agar Wina membacanya. Suasana memanas.
Wina berdecak, meraih kertas dari Axel dan menyaksikan pemuda itu tersenyum singkat sebelum menarik kursi yang tadi dia duduki ke belakang Wina. Meminta gadis itu untuk duduk di atasnya. Menggigit bibir, Wina mengutuk peruntungannya.
Dia duduk di atas kursi, tak berani menatap kerumunan di depan. Tangannya agak gemetar saat dia membuka surat dan meluruskan kertasnya. Menarik napas dalam-dalam, Wina berusaha menenangkan diri dan memanggil keberanian dari hatinya. Kemudian dengan lemah, dia membaca. "Suka...."
Satu 'ssttt' singkat dari Riko, dan semua terdiam. Tak ada suara, namun udara pekat dengan antisipasi dan godaan.
Seketika, wajah Wina memerah.
"Aku tak mengerti apa arti kata itu bila menyangkut dirimu." Tangannya mencengkram kertas hingga kusut di ujung-ujungnya, suaranya agak bergetar. "Tak mengerti meski kesadaranku akan kau pertama kali memukul dadaku."
Almamater biru dan aroma tembakau.
"Tak mengerti meski mataku yang terpaku pada sosokmu di depan podium menolak untuk berpaling."
"Perkenalkan, saya Axel Pranata. Ketua BEM sekaligus ketua panitia ospek."
"Tak mengerti meski rasa jarimu bermain di atas kulitku menetap dan tak hilang."
Pita putih, pelembab bibir, dan ibu jari yang hangat.
"Tak mengerti meski bayanganmu di tepi jendela mengaburkan kesadaranku."
"Apa gunanya kedisiplinan kalau maaf bisa menyelesaikan semuanya?"
"Tak mengerti meski ingatan mu pada kenangan mengetuk hatiku."
"Sugarplum Tentu aja gue ingat. Karena gue gak semudah itu buat ngelupain lu, Sugarplum."
"Ah bukan, bukan Sugarplum. Bagi gue, lu masih Wina Austria."
"Aku tak mengerti sampai aku tahu kau tak lagi ada dalam jangkauanku."
"Anyway, lu ada hubungan sama dia atau enggak, gue saranin jauh-jauh dari Kak Axel."
"Kenapa?"
"Soalnya, Kak Axel itu udah punya pacar."
Sejenak Wina terdiam, satu demi satu ingatan membanjirinya. Kertas di tangannya teremas oleh tangannya yang dingin. Namun apa yang terjadi di sekelilingnya begitu kontras, pekat oleh bisikan dan godaan. Tak satupun dari mereka mengerti bagaimana dia menulis ini dengan penuh perasaan tanpa disadarinya. Agaknya, ini menyakitkan.
Kecuali satu orang, tentu saja, yang menatapnya dengan mata penuh pemikiran, dan kasih sayang yang tersembunyi. Wina mungkin bisa mengabaikan semua orang, tapi Axel tetap terpaku padanya.
"Udah selesai?" entah siapa yang berbicara, tapi itu memicu gumaman lain yang serupa.
Wina mengangkat kepalanya, memandang teman sejawat dan para senior dengan wajah kosong. Kertas di tangannya sudah tak berbentuk, tapi setiap kata di sana terpatri jelas dalam ingatannya. Bagaimanapun, dialah pemilik surat ini, bukan?
"Jadi," suaranya yang lembut mengejutkan audiens yang masih terfokus padanya. Gumaman mereka terhenti, tapi wajah penuh seringai itu menunggu Wina melanjutkan. "Jadi, Bagaimana bisa kutuliskan surat cinta jika tak ada lagi hati yang tersisa?"
"WUAHHH SIAPA SIH ITU?! BIKIN PENASARAN!" Sorakan bergema, siulan sambung menyambung, disertai tawa kecil malu-malu dari para gadis, kumpulan itu kembali ribut. Membuat wajah gadis di depan itu memerah. Malu dan gelisah.
"Pada akhirnya aku sadar, aku tak benar-benar—"
"Nama gue Axel Pranata, mahasiswa semester lima jurusan Ilmu Komunikasi dan Tekhnik Komputer. Gue bukan siapa-siapa, hanya cowok udik yang pindah dari Semarang ke Jakarta untuk mengejar jejak mantan gue, Wina Austria."
"—mengenalmu."
"Mungkin lebih tepat kalau gue dibilang penguntit. Karena gue masih ngejar bayangan dia walau mungkin dia ingin gue menghilang. Tapi gimana gue bisa menyerah?"
Dengan satu kesadaran yang memukul kepala Wina, gadis itu menoleh cepat. Mencari Axel yang berdiri di belakang para mahasiswa baru. Mata mereka terkunci, seakan suara riuh di sekeliling mereka teredam dan hilang, hanya ada mereka berdua. Dengan udara yang begitu berat hingga sulit bernapas. Wina terpaku, sementara perlahan, jauh didepannya, dalam bayang-bayang malam yang tak bisa sepenuhnya diusir oleh cahaya api unggung, Axel tersenyum.
"Karena sampai detik ini, dengan konyolnya gue masih sayang sama dia."
BẠN ĐANG ĐỌC
Clockwork Memory
Lãng mạnNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 28
Bắt đầu từ đầu
