BAB 51 - Skepticism

6 2 0
                                    

Orion POV

Aku menapaki lorong menuju ICU ini dengan hati yang lebih ringan dan tenang. Percakapan dengan Ares tadi pagi benar-benar mengubah perasaanku. Aku harus mengubah pemikiranku agar bisa menerima segala masa lalu—yang sama sekali bukan salahku. Harusnya, aku tidak membawa luka masa lalu ke masa kini. Apalagi aku sudah punya segalanya, termasuk perasaan cinta sepenuh hati dari wanita yang kusayang. Aku harus membuka mata dan menyadari bahwa lukaku malah menancapkan luka lagi bagi Halley. Aku harus sembuh agar dia bisa sembuh.

Walaupun sudah kubilang perasaanku lebih ringan, tetapi tidak dapat kupungkiri aku gugup bertemu dengan keluarga Halley. Pikiran negatif—dimana mereka akan menyudutkanku dan menatapku penuh dosa—sejak tadi berusaha aku enyahkan. Ares yang melihat kegelisahanku hanya mengusap bahuku kemudian merangkulnya saat kami sudah hampir sampai di depan ICU.

Aku dapat melihat Ophelia melotot kaget menatap kearah kami. Sesaat dia terlihat panik dan marah, kemudian berusaha menghalangi pandangan Tante Luna untuk melihat kearah kami. Tapi terlambat, aku dan Ares sudah sampai ke hadapan mereka—Tante Luna, Ophelia, Kak Bima, Om Surya.

Aku berusaha menghindari tatapan mereka. Kak Bima dan Om Surya menyapaku dengan biasa saja. Tante Luna menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Berbanding terbalik dengan Ophelia yang menatapku garang. Aku berdeham sedikit untuk membalas sapaan Om Surya dan Kak Bima. Meneguk ludah susah payah, aku menyodorkan tanganku untuk menyalim tangan Tante Luna. Cukup lama tanganku menggantung di udara. Aku melirik sebentar Tante Luna yang masih saja menatapku dengan aneh. Kemudian beliau menghembuskan napas pelan dan menyambut uluran tanganku. Aku tersenyum kecil ketika mencium tangan wanita baya ini. Dengan lirih aku mengucapkan kata maaf kesekian kalinya.

“Saya minta maaf, Tante.” Dengan tatapan penuh rasa sesal dan duka, beliau menatapku dengan tatapan tak kalah menyakitkan. Sebisa mungkin aku menepis pikiran bahwa kini beliau tengah menatapku sebagai seorang lelaki yang telah mencelakai anak gadisnya.

Aku dapat mendengar beliau terisak pelan. Ophelia yang berada disampingnya mengusap punggung rapuh itu. Kak Bima mendekap wanita itu dengan sayang, membisikkan kata-kata penenang yang sebenarnya sudah hilang makna.

Aku merasa disudutkan disini. Padahal tidak ada kata-kata tajam yang mengarah kepadaku. Paham bahwa aku merasa semakin kecil, Ares bergerak untuk menarikku mendekat kearahnya. Aku masih termenung mendengar rintihan beliau yang memanggil nama Halley.

Tanpa terduga, Tante Luna bergerak mendekat kearahku. Jantungku berdegup kuat. Rasanya aku bisa mati sebentar lagi karena detaknya terlalu kencang. Pasrah. Aku memejamkan mata kuat-kuat. Bersiap menerima segala muntahan amarahnya hingga sebuah dekapan hangat membekukanku.

Beliau memelukku erat. Menumpahkan segala rasa sedih dan gundahnya dibahuku. Agaknya aku kurang paham kenapa beliau malah memelukku, alih-alih menamparku.
Dengan susah payah beliau membalas ucapanku beberapa menit yang lalu. “Tante yang seharusnya minta maaf, Rion. Maafkan Tante.”

Aku masih saja mematung seperti orang bodoh. Kejadian hari ini benar-benar diluar nalarku. Mataku tak sengaja menatap Ophelia yang berbicara gemas tanpa suara seperti, “BALAS PELUKANNYA BEGO! TENANGIN ITU EMAK ORANG NANGIS GEGARA LU.”

Kembali sadar, aku bergerak mengusap kaku punggung wanita baya ini. Beliau masih saja mengucap maaf berkali-kali, aku sampai tidak tahan mendengarnya. Dengan lembut aku berucap, “Kalau gitu, kita sama-sama saling memaafkan ya, Tante?”

Beliau berhenti menangis dan kemudian menarik diri. Dengan tatapan teduh—yang jujur sudah lama sekali tidak aku lihat—Tante Luna menganggukkan kepalanya. Aku tersenyum lega.

Ophelia menyela adegan emosional ini tepat waktu. Dia mengajak Tante Luna dan aku duduk. Kemudian menyerahkan dua botol air mineral kepada masing-masing dari kami.
“Jam kunjungannya bentar lagi mulai. Siapa yang mau masuk duluan?” Pertanyaan Ophelia membuat masing-masing dari kami saling lirik.

Us : 'Kalopsia'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang