BAB 41 - Opia

3 2 0
                                    

Halley POV

Bola mataku terus menatap iris amber yang penuh dengan kebimbangan itu. Beberapa menit setelah pertanyaan mama, masih belum ada suara yang mengudara.

Apa ini artinya dia tidak mau?

Hatiku terkoyak menatap iris amber yang kini menatapku penuh keraguan dan penyesalan. Apa kepercayaan yang kuberikan belum cukup untuk membuatnya membayangkan masa depan bersamaku?

Aku tak masalah jika harus menunda pernikahan—yang katanya tabu apabila ditunda-tunda—sampai umur 30 tahun keatas, asalkan bersama dia.

Bohong jika aku tak pernah memikirkan kehidupan yang diikat dengan janji suci bersamanya. Diumurku yang tak lagi muda, ada perasaan dimana aku ingin membangun kehidupan bersama lelaki pilihanku. Perasaan iri ketika satu per satu temanku datang dengan gandengan atau tiba-tiba muncul hanya sekadar memberi undangan.

Selama ini aku hanya membayangkan masa depan indah bersama satu orang, yaitu lelaki dihadapanku kini. Aku menutup hati rapat-rapat setelah mimpi masa depan itu hancur bersama terbunuhnya perasaanku dimasa lalu. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa dialah yang aku percaya untuk berjalan bersampingan denganku mengarungi sisa kehidupan ini. Karena dari dulu, dia adalah rumahku.

Benar kata mama. Di tanah kelahiranku, kebanyakan wanita menikah dalam usia muda. Hal yang sedikit tabu apabila ada wanita yang menikah diumur mendekati kepala tiga.

Genggaman yang tadinya erat perlahan-lahan aku lepas. Perasaan kecewa itu datang tanpa bisa aku cegah.

Sama persis seperti dulu, hanya aku yang berharap lebih pada hubungan ini, sedangkan dia tidak pernah berani melangkah keluar dari hubungan yang sedang kami bina. Dia selalu merasa jalan ditempat saja sudah cukup. Tidak berani mengambil risiko hanya demi kebahagiaan yang akan datang lebih lagi.

"Kalau begitu, kamu juga sudah bisa menjawab sendiri, kan? Apakah restu tante bisa kamu dapatkan atau tidak." Timpal mama dengan santai. Kali ini aku tidak tahu harus marah atau berterimakasih karena mama telah membuka mata bahwa hubunganku ini tidak memiliki visi yang sama.

"Emang jauh berbeda ya, lelaki yang dewasa dan berani berkomitmen dengan lelaki yang bahkan cuma memikirkan dalam jangka pendek saja dan takut berkomitmen lebih jauh." Ujar mama ambigu.

Aku segera menoleh menatap mama. Maksudnya apa?

"Maaf ya Orion. Tapi restu tante sudah bersama orang lain. Lelaki yang tante anggap pantas dan mampu untuk Halley. Yang memberikan komitmen lebih serius dari apa yang kamu minta tadi."

Kedua mataku membola. Otakku mulai bekerja cepat menghubungkan segala kejadian aneh yang terjadi akhir-akhir ini.

Altair yang menghilang tiba-tiba dan muncul kembali dengan membawa mamaku. Jangan bilang....

"Altair jauh lebih mampu untuk membina hubungan rumah tangga bersama kamu, L."

Kalimat itu jatuh bagai bom. Dua kali. Hatiku sudah hancur diporakporandakan. Namun, kali ini sepertinya sudah benar-benar hancur melihat wajah tak berdaya dari lelaki disampingku.

Aku masih kehilangan kata-kata. Perasaan marah karena perjodohan konyol itu diungkit ke permukaan kalah jauh dibanding rasa kecewa karena keseriusan lelakiku yang sekarang kupertanyakan.

Lelakiku? Apa setelah ini kamu masih mau berjuang bersamaku, Yon?

Kenapa aku merasa bahwa setelah ini kamu akan melepasku begitu saja?

"Seharusnya kamu mencari lelaki yang jelas bibit-bobotnya, Halley. Jangan mencari pasangan hidup dengan latar belakang kacau seperti dia."

Dua bom ternyata belum cukup. Kali ini granat sudah dilemparkan dengan tepat sasaran. Orion segera membatu. Kepalanya semakin menunduk dalam. Memberikan gestur bahwa dia benar-benar tersudut saat ini.

Sedangkan aku menatap tak percaya dengan perkataan pedas mama. Mama hanya membalas tatapanku dengan lirikan santai nan tajam.

"Ma, jangan kelewatan!" Ultimatumku seperti angin lalu bagi mama. Walau rasa kecewa sudah tak terbendung, tetapi aku tak bisa membiarkan Orion disudutkan seperti ini.

"Kenapa? Tante benar, kan? Kamu sama saja dengan papimu. Tidak bisa berkomitmen serius dengan satu wanita. Jelas saja tante tidak akan membiarkan hal yang menimpa mamimu terjadi kepada anak bungsu tante."

"Lelaki yang ada disekitar Halley itu gak ada yang beres. Semuanya brengsek. Cuman Altair yang lolos dari seleksi tante dan yang bisa tante percaya. Dia berjanji untuk berkomitmen dengan satu wanita seumur hidupnya. Dan yang paling penting, dia menunjukkan keseriusannya dengan meminta restu dari orang tua kedua belah pihak." Tuduhan panjang lebar itu semakin membuat aku menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya mama membawa hal yang tidak perlu kedalam perbincangan ini.

"MA! CUKUP! Ini gak ada hubungannya sama orang tua Orion." Ujarku keras mencengkram tangan mama. Tidak kuat. Tapi aku harap lewat cengkraman ini mama mengerti bahwa beliau benar-benar sudah melewati batas. Aku menatap Orion sekilas. Aku takut dia benar-benar tak kuat mendengar segala cercaan mama.

Tak masalah jika aku yang harus dicerca mama, aku sudah biasa. Tapi tolong, jangan Orion.

"Perjodohan kamu dan Altair akan kembali dibicarakan, L. Orang tua Al sudah memberi restu. Begitu pula dengan kami." Mulutku sedari tadi gatal ingin memotong ucapan mama. Keningku mengernyit mendengar kata ganti aneh disana. Kami?

Seakan membaca isi pikiranku, mama segera menambahkan. "Benar, papamu juga sudah memberi restu. Kali ini keadaan jauh berbalik daripada tiga tahun yang lalu, L." Perkataan itu terdengar sangat penuh percaya diri. Aku menatap mama dengan perasaan campur aduk. Mataku sudah mengabur karena genangan air mata.

Egois.

Hanya satu kata itu yang muncul di benakku saat ini.

Sebelum sempat aku melawan balik segala perkataan mama, gerakan seseorang disampingku segera menarik atensiku. Orion kini telah berdiri dengan wajah penuh raut putus asa. Dia melayangkan tatapan tepat ke arah mama.

"Sudah malam. Saya permisi dulu, tante. Obrolan ini lebih baik dibincangkan berdua saja dengan Halley. Saya sebagai orang luar tidak pantas untuk ikut. Permisi." Pamitnya tanpa sama sekali menoleh ke arahku. Dia berjalan cepat ke arah pintu dan memasang sepatu kerjanya asal-asalan.

Aku menatap panik punggungnya dan segera memanggil namanya untuk mencegah dia pergi. Tetapi, sebaris pernyataan mama berhasil membuatku terpaku didepan pintu apartemen. Berhenti mengejar seseorang yang kini sudah berjalan menjauh.

"Lihat kan? Dia malah berbalik pergi tanpa sedikitpun menoleh kearahmu. Kalau dia benar-benar serius denganmu, dia akan membantu kamu keluar dari perjodohan ini. Bukannya malah pesimis dan pergi."

Kakiku terpaku didepan pintu apartemen ini. Langkah tergesa-gesa tadi tidak kulanjutkan. Tatapanku tak lepas dari punggung lebar yang terlihat rapuh itu. Kakinya melangkah cepat menuju ujung koridor. Dalam setiap langkah kakinya aku melafalkan permohonan dalam hati.

Aku mohon, berbaliklah....

Tunjukkan ke mama kalau kamu serius untuk berjuang sama aku.

Aku terus berdoa dalam hati.

Yon, ayo berbalik.

Kamu udah janji kan, gak akan pergi lagi?

Baru tadi dia berjanji tidak akan meninggalkan aku lagi. Aku harap dia benar-benar memegang janji itu.

Tetapi, saat punggung lebar itu berbelok di koridor dengan langkah mantap, tak ada niatan untuk memperlambat langkah, atau bahkan berbalik ke arahku, tangisku tak dapat aku bendung lagi. Badanku merosot dan pegangan tanganku pada pintu apartemen terlepas.

Isak tangisku memenuhi koridor ini. Aku hanya berharap, suara tangis ini bisa membawa dia kembali. Seperti keajaiban dimana dia tiba-tiba muncul lagi dari balik koridor dan menenangkan aku yang menangis.

Tapi, dia tidak datang.

Janji itu terlanggar, lagi.

Keadaanku saat ini tak jauh berbeda dengan saat itu.

Benar. Saat di taman kompleks,

dan di belakang aula saat pesta kelulusan kami.

Sudah ketiga kali, dia meninggalkanku dengan langkah pasti. Meninggalkan aku terduduk dengan tangis berderai. Persis seperti saat ini.

''''

Us : 'Kalopsia'Where stories live. Discover now