BAB 11 - Liar

13 3 0
                                    

Halley POV

Aku balas memberi jari tengah kepadanya. Si goblok ngajak ribut, bathinku kesal.

Kemudian membuka botol mineral dingin yang kuambil sekalian dengan sojunya lalu menenggaknya.

"Lha? Udah tobat lu? Sejak kapan suka minum air mineral?" Sindirnya dengan tatapan yang membuatku jengkel.

Koreksi, sangat-sangat-jengkel.

"Trus lu mau gue minum tuh soju lagi dan berakhir di rumah sakit lagi?" Balasku tak kalah sinis.

Dia hanya tertawa renyah.

Kesal. Kutimpuk muka kusutnya dengan bantal di samping kiriku.

"Gegara semalem tau gak! Mana gue gak makan seharian, trus malamnya malah minum soju dua botol. Kalau gak gara-gara tu temen kampret se-spesies lu dateng pagi-pagi nembak gue lagi, gak bakal berakhir di rumah sakit gue tai. Kerjaan gue banyak banget, dia malah nambah beban pikiran gue." Omelku panjang lebar.

"Wah parah lu emang. Udah gak makan seharian, malah minum-minum lu. Syukur aja gak pergi duluan." Candanya kepadaku dan kuhadiahi dengan timpukan bantal kedua.

Dia hanya terbahak-bahak seraya memeluk bantal yang kulempar tadi.

"Apa lagi yang mau lu bahas? Kepala gue mumet banget bahas dia mulu." Ucapku sambil memijit-mijit pelipisku pelan.

"Si Al itu, feeling gue dia suka sama lu sejak lama." Jawab Ares akhirnya.

Aku terdiam. Bukannya aku tak peka, aku tahu. Ya, walaupun aku tak tahu pasti apakah itu benar atau tidak. Tapi perempuan memang lebih peka daripada lelaki bukan?

Perempuan bisa merasakan apa yang dirasakan lelaki walaupun para lelaki tak mengutarakannya.

Ya, walaupun pada akhirnya, perempuan hanya bisa menerka-nerka tanpa kepastian.

"Tapi Al udah janji kok ke gue, gak bakal melibatkan perasaan dalam hubungan pertemanan kami." Kataku membela.

Iya, membela diri. Berusaha menyangkal kenyataan yang sudah atau sedang terjadi.

Aku hanya takut. Takut pertemanan ini berakhir bila harus melibatkan perasaan. Aku takut kehilangan dia, sahabat lelaki terbaikku lagi.

Aku tak ingin kehilangan sahabatku lagi karena persahabatan yang ternodai perasaan cinta.

"Tapi masalah perasaan kita gak ada yang tau, kan? Perasaan itu bisa muncul tanpa dicegah." Jawab Ares kemudian.

Aku terdiam, tak sanggup berkata-kata.

Ares menghela nafas pelan, sadar bahwa pernyataannya membuatku bungkam.

"Tapi, lelaki itu yang dipegang perkataannya kan? Kalau sampai itu terjadi, gue gak ngerti lagi harus percaya sama siapa. Gak Orion, Gak Altair, semuanya sama aja. Pembohong." Ucapku akhirnya, rautku berubah datar.

Aku menoleh kesamping, menatap langit biru yang sedang cerah. Enggan memperlihatkan wajah badmood-ku kepada Ares.

Ares bungkam. Kalau sudah seperti ini, Ares tak bisa lagi melanjutkan percakapan. Suasana sudah berubah tegang sekarang. Dan bertanya lagi akan membuat keadaan memanas dan memancing kemarahanku.

Seperti mengerti, Ares bangkit.

"Okay, I'm sorry kalau perkataan gue membebani pikiran lu. Udah jangan pikirin dulu, utamain kesehatan lu. Gue balik." Kata Ares. Dia maju sedikit hanya sekedar mengusak kepalaku pelan. Kemudian beranjak pergi dari apartemenku.

Us : 'Kalopsia'Where stories live. Discover now