1. Pembagian Kasta

79 16 5
                                    

Sorak-sorai murid SMA Cendekia memenuhi lapangan basket indoor sekolah. Saat ini mereka sedang menyaksikan pertandingan perpisahan antara tim basket senior yang terdiri dari siswa kelas XII melawan tim basket junior yang terdiri dari siswa kelas XI.

"Mario ... Mario ... Marioooooo! We love you!" Teriakan itu berasal dari murid kelas XII yang suaranya didominasi oleh anak perempuan.

Mario, pemuda bertubuh jangkung itu sudah tiga kali berturut-turut menyabet gelar MVP. Jadi, tidak heran jika banyak yang mengelu-elukan namanya.

Sementara itu, dari sisi tribun penonton yang diisi oleh murid kelas XI juga tak kalah semangat meneriakkan nama calon kapten basket yang nantinya akan menggantikan Mario. "Darren ... Darren ... Darreeennnn ... ganbate!"

Pertandingan itu benar-benar riuh. Namun, di tengah keriuhan tersebut, seorang gadis berwajah oval justru sibuk memusatkan perhatiannya pada pemuda yang sejak pertandingan dimulai mondar-mandir di sisi lapangan dengan kamera DSLR yang mengalung di lehernya.

Pemuda itu Mikhael. Kina tidak sengaja berpapasan dengannya saat hari pertama masuk sebagai murid SMA Cendekia karena mereka sama-sama terlambat. Mungkin Mikha—panggilan akrabnya—sudah lupa, tapi bagi Kina, interaksi singkat saat Mikha menanyakan kepadanya di mana ruang kelas sepuluh berada berhasil membuat kupu-kupu di perutnya beterbangan. Menurut Kina, Mikha itu sangat manis, apalagi kalau sedang tersenyum dan gigi gingsulnya kelihatan.

Sayangnya, dua tahun mereka sekolah di situ, Kina tidak pernah ditakdirkan untuk satu kelas dengan cowok itu. Bahkan, saat beberapa kali terjadi perombakan kelas sewaktu kelas sepuluh. Tampaknya dewi fortuna benar-benar tidak berpihak kepadanya.

"Ahh!" Kina memekik saat tidak sengaja es tehnya tersenggol dan membuat sepatunya basah.

Abel, sahabat sekaligus si pelaku menolehkan kepala. "Aduh! Sorry banget, Kin. Gue nggak sengaja."

"Hmm ... ya. Lo ada tisu nggak?"

"Ada, ada." Abel mengambil tisu yang ditaruh di saku seragam atasannya. Namun, sebelum gadis berkacamata itu memberikannya pada Kina, ia lebih dulu memekik lantaran Rio baru saja mencetak three point. "Yeeeeeeee!!!"

Kina mengusap-usap telinganya yang berdenging. Matanya menatap malas Abel yang masih belum juga memberikan tisu kepadanya. "Bel!"

"Eh, iya, iya. Aduh, gila keren banget Rio, Kin," kata Abel sumringah seraya menyerahkan tisu.

"Bodo!" ketus Kina sambil menaruh tisu ke dalam sepatunya agar tumpahan es teh tadi terserap.

"Nyeh! Makan, tuh, Mikha. Gini aja lo masih sibuk merhatiin dia. Parah emang!" ujar Abel diiringi gelengan kepala.

Kina tidak menggubris. Gadis itu sibuk menggerak-gerakkan kakinya yang terasa risih. "Nggak enak banget, Bel. Apa nanti gue ganti pakai sepatu olahraga aja, ya? Tapi, masa sepatu olahraga, sih!"

"Gue ada sepatu di loker. Kalau lo mau, pakai aja," jawab Abel tanpa mengalihkan pandangan dari lapangan.

"Boleh, deh."

Setelahnya, Kina ikut mengarahkan tatapannya ke lapangan. Gadis berambut lurus itu merasa kikuk ketika tiba-tiba saja orang-orang di sekelilingnya bangkit berdiri. Teriakan demi teriakan terdengar bersahut-sahutan. Kina baru saja ikut berdiri saat mendadak Abel jingkrak-jingkrak kegirangan dan selang beberapa detik lagu We Are The Champions milik grup musik rock Queen berkumandang. Ya, pertandingan itu akhirnya selesai dengan tembakan three point dari Rio sebagai penutup sekaligus kemenangan timnya.

"La-la-la. Ye-ye-ye." Tubuh Abel masih saja bergoyang, meski saat ini sudah berada di ruang ganti khusus anak perempuan.

"Lo kayak gitu mirip apa tahu nggak, Bel?" celetuk Kina meminta temannya menebak.

Abel yang baru saja membuka loker menolehkan kepala. "Nggak. Apaan emang?"

"Belatung."

"Sialan lo!" Abel mendelikkan mata. "Nggak jadi, deh, gue pinjemin sepatu ini ke lo," lanjutnya seakan sayang untuk menyerahkan sepatu di tangannya kepada Kina yang tengah terbahak-bahak.

"Yaaahh ... jangan, dong. Tega, ih, Bu Bidan."

Iya! Abel yang notebene anak PMR memang bercita-cita menjadi seorang bidan dan bersuamikan orang kaya. Katanya, alasan dia memiliki cita-cita yang kedua itu karena ingin membantu orang yang kurang mampu. Jadi, suatu hari nanti, meski orang-orang membayarnya seikhlasnya, kehidupannya tetap tercukupi. Sungguh rancangan masa depan yang tertata sangat apik. Kina saja sampai standing applause saat pertama kali diberitahu.

Bertepatan dengan dua gadis itu keluar dari ruang ganti usai Kina memakai sepatu Abel, pengeras suara yang terpasang di setiap ruang kelas dan beberapa titik penting di sekolah berbunyi, "Mohon perhatian. Bagi siswa-siswi kelas dua belas diharapkan untuk segera melihat papan pengumuman karena pembagian kelas berdasarkan nilai semester 1-4 sudah dipasang di sana dan akan berlaku mulai besok pagi."

Degup jantung Kina langsung tak karuan mendengar pengumuman yang kata teman-teman sekelasnya adalah pengumuman di mana kasta mereka yang sesungguhnya akan terlihat. Ini ... ini yang sudah ia tunggu-tunggu bahkan sebelum liburan kenaikan kelas kemarin. Dalam hati Kina berharap bisa sekelas dengan Mikha setelah belajar siang dan malam. Celine-teman satu ekskulnya yang selalu sekelas dengan Mikha-pernah bilang kalau cowok itu tergolong pintar sehingga kemungkinan akan masuk kelas XII IPA 1.

Kedua bahu Kina merosot begitu melihat namanya dan nama gebetannya tidak terletak pada daftar yang sama. Usai mengembuskan napas kasar, ia dan Abel memilih keluar dari kerumunan anak-anak, kemudian langsung menuju kantin.

"Udahlah, Kin, nggak usah sedih gitu. Itu artinya Tuhan sayang sama lo. Biar lo fokus sama sekolah bukan sama cowok. Apalagi kita udah kelas dua belas," kata Abel yang baru datang dengan nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh.

"Gitu, ya?"

Abel mengangguk semangat. "Lagian di kelas kita nanti 'kan ada Mario. Mario, Kin. M-A-R-I-O." Ia mengeja nama sang idola lapangan.

"Lebay lo!"

"Yeah, belum pernah 'kan di kelas kita ada anak yang terkenal. Cakep pula. Jadi, kalau udah siang terus bosen sama ngantuk dengerin pelajaran bisa lihat yang seger-seger."

"Nyeh! Belum juga lima menit lo ceramahin gue 'biir li fikis simi sikilih bikin simi ciwik'. Dasar plin-plan!" Kina melempar tatapan sinis.

Abel meringis memamerkan deretan giginya. "Udah, ah. Mau makan dulu ntar keburu dingin nggak enak."

Kedua gadis itu sama-sama menambahkan sambal ke mangkuk masing-masing. Selang sepuluh menit, mereka selesai dengan kegiatan makannya.

"Hari ini 'kan free. Lo langsung balik?"

"Gue mau rapat lagi sama anak redaksi." Kina mengembuskan napas panjang. Sebagai ketua tim redaksi sekolah, ia benar-benar lelah karena dikejar-kejar oleh Bu Retno—guru pembimbing organisasi yang diikutinya—lantaran majalah sekolah belum juga masuk percetakan. Padahal, minggu pertama tahun ajaran baru sudah mau habis

"Rapat mulu lo. Gue, dong, tinggal sertijab hari Jumat nanti."

"Gue belum cerita, ya, kalau artikel ekskul basket sama teater nggak ada. Entah mereka emang belum setor atau datanya kehapus sama anak-anak. Gue sendiri lupa," jawab Kina pasrah.

"Kok, bisa ceroboh gitu? Terus gimana?" Abel ikut prihatin dengan masalah temannya.

"Ya, ini nanti laptop tiap anak mau dicek satu-satu. Kalau emang tetep nggak ada, ya, terpaksa minta sama anak ekskulnya lagi." Kina menyunggingkan segaris senyum paksa. "Ya, udah, gue mau ke markas sekarang. Lo balik atau ikut gue? Rapatnya masih setengah jam lagi, kok," tambahnya sambil menggendong ranselnya.

"Ikut, ikut." Abel menyampirkan tas selempangnya ke bahu. Mereka pun segera beranjak dan pergi dari kantin usai membayar makanan masing-masing.

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vomment ya! 😉

The Rain and I Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang