10. Tukeran Nomor

12 5 0
                                    

Orang bilang waktu akan berjalan sangat cepat jika kita sedang bersama orang yang disukai, tapi mengapa Kina tidak demikian? Dia justru merasa jarum jam bergerak dua kali lebih lambat dari yang seharusnya. Belum lagi, tubuhnya terasa kaku karena terus-terusan menghadap ke depan dan hanya sesekali menengok ke samping untuk membaca soal yang diberikan guru fisikanya. Mulutnya juga seakan kering lantaran dari tadi hanya bicara seperlunya dengan Mikha. Berbeda sekali dengan saat ia duduk bersama Abel, mulutnya seolah tidak berhenti nyerocos.

"Waktunya habis," ucap Pak Wayan mendengar bel tanda selesai mengajar berbunyi. Embusan napas lega terdengar dari mulut para murid. Memang, ya, mendengar bel pulang itu seperti mendengar bel surga bagi anak sekolah.

"Jangan lupa kalian boleh mendiskusikan soal yang dianggap rumit bersama teman semeja. Karena nanti, sebelum saya menjelaskan, saya akan menunjuk per kelompok untuk menerangkannya lebih dulu di depan kelas."

Mikha mengangkat tangan kanannya. "Tapi, saya nggak sekelas sama dia, Pak." Ekor matanya melirik Kina.

"Tidak masalah, Mikhael. Kamu hanya harus mengambil celah untuk pendekatan, eh, maksud saya waktu untuk kerja kelompok dengan Kinara," canda Pak Wayan disambut sorakan dari murid lainnya. "Jam tambahan ini tidak berkaitan dengan jam pelajaran biasa karena saya memulai materinya dari kelas sepuluh. Begitu soal ini selesai dikupas tuntas, saya akan memberikan soal lagi agar kalian terbiasa dengan berbagai macam bentuk soal. Jadi, paham, ya?"

"Paham, Pak."

Pak Wayan mengangguk singkat. Setelah merapikan kertas-kertas di meja guru, pria itu pun keluar dari laboratorium fisika setelah mengucapkan salam.

"Lo sampai nomor berapa tadi?" tanya Mikha menolehkan kepalanya.

Kina sedikit memundurkan tubuhnya lantaran terkejut. "Lima belas. Lo?"

"Delapan belas, tapi nomor enam sama sembilan belum. Gue lupa pakai rumus yang mana. Boleh lihat punya lo?"

Mikha gila! Ngapain nanya rumus pakai lihatin segala. Kan bisa lihat kertas aja. Mana deket banget lagi!

Melihat temannya justru terdiam, Mikha pun melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu. "Kinara, lo baik-baik aja, kan?"

"Hah? Iya, gue baik, kok." Kina mengerjap-ngerjapkan mata. Dalam hati ia merutuk kebodohannya yang tidak terkira. Seharusnya, dia bersikap elegan 'kan di depan cowok itu, bukannya seperti orang dungu. Semoga saja Mikha tidak ilfeel.

"Kayaknya lo capek, ya? Kita kerjain sendiri-sendiri aja dulu baru diomongin soal mana yang nggak bisa. Gimana?"

Kita? Kina merasakan sesuatu menggelitik perutnya mendengar kata itu dari mulut Mikha. Biar pun artinya hanya sebatas kelompok, tapi bukan tidak mungkin 'kan suatu hari berubah? Kina mengangguk seraya tersenyum. "Boleh, lebih mempersingkat waktu juga."

Masih ada beberapa siswa lain yang tengah berdiskusi ketika keduanya selesai merapikan barang masing-masing. Dan saat Kina sudah menggendong ranselnya, tiba-tiba saja Mikha menyodorkan ponselnya.

"Gue minta nomor lo. Siapa tahu nanti butuh," ucap cowok itu to the point.

Tidak ada kecanggungan sama sekali dalam nada bicara Mikha. Kina bisa merasakan perbedaan yang cukup jauh dibandingkan saat ia bertukar nomor ponsel dengan Mario. Haish! Mengapa Kina jadi suka membanding-bandingkan begini? Tadi Abel, sekarang Mario.

Hati-hati gadis itu mengambil alih ponsel Mikha untuk sejenak mendial nomornya, lalu mengembalikannya lagi. "By the way, lo cukup panggil gue Kina aja."

"Kenapa? Bukannya lebih bagus Kinara?" Mikha berpendapat.

"Lo sendiri kenapa dipanggil Mikha? Kenapa nggak Mikhael aja?" Kina membalikkan kata-kata cowok itu.

Mikha tersenyum memamerkan gigi gingsulnya. Yang otomatis membuat jantung Kina harus bekerja lebih keras lagi. Gadis itu kembali terpaku dengan wajah manis di depannya dan kalau saja Mikha tidak menjentikkan jari di depan wajahnya, mungkin Kina akan tetap di situ sampai ruangan dikunci penjaga sekolah.

"Ups, sorry. Kayaknya ini efek belum makan, jadi nggak konsen," ucapnya beralasan.

Mikha manggut-manggut. Mereka lalu berjalan keluar saat menyadari tidak ada lagi siswa lain yang masih bertahan di ruangan itu. Dari depan laboratorium fisika, keduanya bisa melihat hanya tinggal beberapa sepeda motor yang masih tersisa di parkiran.

"Lo pulang naik apa?" tanya Mikha seraya celingukan mencari sepeda motornya.

"Gue dijemput."

"Ooh ...." Bibir cowok itu membulat. "Mau nebeng sampai lobi? Gue bawa motor."

Gue tahu, kok. Jangankan lo bawa motor, plat nomornya berapa aja gue tahu!

Kina sangat ingin mengiakan, tapi mengingat jaraknya yang tidak terlalu jauh. Rasanya berlebihan sekali. "Nggak, makasih," tolak Kina halus, meski hatinya berat.

Sementara Mikha berjalan ke arah motornya, Kina menuju lobi sekolah dengan sedikit penyesalan di dalam dirinya. Remaja itu sempat melirik ke belakang, tampak Mikha sudah duduk di atas motor dan sedang sibuk dengan ponselnya.

Tiba di depan lobi, Kina mengeluarkan ponsel untuk mengabari sang ibu. Di saat kedua jempol tangannya menari di atas keyboard, sebuah klakson terdengar. Kina mengangkat wajah, terlihat Mikha menatapnya dan menganggukkan kepala sebagai ganti salam bahwa cowok itu pamit pulang duluan.

Kina menarik napas panjang. Kenapa hari ini rasanya seperti naik roller coaster? Mendebarkan sekaligus menyenangkan. Kina tersentak dari lamunan lantaran ponselnya berdering. Nama "Ibu" dengan emoji hati di belakangnya tertera di layar. Segera jemarinya menggeser ikon hijau untuk menjawabnya.

"Kina, ngapain kamu berdiri terus di situ? Ayo, cepat masuk ke mobil," omel Bu Nita di seberang telepon.

Kepala Kina menengok ke arah luar pagar. Benar saja, ada mobil putih milik ibunya di sana. Ia melangkahkan kakinya cepat-cepat sebelum tambah kena marah.

"Jangan suka melamun di tempat umum, Kin. Bahaya tahu," nasihat sang ibu begitu putrinya mendaratkan bokong di jok sebelahnya.

"Iya, maaf. Tadi itu, Kina ...." Kina mencari-cari alasan yang masuk akal. Tidak mungkin 'kan dia bilang kalau dirinya tadi tersipu gara-gara Mikha.

"Kamu sakit? Wajahmu merah." Bu Nita memegang pipi anaknya. "Tapi, nggak panas."

"Hah? Masa, sih?" Kina menangkup wajahnya. Raut wajahnya sedikit kikuk. "Kina nggak sakit. Kina cuma nggak sempat makan aja tadi. Jadi, lemas."

"Ya, sudah. Kita makan dulu, ya. Kamu mau makan apa?"

Bibir mungil itu menyunggingkan senyum. Kalau sudah begini, ibunya pasti akan menuruti di mana dan apa saja yang ingin di makannya. Kina dengan wajah sumringah pun menjawab, "Restoran Jepang yang biasanya!"

Bu Nita tersenyum, lalu mengusap kepala putrinya. "Kamu nggak pernah ada bosennya, ya," katanya, lalu menghidupkan mesin mobil dan mereka pun segera meluncur ke tempat tujuan.

The Rain and I Donde viven las historias. Descúbrelo ahora