45. Ara dan Hujan

16 3 1
                                    

Suasana rumah Ivanna mendadak jadi mencekam selepas Kina angkat kaki dari tempat itu. Pandhu yang lebih memilih bungkam memutuskan untuk kembali ke kamar. Namun, Sophia jelas tak bisa tinggal diam setelah apa yang baru saja terjadi. Wanita itu menahan lengan suaminya, dan berkata, "Kita harus bicara."

"Nggak sekarang." Pandhu melepas tangan istrinya, hendak berlalu, tapi urung saat sadar Ivanna masih berada di situ.

"Ivanna," panggil laki-laki itu yang justru dibalas dengan sikap tak acuh putrinya.

Ivanna mendengkus sebelum akhirnya menaiki tangga, meninggalkan kerunyaman keluarganya yang disebabkan oleh teman dekatnya.

"See? Nggak cuma aku yang nggak suka, tapi Ivanna juga," Sophia tersenyum miring, "lupain anak kamu itu, Pandhu."

"Nggak akan! Kamu tahu selama ini aku mencarinya, dan saat dia datang kepadaku, jelas aku akan berusaha untuk kembali dekat dengannya."

Di anak tangga paling atas, air mata Ivanna sudah merebak. Ada ketakutan besar dalam dirinya jika ucapan ayahnya kelak terealisasi.

"Apa anak itu masih mau ketemu kamu setelah diperlakukan seperti tadi? Kamu bahkan menyuruhnya pulang."

Pandhu tak bisa menjawab. Karena itu, ia memilih untuk menyusul Ivanna dengan harapan anaknya mau memberitahu banyak hal tentang Kina. Dan Sophia hanya tertawa sinis menyaksikannya.

"Iva, apa Papa boleh masuk?" tanya Pandhu seraya mengetuk pintu bercat putih di depannya.

Ivanna lebih dulu menghapus air matanya sebelum membukakan pintu. Setelahnya, gadis itu kembali duduk di ranjang, tanpa mau menatap wajah ayahnya.

"Iva beneran marah sama Papa?" Pandhu mendudukkan tubuhnya di sisi ranjang.

"Seharusnya Papa selesaiin ini sama Mama. Bukan malah ke kamarku."

"Mama belum bisa diajak bicara sekarang. Iva ...." Pandhu meraih bahu Ivanna agar menghadapnya. "Kamu dekat sama Ara?"

"Maksud Papa itu Kina?"

"Sekarang dipanggilnya Kina, ya?" Kepala Pandhu menunduk, menyembunyikan raut sedihnya. "Nita benar-benar sangat membenciku sampai mengubah nama panggilan Ara," batinnya pedih.

Ivanna tersenyum kecut. "Papa mending cari tahu aja sendiri karena Iva-oh, sekarang aku juga nggak mau dipanggil Iva lagi."

Gantian Ivanna yang menunduk. Rambut panjang gadis itu jatuh membingkai wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Ivanna takut tidak punya ayah lagi seperti dulu.

"Kenapa kamu menangis?" Kali ini Pandhu mengangkat dagu putrinya, dan Ivanna makin sesenggukan saat matanya menatap mata sang ayah.

"Papa itu papanya Ivanna, kan?"

Pandhu mengangguk. "Tapi, Papa juga ayahnya Ara."

"Kenapa Papa bisa yakin kalau Kina itu anak Papa? Dia bisa aja salah orang."

"Tinggimu boleh hampir sama dengan Papa, tapi ternyata kamu tetap gadis kecilnya Papa." Pandhu mengelus rambut Ivanna. "Lima sampai sepuluh tahun lagi, saat kamu sudah sukses dan memiliki keluarga sendiri, kamu akan tahu apa yang Papa rasakan."

"Stop, Pa!" Ivanna memundurkan tubuhnya, tidak mau ayahnya memperlakukannya penuh sayang lebih lama lagi. "Setelah Kina datang ke rumah ini dan ngaku kalau dia anak Papa, dan Papa juga mengakuinya, kenapa Papa masih bersikap seperti ke Ivanna?"

"Memang Iva pengen Papa gimana? Kamu, Zio, dan Ara sama-sama anak Papa."

Ivanna menggeleng pelan diiringi air mata yang lagi-lagi meleleh. "Ivanna bukan anak kandung Papa. Dulu, Ivanna sering diejek nggak punya papa sampai akhirnya Papa datang dan nikah sama Mama. Dan sekarang, Papa udah ketemu sama anak kandung Papa. Semua nggak akan sama lagi, apalagi anak kandung Papa itu Kina, teman sekolahku."

"Kenapa kamu berbicara seperti itu?" Pandu memeluk tubuh putrinya yang bergetar karena tangis. "Semua akan tetap sama. Kamu memang bukan anak kandung Papa, tapi Papa menyayangimu sama seperti Papa menyayangi Zio dan Ara. Apa pernah Papa membeda-bedakan kamu dan Zio?"

Dalam pelukan sang ayah, Ivanna menggelengkan kepala. Pandhu mengelus punggung anaknya dengan perasaan campur aduk. Jika Ivanna yang sebesar ini saja takut ditinggalkan olehnya, bagaimana dengan Ara yang dulu baru berusia lima tahun? Tangis serta suara anaknya yang memintanya untuk tetap tinggal seketika terngiang-ngiang di telinga. Dalam diam, air mata Pandhu jatuh menetes.

***

"Gue belum mau pulang," ucap Kina saat hujan perlahan bertambah deras.

Tidak ingin Kina sakit seperti saat kejadian mereka pulang les bersama, Mikha yang baru saja mendapatkan ide memutuskan untuk membawa cewek itu ke rumahnya.

"Bokap sama nyokap lagi nggak di rumah, kok. Tenang aja," kata Mikha begitu turun dari motor.

Kina hanya mengangguk dan lagi-lagi hanya diam saat Mikha menggenggam tangannya kala memasuki rumah, menaiki tangga guna menuju kamar cowok itu.

"Hujan ...."

"Hujan, kamu sudah pulang?" tanya Oma Melati dari arah dapur.

Tubuh Kina membeku mendengar seseorang memanggil nama yang membuatnya tidak bisa tidur saat mengingatnya. Dan, air mata pun kembali menggenang saat pemuda di sebelahnya menyahut keras.

"IYA, OMA!"

Mikha menyunggingkan senyum tipis, lalu kembali ia berkata, "Ayo, ikut aku kamar. Ada yang mau aku tunjukkin."

Lagi, kata yang membuat otak Kina tidak bisa berpikir kembali dilontarkan. "Aku" Mikha bilang, bukan "gue".

Memasuki kamar bernuansa monokrom, Mikha berhenti saat tiba di dekat rak buku. Memutar tubuhnya menghadap Kina, ia lantas menaruh kedua tangannya di bahu Kina dan menatap lekat wajah sang gadis.

"Aku nggak tahu apa yang udah terjadi tadi. Aku cuma mau bilang kamu hebat, kamu kuat, dan aku bangga kenal sama kamu ... Ara."

"Hujan?" Air mata Kina pun menetes.

Pemuda itu tidak menjawab dan malah berjalan menuju lemari. Mengambil kalung yang selama ini disimpan, Mikha kembali menghampiri Kina, dan berkata, "Aku balikin punya kamu."

Air mata Kina makin mengalir deras saat Mikha memakaikan kalung pemberian ayahnya. Nyatanya, benda itu tidak benar-benar hilang, ada seseorang yang menyimpannya dengan sangat baik sehingga ia bisa memakainya lagi.

"Hujan ...." Kina menangis tersedu-sedu seraya menatap tidak percaya kalau pemuda yang ia sukai ternyata teman masa kecilnya.

Dan, saat itu juga, Mikha merengkuh tubuh yang sedang rapuh itu ke dalam pelukannya. "Iya, ini Hujan, Ara."

The Rain and I Where stories live. Discover now