17. Bukan Pembunuh

27 7 2
                                    

"Adudu ... yang semalem abis nganterin cewek, jam sepuluh baru bangun."

Godaan dari sang mama sontak memenuhi telinga begitu kakinya menginjak lantai satu. Mikha tampak tak acuh. Ia jalan terus ke dapur, mengabaikan mamanya yang suka asal bicara kalau di rumah.

"Mikha!" Wanita itu membuntuti anaknya lantaran tak mendapat respons. Mikha terlihat tenang mengolesi roti dengan selai cokelat.

"Apa, Ma?"

"Siapa namanya?" Agnes menyunggingkan senyum lebar dengan kedua alis terangkat.

"Emang kenapa, sih, Ma? Dia cuma temen, kok." Mikha merengut. Paling tidak suka kalau baru bangun sudah direcoki.

"Ouh, Kinara."

Kontan Mikha menegakkan kepala. Menatap mamanya, lalu beralih pada asisten rumah tangganya yang sedang mencuci piring. "Mbok Ratmi ngasih tahu Mama, ya?" serunya kesal.

"Maaf, Mas. Kemarin nggak lama setelah Mas Mikha balik ke sekolah, Ibu pulang dan lihat dua kursi di meja makan kepake." Tergopoh-gopoh wanita tua itu mendekat untuk menjelaskan.

"Mikha nggak sopan, ih, ngomong begitu sama Mbok Ratmi." Sang ibu mengingatkan. Walaupun hidupnya sangat berkecukupan, tapi Agnes selalu mengajari anak-anaknya untuk menghormati siapa saja tanpa memandang umur dan profesi.

"Iya, maaf Mbok Ratmi."

"Nggak apa-apa, Mas. Mbok permisi dulu mau lanjutin pekerjaan."

Mikha melanjutkan sarapannya yang tertunda. Selera Agnes dalam menggoda anaknya seketika lenyap. Ia beranjak dari kursi dan kembali duduk di sebelah suaminya yang sedang membaca jurnal.

Daniel terkekeh melihat wajah cemberut istrinya. "Nggak usah manyun. Malu sama umur," celetuknya menambah badmood Agnes.

Wanita itu lantas menciptakan jarak duduk dengan suaminya, lalu menyibukkan diri dengan ponsel. Tidak anak, tidak suami, semua membuatnya kesal.

"Pa, Ma, aku pergi ya sama Dean." Mikha yang sudah ada janji berpamitan.

"Ya."

Dua laki-laki yang ada di ruangan itu saling melempar pandang dengan sebelah alis terangkat. Ini memang bukan pertama kalinya, tapi mereka selalu saja heran jika ratu di rumah itu sedang merajuk.

"Aku nggak sampai malam," ucap Mikha tanpa ada yang bertanya. Sembari memainkan kunci motor, ia berjalan keluar rumah.

Tepat ketika ia sampai di teras tatapannya tak sengaja bertemu dengan anak tetangga sebelah. Jika biasanya mereka sama-sama membuang muka, kali ini sepertinya akan lain cerita karena Mario sudah berjalan menghampiri.

"Gue lihat-lihat, lo akhir-akhir ini deket, ya, sama Kina."

Mikha tak menggubris. Ia sibuk menghidupkan motor dan memanasi mesinnya.

"Jauh-jauh, deh. Orang kayak lo nggak pantes deket-deket sama dia."

"Terus yang pantes itu yang gimana? Yang setiap hari berangkat sama pulang bareng cewek, tapi masih deketin cewek lain?" Mikha tersenyum miring.

Dada Mario bergemuruh, matanya memicing menatap Mikha yang masih menampilkan raut mengejek padanya. Dan dengan santainya cowok itu hendak memakai helm, lalu menarik gas dan meninggalkannya dengan rasa muak yang luar biasa. Tidak! Mario tidak akan membiarkan itu terjadi. Tanpa pikir panjang, pemuda itu melompati dinding pembatas rumah dan menendang sepeda motor Mikha hingga ambruk bersama pemiliknya, sedangkan helm full face-nya terlempar mengenai pot tanaman.

Mikha yang tak menyangka mendapat serangan mendadak hanya meringis merasakan sakit di punggung kanannya. Belum sempat ia bangkit berdiri, Mario lebih dulu mencengkeram hoodie yang dikenakannya.

"Bisa nggak, sih, lo nggak ngerebut apa yang gue suka? Ternyata dari dulu lo emang nggak pernah berubah!"

"Sorry?" Mikha melayangkan tatapan tak mengerti. "Lo suka sama Kinara?"

"Ya, dan gue minta lo jangan deket-deket sama dia!"

Seolah tak peduli dengan cengkeraman yang makin mengerat, Mikha masih mengulas senyuman. "Kenapa? Lo takut kalau dia lebih milih gue?"

"Berengsek!" Hanya selang sepersekian detik dari umpatan itu, Mario memberikan bogem mentahnya tepat ke pipi Mikha.

Darah segar tampak menetes dari sudut bibir cowok itu. Mikha yang tak terima pun mambalas perbuatan Mario. Dan adu jotos pun tak terelakkan.

Napas keduanya terengah-engah. Tidak ada yang kalah ataupun menang sebab tenaga mereka tidak jauh berbeda.

"Kina itu cewek baik-baik dan lo nggak lebih dari seorang pembunuh. Gue yakin lo nggak akan lupa kalau lo yang udah bikin bokap gue meninggal." Seraya menyeka darah di pelipisnya, Mario membalas senyuman miring Mikha beberapa saat lalu.

"GUE BUKAN PEMBUNUH! GUE NGGAK PERNAH MINTA BOKAP LO BUAT NOLONGIN GUE. JADI GUE NGGAK SALAH!"

Masa bodoh dengan rasa sakit yang mendera, Mario kini tergelak dan bertepuk tangan. "Finally, Mikha yang selama ini diam, menunjukkan sifat aslinya lagi. Lo mungkin nggak minta tolong, tapi kalau lo nggak keras kepala dan nggak merasa paling mampu biar dapat pujian dari semua orang, nyawa bokap gue nggak akan melayang."

Tangan kanan Mikha yang masih mengepal kembali terangkat. Ia sudah mencengkeram kaus Mario dan siap melayangkan tinjunya. Namun, hal itu harus gagal karena orang tua mereka meneriakkan nama masing-masing.

"Mario!"

"Mikha!"

Daniel yang pertama kali mendekat langsung melepas tangan anaknya dari baju Mario. Kendati demikian, kedua remaja itu masih mengetatkan rahang dengan sorot permusuhan yang begitu kentara.

Melihat betapa kacaunya halaman rumah tetangganya, Fanny—mama Mario—menarik lengan putranya ke sisinya. "Aku minta maaf, Niel, Nes. Kalian tidak usah sungkan untuk memberitahu berapa jumlah kerugian yang harus saya ganti."

Mario menatap tak suka pada mamanya yang masih saja bersikap baik pada keluarga Mikha.

"Tidak perlu mengganti rugi karena yang paling penting sekarang adalah anak-anak. Kami permisi." Daniel merangkul putranya diikuti sang istri di belakangnya.

Di rumahnya, Mario yang kini dipaksa duduk di sofa memutar bola mata malas. Tak acuh dengan luka di tubuhnya, mamanya justru berdiri di depannya sambil melipat tangan di dada dengan raut murka.

"Kenapa, Mario?"

"Mama kalau mau belain anak itu langsung to the point aja."

Fanny tak habis pikir dengan putranya. Kejadian itu sudah berlalu cukup lama. Namun, hingga kini, anak sulungnya belum juga mengikhlaskan kepergian ayahnya. "Mama nggak membela siapa-siapa, tapi kenapa? Kenapa kamu bertindak seperti tadi? Sekarang kamu juga jadi babak belur."

"Mama sekali aja bisa nggak, sih, ngertiin aku? Mama nggak lupa 'kan kalau Mikha itu yang bikin aku sama Sasha nggak punya papa?"

"Mario, cukup!" Fanny memejamkan matanya sejenak. Jika sudah menyangkut mendiang suaminya, dia harus berbicara tanpa urat jika tidak ingin putranya bertingkah lebih jauh. "Harus berapa kali Mama bilang supaya kamu mengikhlaskan papamu. Kepergiannya memang sangat mendadak, tapi itulah yang sudah digariskan Tuhan."

"Ma!" Mario tidak suka mendengarnya. Ikhlas? Ikhlas itu hanya untuk orang-orang munafik.

"Mama benar." Sasha yang sedari tadi duduk berseberangan dengan kakaknya bersuara. "Sampai kapan Kak Io benci sama Kak Mikha? Kalaupun boleh milih, Sasha yakin Kak Mikha juga nggak mau hal itu terjadi."

"Kamu diem aja! Kakak tahu kamu suka sama Mikha, tapi nggak seharusnya kamu belain dia!"

"Nggak! Sasha nggak bisa diem! Sasha capek lihat hidup Kak Io cuma dipenuhi dendam. Ke mana Kak Io-nya Sasha yang asyik? Lagian, Papa juga pasti nggak suka lihat Kak Io kayak gini."

"Sudah, sudah, kalian jangan ikut bertengkar." Fanny melerai sebelum keadaan makin memanas. "Mario, kamu tunggu sini. Mama obatin luka kamu," katanya sambil berlalu menuju tempat di mana kotak P3K berada.

The Rain and I Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang