25. Bazar

11 4 1
                                    

"Gue udah sampai. Lo di mana?"

Pesan dari Abel masuk di tengah perjalanan Kina menuju Mall Taman Cempaka. Hari ini mereka berencana pergi ke bazar yang dipromosikan Ivanna beberapa waktu lalu.

"Pintu timur," balas Kina begitu turun dari ojek online. Matanya mengamati sekeliling, siapa tahu bertemu teman sekolahnya.

"Oy!"

Gadis dengan kemeja putih yang dilapisi vest rajut itu menoleh. Dara dan Celine menghampirinya disusul Abel tak lama kemudian.

"Kita jangan lama-lama di sini, yah." Belum apa-apa Abel sudah mewanti-wanti.

"Emang kenapa?" Celine mengernyitkan kening. Seolah peduli, tetapi dalam hati masa bodoh. Ini kesempatannya untuk dekat dengan Mikha karena cowok itu sudah pasti datang dan mereka akan bertemu di stand milik kakak sepupu Ivanna.

"Takut uang jajan tahu-tahu abis."

Ketiga temannya terkekeh.

"Beli minum dulu, yuk. Biar nanti nggak usah bolak-balik gara-gara haus."

Kina melirik Dara dan Abel, lalu saat keduanya mengiakan, ia hanya perlu mengekor.

"Sekalian jajan mau nggak?" Kembali Celine berucap tak lama setelah mendapatkan minumannya.

"Sekarang banget, nih, Cel?" Abel tampak sedikit keberatan. Keningnya berkerut mengingat berapa uang yang ada di dompet. Dia tidak yakin bisa membeli banyak makanan, meski harganya jelas lebih murah.

"Nanti aja. Siapa tahu di sana ada yang lebih enak-enak," usul Dara. Memang, sih, tempat mereka berdiri sekarang penuh godaan aroma berbagai jajanan lokal hingga mancanegara. Sementara di bagian barat berjejer stand-stand yang menjual pakaian, aksesoris, dan masih banyak lagi.

"Haish! Nggak asyik." Pandangan Celine beralih kepada temannya yang sedari tadi belum bersuara. "Lo mau nggak, Kin? Kok, diem aja."

"Kayaknya nanti aja, deh, Cel!"

Gadis dalam balutan sweater bunga-bunga itu berdecak pelan. Mereka kembali berjalan mengelilingi sambil melihat-lihat barang yang mungkin menarik untuk dibeli.

"Duh, capek!" Belum ada setengah jalan, Celine mengeluh. "Ke stand-nya saudaranya Ivanna, yuk. Di mana, sih, tempatnya?"

Sontak ketiga pasang mengarah ke Kina. Memang benar mereka datang ke situ lantaran tak enak hati kepada Ivanna, tapi menurut Kina, tidak perlu sampai harus menghabiskan seluruh waktunya di stand milik kakak teman sekolahnya itu. Beberapa menit saja sepertinya sudah cukup.

"Kalau capek beli makan aja dulu. Masa capek malah ke tempatnya Ivanna. Gimana kalau di sana lagi ramai orang? Kan nggak enak."

"Siapa tahu ada tempat duduk. Lagian kenapa, sih? Ivanna juga pasti malah seneng. Kok, malah lo yang kayak keberatan gitu?" Celine memercikkan api perdebatan.

"Hah? Lo ngomongin apa, sih, Cel? Gue nggak keberatan, tapi gue nggak mau kalau kelamaan di sana bukannya ngeramein, tapi justru ngerecokin."

"Kita bukan bocah yang nggak tahu aturan kali, kecuali lo nggak mau kita juga deket sama Ivanna." Ada jeda sejenak sebelum, Celine lanjut berkata, "Sikap lo juga beda sama gue sejak kita makan rame-rame bareng Ivanna di kantin. Lo marah gara-gara ucapan gue waktu itu? Padahal, gue cuma bilang apa yang lo ceritain."

Senyum masam tersungging di bibir mungil Kina. Ada perasaan muak yang memenuhi rongga dada melihat Celine yang playing victim. "Terus kalau gue cerita ke lo, lo jadi berhak gitu main asal cerita ke orang lain?" Pada akhirnya, ia tak mampu membendung kekesalannya. Celine benar-benar di luar dugaan, tetapi yang menjadi pertanyaan Kina adalah mengapa sahabatnya tiba-tiba berubah?

The Rain and I Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang