60. Pernyataan

5 2 0
                                    

"Mikha?"

Mengabaikan panggilan Celine, Mikha melangkah masuk menghampiri Kina. Meraih dagu gadis itu, mengangkat sedikit agar mata mereka bertemu. Desahan pelan terdengar. Mikha tidak suka melihat wajah sembab Kina. Lalu, tatapan pemuda itu beralih ke gadis yang masih bergeming.

"Gue denger semuanya. Lo tahu, kan, sekarang mesti gimana?"

Kebetulan sekali, orang yang memang seharusnya mendengar tahu-tahu melintas.

"Ivanna!" panggil Mikha mencuri perhatian beberapa anak IPA 2 yang sudah kembali ke kelas, tak terkecuali Abel dan Dara. Keduanya kaget melihat mata Kina berkaca-kaca dan Celine yang diam seribu bahasa memancarkan aura tegang.

Dengan Jevon yang berjalan di sampingnya, Ivanna mendekat. "Ngapain manggil?"

"Celine mau ngomong sama lo."

Ivanna mengernyit bingung. Belum lagi saat Mikha mengambil tisu di meja yang entah milik siapa dan memberikannya pada Kina.

"Kin, ini kenapa?" tanya Abel hampir tak terdengar.

Tak menjawab, Kina justru mengulurkan tangan, menggenggam tangan Abel sambil masih bercucuran air mata. Abel meremas tangan Kina, mencoba menguatkan, meski belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kayaknya kita ke bagian kesiswaan aja biar nggak jadi tontonan," ucap Mikha saat anak-anak dari kelas lain mulai ikut berkerumun. "Gimana? Lo mau di sini jadi tontonan anak-anak atau di ruang kesiswaan?" Ruang kesiswaan yang dimaksud Mikha adalah ruang wakil kepala sekolah yang khusus mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan siswa-siswi SMA Cendekia.

"Oke, kita ke sana," putus Celine.

"Tunggu!" cegah Ivanna belum juga mengerti. "Ini sebenarnya ada apa? Lo kalau ada masalah sama dua cewek ini ngapain bawa-bawa gue?"

"Ini bukan masalah gue. Ini tentang masalah lo kemarin!" tegas Mikha. "Kinara, ayo!" Ia mengangguk menyakinkan, mata sipitnya menyiratkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Ruangan seluas dua belas meter persegi itu kini sudah dipenuhi siswa-siswi dan beberapa guru. Di bawah sorot mata tajam Mikha, Celine akhirnya mengakui perbuatan jahatnya. Ivanna membatu di tempat. Matanya mengarah pada Kina, gadis yang sudah ia seret ke sudut sekolah yang sepi dan ia kata-katai sebagai orang tidak tahu diri.

"Jadi, kamu yang menyuruh orang berjaket hitam untuk menyebarkan selebaran ini di sekolah?" Pak Heru, wakil kepala bidang kesiswaan, mengeluarkan selembar kertas yang ia simpan rapi di laci mejanya.

Dari rekaman CCTV, memang ada pria berjaket hitam yang membawa setumpuk kertas dan ditaruh secara sembarangan. Sayangnya, pihak sekolah tidak tahu apakah laki-laki itu siswa SMA Cendekia atau bukan karena memakai masker, kacamata, dan topi.

"Iya." Celine menundukkan kepala.

"Karena permasalahan ini lebih erat kaitannya dengan nama baik dan keluarga, saya ingin bertanya pada Ivanna," Pak Heru menatap Ivanna yang masih syok. "Ivanna, apa kamu ingin memberitahu orang tuamu terlebih dahulu?"

"Saya rasa tidak perlu, Pak. Orang tua saya bahkan tidak tahu karena sedang sibuk menyelesaikan masalah internal. Saya pikir, menyuruh pelaku untuk meminta maaf lewat mikrofon agar semua siswa mendengar dan memberikan sanksi yang sepadan sudah cukup bagi saya."

"Kenapa kamu nggak ngasih tahu orang tuamu? You okay?" tanya Jevon lirih disertai raut khawatir.

"Gue nggak apa-apa. Lo tenang aja." Ivanna menyunggingkan senyum tipis. Sebab, masalah internal yang dimaksud adalah mamanya yang merasa keutuhan keluarganya terancam karena kemunculan Kina. Dan sekarang, ia justru merasa bersalah pada cewek itu, tapi untuk menyampaikan permohonan maaf lidahnya terasa berat.

The Rain and I Where stories live. Discover now