7. Hang Out

30 11 2
                                    

Semprotan parfum di leher dan pergelangan tangan bagian dalam menjadi sentuhan terakhir yang Mikha lakukan sebelum pergi ke tempat di mana ia akan bertemu Ivanna. Cowok itu tidak datang sendirian. Ada Dean yang selalu mengekori hampir ke mana pun Mikha pergi. Walaupun begitu, Dean masih saja tak terima kalau Mikha menyebutnya sebagai follower sejati.

Dean mati-matian mengelak dengan berkata, "Gue ini temen yang solid, makanya lo mesti bersyukur punya temen kayak gue."

Seperti yang sudah-sudah, Mikha hanya akan menyengih menanggapinya. Pemuda itu keluar kamar usai mengambil tas berisi kamera. Tiba di lantai satu, tampak orang tuanya sudah berada di meja makan.

"Papa mau ke mana? Tumben udah rapi," ujar Mikha.

Daniel mengembuskan napas panjang. "Papa baru pulang. Tadi malam dapat telepon dari rumah sakit."

Bibir Mikha membulat, tanpa ada suara yang keluar.

"Kamu sendiri mau ke mana?" tanya sang mama. Tidak biasanya anak bungsunya sudah rapi dan wangi. Biasanya kalau libur Mikha bangun paling pagi itu jam sembilan.

"Ada temen minta dibantuin buat ambil foto," jawab Mikha jujur.

Tatapan Daniel kembali mengarah pada sang anak. "Kamu sebentar lagi ujian. Stop dulu fotografinya. Memangnya uang jajan yang Papa kasih kurang?"

"Ini bukan masalah uang, aku cuma suka aja."

"Tapi, kamu harus bisa memprioritaskan mana yang lebih penting."

"Iya, aku tahu!" Mikha tampak semakin kesal.

"Tahu, tapi sampai sekarang milih tempat les aja bingung. Papa membebaskan kamu melakukan semua yang kamu mau, tapi kamu juga harus ingat kalau punya tanggung jawab sama pendidikanmu." Daniel menegaskan. Mata sipitnya terus mengamati wajah putra bungsunya yang makin ditekuk.

Di balik diamnya Mikha, cowok itu memang sedikit keras kepala dan itu diturunkan dari papanya. Maka dari itu, mereka sering berdebat. Seperti segala yang terjadi harus sesuai dengan yang keduanya pikirkan. Padahal, ayah dan anak itu memiliki keinginan yang berbeda.

"Aku nggak jadi sarapan!" Mikha bangkit berdiri sebelum sempat menyentuh sandwich ataupun susu cokelat kesukaannya.

Decak kesal keluar dari mulut satu-satunya wanita di ruangan itu. "Pusing banget, deh, tinggal sama dua laki-laki yang kalau ketemu kerjaannya berantem terus," keluh Agnes.

"Nggak ada yang berantem. Aku cuma nasihatin anakku biar nggak menyesal dikemudian hari," sanggah Daniel.

"Nasihatin, tuh, kalimatnya baik. Nggak kayak tadi," sindir Mikha.

"Mikhael!" tegur Agnes. "Yang sopan sama Papa."

"Aku pergi dulu." Mikha tidak mengacuhkan. Ia sudah mengalungkan tas kameranya dan bersiap pergi.

"Kamu ketemu siapa?" tanya sang mama. Sebagai seorang ibu, Agnes ini cukup posesif. Tidak peduli mau ke anak laki-laki ataupun perempuannya, ia harus tahu dengan siapa anaknya bertemu, dekat, atau mungkin berpacaran. Ya, Agnes dan Daniel tidak masalah jika anaknya menjalin hubungan dengan lawan jenis. Yang terpenting harus dalam pengawasannya.

"Ivanna."

"Kamu pacaran, ya, sama dia? Minggu kemarin juga ketemu dia, kan?" tanya Agnes, sedikit menggoda.

"Nggak."

"Iya juga nggak apa-apa. Papa nggak masalah." Daniel menimpali.

"Iya, nggak masalah, soalnya Papa mulai pacarannya waktu SMP." Agnes menyinggung suaminya.

Daniel langsung memalingkan muka. Malas kalau masa lalunya diungkit-ungkit. Pria itu menyesap teh hijaunya, tanpa menghiraukan kedipan mata genit istrinya.

The Rain and I Donde viven las historias. Descúbrelo ahora