64. Kecewa

18 4 3
                                    

Sebenarnya, Kina males banget ketemu Mikha hari ini. Setiap menit yang dilalui rasa-rasanya lebih pas digunakan untuk overthinking. Belum lagi, awan kelabu yang menutupi sinar matahari sejak ia membuka mata. Tinggal putar playlist galau, maka sempurnalah dirinya menjadi orang yang seolah-olah paling menderita di muka bumi ini.

Mendengar ponselnya berbunyi, Kina dengan bibir manyun mengambil benda tersebut.

"Aku udah mau jalan."

Pesan yang tertera membuat gadis itu melengos. Kina tidak membalasnya. Anggap saja dirinya sedang sibuk siap-siap. Padahal, mah, dari tadi cuma diam, pasang wajah memble, dan bilang, "Kenapa kamu nggak cerita kalau mau kuliah di Aussie? Padahal, aku kalau ada apa-apa cerita ke kamu atau malah kamu yang nawarin buat dengerin cerita aku. Apa aku juga harus bilang hal yang sama baru kamu mau terbuka?"

Kina skeptis. Kalau sendiri saja mulutnya lancar. Tapi, nanti kalau sudah adu pandang dengan Mikha, setiap kata di batinnya dipastikan lenyap.

Menurunkan kakinya dari ranjang, Kina melangkah gontai menuju lemari guna mengambil pakaian. Lalu, belum genap lima menit ia selesai menyapukan make up tipis di wajahnya, mobil pacarnya tahu-tahu sudah ada di depan.

Diiringi embusan napas gusar, Kina yang baru selangkah keluar dari pintu dibuat cengo melihat Mikha asyik ngenyotin es di teras rumahnya. Entah es apa. Yang jelas cowok itu malah senyum-senyum tidak jelas begitu ia mendekat.

"Es apa, tuh?" tanya Kina kepo.

"Es susu. Tapi, udah abis. Hehe ...." Mikha nyengir.

"Beli di mana emang?"

"Di Abang-Abang lampu merah. Kalau kamu mau nanti aku beliin es krim aja. Jangan jajan sembarangan." Mikha bangkit berdiri untuk membuang bungkus es di tangannya.

"Kamu sendiri jajan sembarangan." Bibir mungil Kina mengerucut.

"Aku nggak apa-apa, tapi kalau kamu nggak boleh." Mikha yang sudah berdiri menjulang di depan Kina menepuk-nepuk pelan kepala gadis itu yang tertutup bucket hat. "Lucu banget, sih, pakai topi kayak gini," katanya menimbulkan senyum malu-malu di wajah pacarnya.

Tak ingin pipinya kian merona, Kina mendorong wajah Mikha, lalu nyelonong masuk ke mobil lebih dulu. Sementara di belakangnya, pacarnya mengikuti sambil tertawa renyah.

Toko buku yang Kina dan Mikha kunjungi hari ini terbilang ramai. Dan, melihat orang-orangnya sepantaran, keduanya menduga jika mereka mencari buku serupa. Buku persiapan ujian masuk perguruan tinggi negeri.

"Mikha," panggil Kina manja begitu selesai membayar. "Hari ini aku yang traktir. Oke?"

Mikha menoleh, keningnya berkerut, lantas menggeleng. "Makanku banyak."

"Ya, nggak apa-apa. Kan dari kemarin-kemarin kamu terus. Masa aku nggak pernah?"

"Eumm ... kamu bayarin minumnya aja nanti."

Kina memberengut, dan Mikha malah mencubit gemas pipi gadis itu.

"Mikha! Nanti aku tambah chubby."

"Tambah lucu, dong." Pemuda berkemeja putih itu tersenyum lebar. Tangannya kemudian mengambil alih tote bag di tangan Kina. "Aku bawain."

"Aku bisa, kok."

"Tapi, aku mau bantu."

Lagi, senyum malu-malu terbit di bibir sang gadis karena perlakuan manis yang didapat.

Setelah mengitari foodcurt sebanyak tiga kali, akhirnya dua sejoli itu lebih memilih makan di Solace. Restoran milik Natia yang dekat dengan rumah sakit tempat mama Mikha bekerja. Karena, selain porsinya bikin kenyang, harganya jauh lebih murah.

The Rain and I Where stories live. Discover now