14. Kekesalan Rachel

25 8 0
                                    

Rachel mendengkus untuk kesekian kalinya. Sejak Mario melihat Mikha bersama cewek yang kapan hari menagih artikel teater padanya, raut cowok di sebelahnya berubah dingin dan menyebalkan.

"Yo!"

"Hmm." Tanpa melirik pemuda itu menjawab. Entahlah, Mario sendiri bingung mengapa sampai harus kesal melihat Kina bersama cowok lain. Apa karena cowok itu Mikha? Cih, melihatnya benar-benar memuakkan.

"Hari Minggu nonton, yuk!"

Tidak ada sahutan. Mario tampak serius menatap jalanan. Kendati demikian, salah satu primadona sekolah itu tahu jika pikiran Mario sedang berkelana yang kalau boleh ia tebak masih tertuju pada kejadian tadi.

"Mario!" sungut Rachel kesal bukan main.

"Kenapa, sih, lo? PMS?" Mario memutar bola mata malas.

"Lo yang kenapa, bukan gue!"

Kembali Rachel tak mendapatkan respons. Mario benar-benar bungkam sampai mobilnya tiba di pelataran sekolah. Bahkan, menanggapi ajakan menontonnya saja tidak.

Gadis itu keluar dari mobil dan menutup pintunya dengan cara dibanting. Di saat kekesalannya belum mereda, Rachel harus berpapasan dengan Ivanna di lobi. Sudah menjadi rahasia umum kalau kedua cewek itu tidak pernah berada dalam satu frame. Entah karena tidak sefrekuensi atau memang ingin memperjelas kalau mereka bersaing. Yang jelas tidak ada murid yang benar-benar peduli dengan perselisihan Rachel dan Ivanna, kecuali keduanya terlibat cekcok. Barulah siswa lain merasa jadi orang yang paling tahu.

Di tempat parkir, Kina yang baru turun dari motor Mikha melepas helm dan mengucapkan terima kasih.

"Jangan lupa fotoin bukunya, ya." Mikha mengingatkan.

Kina mengangguk, lalu berjalan lebih dulu menuju kelas. Sorakan menggoda terlontar dari mulut teman-temannya melihat jaket yang masih melekat di tubuhnya. Kina memandang ke bawah dan meringis seraya memejamkan mata. Bisa-bisanya dia lupa melepas jaket milik Mikha.

"Dari jaket masuk ke hati," goda Abel.

"Dari boncengan terus pelukan," tambah Dara disusul gelak tawa.

"Duh, apaan, sih, kalian! Ini karena dia kasihan aja 'kan cuacanya panas." Kina melepaskan jaketnya.

Abel dan Dara tak peduli. Mereka makin doyan menggoda Kina yang wajahnya tampak memerah.

"Udah, dong, jangan ketawain Kina. Kasihan dia." Celine berusaha menghentikan tawa teman karibnya. "Lagian apa yang dibilang Kina ada benernya, kok, kalau Mikha cuma kasihan. Soalnya gue pernah dengar Mikha belum dibolehin pacaran sama orang tuanya."

Di tempat duduknya, Kina jadi tercenung. Selama ini, dia juga tidak pernah menyinggung perihal asmara kepada ibunya. Mungkin karena Kina terlalu memahami wanita yang telah melahirkannya. Jadi, tanpa bertanya pun, ia tahu kalau sang ibu tidak akan mengizinkan dirinya untuk mencicipi rasanya orang berpacaran.

"Kalau SMA kayaknya banyak yang backstreet nggak, sih? Kakak gue dulu juga gitu, tapi terus ketahuan sama nyokap. Dimarahin, deh. Hahahaha." Dara tertawa puas mengingat kakak perempuannya yang mendapat omelan dan hapenya disita selama seminggu gara-gara ketahuan pacaran.

"Tapi, Mikha 'kan beda. Dia orangnya lempeng. Pernah lo lihat dia dihukum gara-gara melanggar aturan?"

"Pernah!" sahut Abel. "Gue pernah telat bareng dia dua kali." Ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Celine mengerang dalam hati. Ia berdeham untuk mengurangi gugup yang merayap karena saat ini ketiga temannya melayangkan tatapn curiga. "Ya ... gue sebagai sahabatnya Kina 'kan nggak mau dia melambung tinggi banget terus tahu-tahu jatuh. Lagian gue lihat-lihat Mario kayaknya udah ngasih sinyal kuat banget. Ya nggak sih, Kin?"

"Jangan Mario, deh. Dia 'kan ada pawangnya. Si ratu drama. Jangan cari masalah, Kin." Abel berbisik sebab orang yang dibicarakan baru saja memasuki kelas.

Kina mengangkat bahu acuh tak acuh. Rasanya jadi malas. Bahkan, jam tambahan pelajaran bahasa Indonesia yang biasanya membuatnya senang, saat ini terasa tidak menarik.

Seperti pesan Bu Retno di menit-menit terakhir pembelajaran, Kina lebih dulu mampir ke ruang guru untuk melihat majalah sekolah yang sudah dicetak dan siap dibagikan ke seluruh siswa.

"Ibu tadi sudah mengeceknya, tapi coba kamu cek ulang siapa tahu ada kesalahan fatal sebelum hari Senin dikasih ke anak-anak."

"Iya, Bu." Kina mengambil satu eksemplar majalah dan membuka halamannya satu per satu. Ada rasa bangga melihat namanya terpampang dibalik sampul sebagai ketua tim redaksi.

Dia terus membalik halaman, selama hampir seperempat jam, barulah Kina sampai di halaman terakhir. "Semuanya udah sesuai. Nanti saya bilang ke teman-teman untuk membagikan majalah ini setelah upacara selesai."

Bu Retno tersenyum. "Terima kasih sudah bekerja keras untuk tim redaksi. Kamu keren, lho. Mungkin ke depannya ada niatan untuk mengambil jurusan sastra?"

"Saya masih bingung masalah jurusan, tapi akan saya pikirkan saran dari Bu Retno."

"Itu wajar. Pikirkan matang-matang sambil belajar untuk persiapan ujian."

"Iya, Bu. Kalau gitu saya pamit pulang. Ibu saya sudah menunggu di depan." Kina bersalaman dan mencium punggung tangan guru yang punya andil cukup besar dalam perkembangannya selama bersekolah di SMA Cendekia.

Sekolah masih tampak ramai oleh anak-anak kelas sepuluh yang sedang melangsungkan kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Sembari melangkahkan kaki, ia menonton anak-anak yang dijemur di bawah matahari sampai tidak sadar kalau ada pemuda yang berusaha menyejajari langkahnya.

"Kina."

Cewek itu memegangi dadanya saking terkejutnya. Mario berjalan di sebelahnya dengan senyum merekah. Berbanding terbalik, saat ia melihat pemuda itu kala di depan rumah Mikha.

"Abis ada urusan? Tumben belum balik." Kina berbasa-basi.

"Gue sering kali pulangnya ngaret. Lo aja yang nggak tahu."

Kina tertawa renyah. "Bener juga. Lagian kita sekelas baru sekarang. Kalau gue tahu banyak tentang lo malah jatuhnya serem nggak sih?"

"Kalau gue yang pengen tahu lebih banyak tentang lo, serem juga nggak?"

"Hah? Gimana?" Kina tak menangkap maksud teman lelakinya.

"Nggak, nggak. Itu jemputan lo udah datang." Mario menunjuk mobil putih yang diketahui milik ibu Kina saat mereka tiba di depan lobi.

"Masih inget aja. Duluan, ya, Yo." Kina melambaikan tangan.

Tatapan Mario tertuju pada punggung gadis yang perlahan menjauh darinya. Rambutnya yang mengayun ke kanan dan ke kiri melukiskan segaris senyum di bibir cowok itu. Hanya dekat dan bisa mengobrol dengan Kina sekilas saja Mario merasa senang hingga ia tidak sadar kalau sedari tadi ada gadis lain yang terus mengawasinya dengan raut benci yang amat kentara.

"Hayo, ngintip-ngintip nanti bintitan, loh."

Tubuh Rachel seketika menegang mendengar suara dari arah belakangnya. Saat ia berbalik badan, tampak Caesar si mantan ketua OSIS yang tidak berakhlak cengar-cengir tanpa dosa di depannya. Rachel menggeram rendah. Belum lagi adanya Mikha di sebelah Caesar yang mengingatkannya pada kejadian tadi siang membuatnya makin meradang. Dia langsung pergi begitu saja lantaran tidak ingin meladeni Caesar. Satu-satunya cowok yang berani seenak jidat padanya yang sialnya merangkap sebagai tetangganya.

"Yah, yah ... kok, malah pergi. Padahal mau nawarin buat balik bareng."

"Takut sama lo yang mirip genderuwo," sahut Mikha tertawa.

The Rain and I Where stories live. Discover now