54. Celaka

15 3 5
                                    

Dalam rangka Sandra akan kembali ke Jogja untuk meneruskan studinya, Daniel mengajak keluarganya makan malam bersama. Sedikit berlebihan memang, tapi siapa yang akan menolak, sih, kalau diajak makan-makan?

Denting garpu dan sendok terdengar seirama dengan obrolan, tawa, dan sedikit bumbu kerusuhan dari kakak beradik yang duduk bersebelahan.

"Apaan, sih, comot-comot terus!" Sandra geram karena Mikha merecoki makanan di piringnya.

"Dikit, doang. Pelit!"

"Lo udah makan seperempatnya! Pesen lagi sana!"

Beralih menatap orang tuanya, Mikha dengan wajah memelas berkata, "Ma, satu lagi, ya."

"Kamu udah dua porsi, loh. Masih laper?" tanya sang ayah disusul gelengan kepala, heran.

"Kan capek. Sekolah, les, les lagi, terus ke sini. Lagian kenapa mesti sekarang, sih? Berangkatnya, kan, masih beberapa hari lagi."

"Mumpung hari ini agak longgar. Besok-besok takutnya banyak pasien. Belum Papa kalian yang suka tiba-tiba dapat telepon dari rumah sakit," jelas Agnes.

Mikha melengos. "Ya udah, aku satu lagi. Habis itu pulang, mau tidur."

"Tidur mulu. Belajar yang bener biar tinggal pilih mau di kampus mana," kata Sandra.

"Gue udah milih mau kampus mana," ungkap Mikha membuat semua mata tertuju padanya.

"Kamu udah nentuin pilihan?" tanya Daniel cukup kaget.

"Iya, aku mau di Queensland, Aussie. Gimana?" Mikha meminta pendapat keluarganya. Tatapannya waswas, menunggu respons

Daniel dan Agnes saling memandang dengan kening mengerut. Sementara Oma Melati yang tidak tahu-menahu, bertanya pada Sandra, "Itu di mana, San?"

"Australia, Oma. Yang ada kanggurunya."

"Jauh, ya. Gimana nanti kalau Oma kangen sama Hujan?" Oma Melati menatap khawatir cucu kesayangannya.

"Nah, lho!" Sandra mengompori.

"Kalau liburan pasti aku pulang. Oma nggak usah khawatir," Mikha beralih menatap orang tuanya, "gimana? Papa sama Mama setuju, nggak?"

"Nggak masalah asalkan kamu tanggung jawab. Tapi, tunggu hasil SNMPTN nanti," putus Daniel jelas tak bisa dibantah.

Mikha menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan.

"Emang lo SNMPTN ambil apa?" tanya Sandra.

"Dipaksa masuk kedokteran." Mikha memutar bola mata, malas sekaligus kesal. Semoga saja tidak lolos, jeritnya dalam hati.

"Nggak ada yang maksa. Cuma nilaimu, kan, tinggi. Lagi pula, kalau jadi dokter, relasinya sudah banyak." Daniel kembali mengingatkan.

Mendengar penuturan sang ayah, Sandra kontan memalingkan wajah dan memilih berbicara dengan Oma Melati. "Oma, pudingnya mau lagi, nggak?"

"Udah kenyang. Oma sekarang makannya sedikit. Mending pulang saja."

"Eh, bentar, aku mau pesen makan lagi," seru Mikha yang langsung memanggil pelayan.

Sembari menunggu pesanan adiknya datang, Sandra mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi kamera. "Foto dulu, yuk. Mumpung ada Oma juga."

***

Ditemani sebatang rokok yang terselip di jemarinya, Mario berdiri di balkon dengan tatapan memicing. Geram acap kali ucapan Kina tanpa permisi berputar-putar di kepala.

"Sayangnya, gue bukan lo, Kin. Lo nggak tahu sakitnya gue buat menerima keadaan ini." Satu isapan dilakukan, setelahnya asap putih keluar dari mulut dan hidung.

Menjadi anak pertama laki-laki tanpa adanya sosok sang ayah terasa berat bagi Mario. Di saat seharusnya ia bisa bermain dengan teman sebayanya, melakukan hobinya tanpa mengkhawatirkan apa pun, ia justru terkurung di rumah demi menjaga sang adik.

"Ini hari Minggu, kenapa Mama masih aja kerja?"

Egonya kala itu menyeruak saat ia sudah siap dengan bola oranye di tangan, tapi mamanya tiba-tiba berdiri di ambang pintu dengan pakaian rapi seperti saat weekdays.

"Justru karena hari Minggu, banyak orang datang ke salon." Alih-alih memperhatikan wajah putranya yang seketika mendung, Fanny tersenyum lebar. "Nanti Mama belikan kamu bola basket yang lebih bagus. Sabar, ya, Mario. Tunggu sampai Mama nemu orang yang bisa dipercaya buat pegang salon pas weekend. Biar kamu bisa main sepuasnya."

Dan, Mario hanya bisa mengangguk. Setiap akhir pekan, selama bertahun-tahun, ia habiskan waktunya di rumah. Sesekali mamanya mengajak keluar, tapi itu pun hanya pergi makan, lalu pulang ke rumah. Tidak ada acara jalan-jalan ke sana-sini, apalagi ke luar kota.

Diisapnya rokok yang tinggal seukuran kelingking itu sebelum kemudian ia injak menggunakan sandal rumah dan dimasukkan ke tempat sampah. Tidak ada yang tahu jika Mario seorang perokok aktif, termasuk Rachel sekalipun. Pemuda itu begitu lihai menyembunyikannya. Toh, memang hanya di saat stress begini, ia mengisap gulungan tembakau penyebab penyakit mematikan itu.

Kali ini tangan Mario bergerak meraba saku celana, mencari ponselnya yang belakangan ini selalu sunyi. Seperti biasa, ada banyak direct message yang masuk kala ia membuka media sosial Instagram. Dan, Mario tidak mengacuhkannya. Ia langsung beralih ke second account-nya hanya untuk melihat laman profil seseorang yang mungkin tidak kalian duga. Ya, laman profil Mikha.

Aura wajah Mario menggelap, matanya memicing tajam melihat instastory Mikha sedang makan malam di sebuah restoran bersama keluarga cowok itu. Senyuman mereka adalah sakit bagi Mario. Kebahagiaan mereka adalah hal yang seharusnya tidak pernah ada di dunia. Sama seperti kebahagiaan Mario yang lenyap bersamaan dengan kepergian sang papa.

"Gimana kalau gue bikin keluarga ini nangis-nangis gara-gara kehilangan lo? It's so funny, right?" Mario mengeluarkan seringai tipis.

Dengan mengendarai mobil sedannya, Mario membelah jalanan malam yang ramai lancar. Senyum yang menyiratkan perasaan tak sabar terus bertengger di wajahnya yang rupawan. Mobil berhenti di sebuah persimpangan jalan. Dari titik itu, ia bisa melihat orang-orang keluar masuk restoran.

Membuka jendela mobil, Mario kembali menyalakan rokok sebagai teman menunggu si mangsa. Dan, sebuah motor sport hitam yang dinanti-nantikan akhirnya melintas berbarengan dengan ia menyalakan rokok keduanya.

Mario menyeringai lebar. Prediksinya tepat jika Mikha datang ke restoran dengan mengendarai motor mengingat pemuda itu masih mengenakan seragam sekolah. Dengan kecepatan lumayan tinggi, Mario memacu mobilnya, membuntuti Mikha.

Begitu memasuki jalan yang lengang, Mario menambah kecepatan mobilnya, berusaha menyalip motor Mikha dengan jarak yang sangat dekat hingga kendaraan roda dua itu oleng.

Di balik kaca helm, Mikha mendesis kesal. Jalanan ini cukup sepi, jika mobil yang berada beberapa meter di depannya menyenggolnya, sudah pastilah disengaja. Ia ikut menambah laju kendaraan dengan maksud memberi peringatan pada pengemudi mobil yang hampir mencelakainya.

Berhasil menyejajari mobil sedan tadi, Mikha memukul kaca jendela agar pengemudi itu membukanya. Namun, yang terjadi adalah mobil itu makin bergerak ke sisi kanan, membuat motor Mikha terdorong hingga melewati marka jalan.

Mikha membunyikan klakson berkali-kali sebagai bentuk emosinya, tapi tak memengaruhi apa pun, kecuali dirinya yang jadi tidak fokus dengan kondisi jalan. Sebuah truk dari arah berlawanan menyilaukan pandangannya. Dengan rasa panik yang luar biasa, Mikha menarik gas kuat-kuat agar menepi ke sisi kanan sekalian. Tapi sialnya, motor bagian belakangnya masih menyentuh badan truk. Mikha terlempar beberapa meter bersama motornya akibat sambaran truk yang terus melaju kencang.

The Rain and I Where stories live. Discover now