55. Cemas

1 0 0
                                    

Pada kenyataannya, semua tidak seperti yang Mario bayangkan. Dia pikir, dia akan merasa puas. Dia pikir, perbuatannya setimpal untuk menuntaskan rasa bencinya. Namun, tidak! Di balik kemudi, tubuh Mario justru menegang hingga tangannya gemetar melihat Mikha terkapar di aspal, tanpa ada seorang pun yang menolong.

Menit demi menit terlewati dengan sangat lama. Mario menantikan kendaraan lain melintas dan melihat Mikha, kemudian menolongnya. Tapi sayangnya, rintik hujan yang perlahan membasahi bumi seakan mengurungkan niat orang-orang untuk bepergian.

Wajah Mario memucat saat perlahan gerimis berubah menjadi hujan deras. Dan, air hujan di sekitar Mikha terbaring tak berdaya berubah warna menjadi merah.

Tak bisa berpikir, Mario membenturkan kepalanya ke setir mobil. Berkali-kali sampai akhirnya ia melihat ponselnya yang ditaruh di dashboard. Mario mengambil benda itu, dan gerakan tangannya berhenti saat membuka daftar kontak lantaran bingung kembali menyergap. Siapa yang harus ia hubungi?

Mama? Adiknya? Teman-temannya? Rachel? Mario menggelengkan kepala. Dia benar-benar seperti orang tolol sekarang.

"Mikir, Yo!" Ia menjambak rambutnya sangat kuat.

Berusaha tenang, Mario menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Barulah, ide untuk memanggil ambulan tercetus di batok kepalanya. Mario segera menghubungi nomor yang didapat melalui internet untuk memberitahu jika di suatu tempat telah terjadi kecelakaan. Setelahnya, dengan perasaan cemas ia melajukan mobilnya. Ya, setidaknya posisinya cukup jauh dari tempat Mikha berada.

Mario membuang napas lega saat tak lama kemudian sirine ambulan memenuhi indera pendengarannya. Usai bunyi itu tak lagi terdengar, ia memutar balik ke tempat kejadian perkara yang ternyata sudah ramai oleh warga sekitar dan sesaat setelahnya mobil polisi datang untuk mengangkut motor Mikha yang ringsek.

Tubuh Rio lemas bukan main. Jika motornya saja begitu mengenaskan, lantas bagaimana orang yang tadi menungganginya? Bagaimana jika Mikha meninggal? Atau bagaimana jika karena kecelakaan yang disebabkan olehnya, Mikha mengalami cacat seumur hidup? Air mata Mario merebak dalam perjalanan entah ke mana. Dia takut. Sangat takut.

Di rumahnya, Agnes berteriak histeris memanggil suaminya setelah mendapat telepon dari rumah sakit tempatnya bekerja.

Tergopoh-gopoh Daniel menghampiri istrinya, dan bertanya, "Ada apa? Kenapa teriak-teriak?"

"Mikha ... Mikha kecelakaan." Air mata seorang ibu luruh menangisi anaknya yang tertimpa musibah. "Ayo, ke rumah sakit!" Agnes mengguncang bahu suaminya yang mematung di hadapannya.

Daniel mengangguk-angguk. Bersamaan dengan itu, Sandra yang baru selesai ganti baju datang. "Mama kenapa?"

"San ... Mikha kecelakaan. Papa sama Mama mau ke rumah sakit." Agnes memberitahu dengan suara parau.

Gurat kekhawatiran terlukis di wajah Sandra. "Aku ikut!"

Ayahnya mengiakan. "Ajak Oma sekalian."

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Agnes terus menangis, walaupun suaminya yang sedang menyetir berulang kali meyakinkan bahwa anak mereka pasti akan baik-baik saja. Wanita itu jelas tak bisa tenang sebelum melihat kondisi anaknya yang meskipun terluka, ia berharap hanya luka ringan.

Setibanya di rumah sakit, mereka menunggu di depan ruang Unit Gawat Darurat. Selama berjam-jam, menantikan dokter yang menangani Mikha keluar dari ruangan. Agnes memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut karena lelah jiwa dan raga.

"San, kamu beli minum sama makanan, bisa?" Daniel menyuruh anak sulungnya.

Sandra mengangguk lemah. Sejak tadi, ia pun kalut memikirkan kondisi satu-satunya saudara kandung yang dimiliki. "Awas aja kalau lo sampai kenapa-kenapa, gue nggak bakalan maafin lo. Denger nggak, Dek?" batin Sandra menatap nanar pintu di hadapannya.

The Rain and I Where stories live. Discover now