52. Kina vs Ivanna

13 3 3
                                    

Setengah jam berguling-guling ke sana kemari tak membuat Kina berhasil memejamkan mata. Pikirannya semrawut, hatinya dipenuhi rasa bersalah sebab menyembunyikan pertemuan dengan sang ayah dari ibunya.

Menyibak selimut yang menutupi wajah, ia mengambil jam weker yang ada di meja samping tempat tidur. Baru jam sembilan lewat seperempat. Lalu, saat Kina kembali menaruhnya, tatapannya tertuju pada kotak musik yang juga ada di sana. Bibir gadis itu mencebik sebal mengingat ucapan gebetannya.

"Emang yang boleh aku-kamu cuma yang pacaran doang?"

Sembari mendudukkan tubuhnya, Kina bersungut-sungut. "Mikha nggak ada niatan buat pacarin gue, nih? Terus maksud yang kemarin-kemarin, tuh, apa?" Tangannya tanpa sadar mencengkeram selimut.

Merasa gerah, ia lantas meloloskan benda berbulu itu dan bangkit berdiri. "Waktu itu Dean juga ngasih tahu, kan, mantan-mantannya Mikha. Ada berapa? Dua? Tiga? Mukanya aja kalem, tapi aslinya menghanyutkan," ucapnya sambil berkacak pinggang.

Biarpun begitu, Kina tak bisa untuk tidak menyukai Mikha lagi. "Aku, tuh, nggak bisa diginiin, Mikhaaa .... Masa mesti gue yang nembak elo?"

Tepat setelah ia melontarkan isi hatinya, pintu kamar terbuka dan menampakkan sosok sang ibu. Kina menelan ludah sambil merutuki kebodohannya.

Kina dodol!

"Kina, kamu ngapain malam-malam ngomong sendiri? Lagi teleponan?" Mata wanita paruh baya itu terlihat mengamati. Bu Nita makin terheran-heran kala tidak mendapati anaknya memegang ponsel.

"Itu ... Kina lagi ngafalin tugas Bahasa Indonesia, Bu. Soalnya, ada tugas bermain drama."

"Ooh ...." Bu Nita membulatkan bibir. "Kalau mau latihan nggak apa-apa, tapi jangan keras-keras. Sudah malam, nanti ganggu tetangga."

Kina mengangguk. Matanya memandang ragu sang ibu yang sudah berjalan keluar kamar.

"Ibu ...." Akhirnya, ia memanggil tepat sebelum ibunya mencapai ambang pintu.

"Iya, kenapa?" Nita memutar tubuhnya.

Dengan langkah ragu, gadis berpiyama itu menghampiri. "Ada yang mau Kina omongin."

Menelengkan kepala, Nita yang merasa putrinya menyimpan sesuatu menggiring ke ranjang. Ibu dan anak itu duduk berhadapan di sisi ranjang.

"Kina minta maaf," Kina menundukkan kepala, "tadi siang, Kina ketemu Ayah. Ayah datang ke sekolah Kina. Kita sempat ngobrol di restoran. Kina juga sempat kenalan sama anaknya Ayah dari istrinya yang sekarang. Maaf nggak minta izin dulu sama Ibu. Tapi, beneran Kina nggak pernah kepikiran buat tinggal sama Ayah. Kina cuma mau sama Ibu."

Tak dinyana, Bu Nita justru mengangkat dagu anaknya supaya menatapnya. "Terus, kenapa kamu nangis?" tanyanya seraya menghapus sudut mata Kina yang basah.

"Kina takut Ibu marah. Kina takut ngecewain Ibu lagi." Gadis itu menggosok-gosok hidungnya yang gatal, dan ibunya pun tertawa melihatnya.

"Ibu nggak akan marah lagi. Karena seharusnya, Ibu senang mengetahui anak Ibu bisa ketemu sama ayahnya yang udah lama ditunggu-tunggu."

Mendengar itu, tangis Kina justru menjadi pecah. Sembari memeluk ibunya, ia berkata, "Makasih. Ibu nggak usah khawatir karena  sampai kapan pun, Kina bakalan sama Ibu terus." Kina mengurai pelukannya saat merasakan suhu tubuh ibunya hangat.

"Ibu sakit?"

"Cuma pusing. Tadi niatnya ke dapur buat ambil kotak obat, tapi denger kamu ngomong, Ibu jadi ke sini dulu."

"Ah, okay. Biar aku aja yang ambil. Biar langsung sembuh." Gadis itu bergegas dengan senyuman di wajahnya.

Berbanding terbalik dengan keadaan rumah Kina yang dilingkupi kehangatan, suasana tegang menyelimuti rumah Ivanna sejak hari masih sore lantaran sang nyonya rumah murka. Ivanna yang hendak terlelap terpaksa membuka mata karena suara mamanya kembali memenuhi seantero rumah.

The Rain and I Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang