27. Foto

17 5 1
                                    

"Mana, Mik? Nggak ada, kok!" Dean mencak-mencak kala tidak menemukan penggaris di tas Mikha.

"Ada. Cari yang bener." Santai Mikha menjawab sambil manggut-manggut mendengarkan musik dari headset. Hitung-hitung relaksasi sebelum pelajaran matematika dimulai.

Dean mendengkus keras. Mungkin jika ini film kartun sudah ada asap yang keluar dari hidung dan tanduk di kepalanya. "Lo cakep-cakep, tapi tasnya berantakan banget! Kalau Kina tahu, gue yakin dia auto ilfeel." Masih dalam kondisi mengobok-obok tas temannya, Dean kembali menggerutu.

Malas menanggapi, Mikha meraih keripik kentang dan memakannya.

Dean menatap sinis, lalu saat menemukan tempat pensil warna hitam, ia melemparnya ke depan si pemilik. "Nggak guna banget bawa tempat pensil, tapi isinya zonk," katanya usai melihat tak ada apa-apa di dalam benda persegi panjang itu.

Konsisten dengan sikap masa bodohnya, Mikha akhirnya terusik saat Dean menemukan sesuatu yang asing usai semua buku-bukunya dikeluarkan.

"Punya siapa, nih? Warnanya pink." Secepat kilat Dean agak menjauh tatkala Mikha berusaha merebut apa yang ada dalam genggamannya.

"Kasih gue!" Tanpa melihat isinya, Mikha jelas tahu dompet itu milik siapa.

"Kinara?" Raut terkejut tak dapat disembunyikan saat membaca kartu pelajar yang terdapat di dalam dompet. Dean dengan gamblang menuduh, "Wah, lo nyuri, ya?"

"Sembarangan!" sahut Mikha cepat seraya mengambil paksa dompet Kina.

Senyum menggoda Dean mengembang. Matanya mengamati setiap pergerakan Mikha yang kini sedang memasukkan kembali buku-buku ke dalam tas. Ia tertawa tertahan melihat sahabatnya yang agaknya salah tingkah.

"Nih, penggarisnya!" Mikha meletakkan benda tipis itu tepat di depan Dean. Bukannya terima kasih, temannya itu malah cengar-cengir tidak jelas. Mikha benar-benar seperti maling yang tertangkap basah. Padahal, tak melakukan kejahatan.

"Lo abis ngapain sampai dompetnya Kina ada di lo?" Dean menaik-turunkan alisnya.

Seharusnya Mikha tak perlu gugup. Namun, kenapa rasanya susah mengakui kalau kemarin dia dan Kina terjebak hujan saat pulang bersama? Untunglah, Pak Bondan yang mengajar usai jam istirahat pertama telah memasuki kelas. Jadi, Mikha tak perlu repot-repot menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut ember Dean.

Pembahasan soal tentang jarak titik ke bidang yang sedang diterangkan di depan kelas sudah cukup rumit, tapi otak Mikha masih menambah-nambahi perkara dompet Kina yang ketinggalan. Gadis itu pasti kelabakan saat menyadari dompetnya tidak ada. Mikha berdecak. Ia harus segera mengembalikannya saat jam istirahat kedua.

Di depan kelas XII IPA 2, Mikha yang hendak memanggil Arion harus menelan kembali suaranya saat Rio tiba-tiba muncul di ambang pintu. Tatapan mereka sempat bertemu sebelum dengan cepat Rio memutusnya.

Mikha berusaha tak acuh apalagi setelah mengingat tujuannya kemari. "Sat!" panggilnya melihat teman sekelas Kina yang lain.

Yang dipanggil mendelik. Tidak masalah dipanggil "Sat". Namanya memang Satria, tetapi nada bicara orang yang memanggilnya yang terkadang minta dijotos. "Hmm?"

"Kinara ada?"

"Nggak masuk. Bisulan katanya," jawab Satria enteng.

"Yang bener lo!"

"Anaknya sakit. Mau apa, sih, lo?"

Mikha terdiam. Kina sakit pasti karena pulang bersamanya. Seharusnya dia memikirkan risiko dari setiap tindakannya. Seandainya kemarin dia membawa mobil, semua pasti tidak akan begini. Pikiran Mikha berkecamuk.

"Yeee! Malah ngalamun!" Satria berlalu menuju mejanya.

Mikha kembali ke kelas dengan perasaan tidak tenang. Mau mengabari Kina, tapi takut mengganggu istirahat gadis itu. Mau ke rumahnya? Hari ini Mikha pulang malam karena jadwal les diundur setengah jam. Cowok itu memijit tengkuknya, pusing bukan main. Padahal, saat tahu Sandra sakit di kos-kosan, dia tidak segelisah ini.

"Pesanan Anda, Yang Mulia." Dean yang baru kembali dari kantin mengangsurkan semangkuk soto ayam dan sepiring nasi lengkap dengan minuman pesanan temannya. "Jangan lupa fisika buat besok difoto kalau udah di rumah," lanjutnya tepat di telinga Mikha. Senyumannya terukir lebar. Kontras dengan raut sedatar tembok milik Mikha.

Pukul tujuh kurang sepuluh menit, motor Mikha berhenti di halaman rumah. Hanya ada mamanya yang sedang menonton film ketika ia menjejakkan kakinya di ruang keluarga.

"Mikha!"

Pemuda itu memejamkan mata diiringi embusan napas lelah. Mikha yang hendak menaiki tangga terpaksa memutar balik guna menghampiri mamanya.

"Iya, Ma?"

Agnes meneliti penampilan anaknya dari atas ke bawah. Rapi, tapi wajahnya tampak sangat lesu. "Kamu capek?"

"Capek, lah. Otakku sampai mau korslet dipakai mikir terus."

Agnes tertawa. Bisa saja anak bungsunya ini. "Kamu udah makan?"

"Belum."

"Sama. Mama juga belum."

Bibir Mikha setengah terbuka. Apa gunanya bertanya demikian kalau ujung-ujungnya begini.

"Bercandaaa." Wanita itu mengulum senyum. "Kamu mau makan apa? Mama orderin."

"Bakmie yang biasanya kasih pangsit, bakso, sama tahunya sekalian."

"Oke. Kamu bersih-bersih dulu. Nanti Mama panggil kalau udah sampai."

Menaiki tangga, Mikha langsung menekan saklar begitu memasuki kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang dan menghubungkan ponselnya dengan pengisi daya. Lalu, membuka tas dan mengambil dompet Kina.

Ketika persentase baterai ponselnya mencapai 5%, Mikha menghidupkannya. Ia memfoto dompet pink bergambar beruang cokelat itu dan mengirimkannya kepada si pemilik.

"Dompet lo ketinggalan di tas gue. Sorry, belum sempat balikin." Kalimat keterangan yang ditulis di bawah foto.

Tak butuh waktu lama, sebuah balasan pun masuk. "Iya."

Singkat, padat, dan jelas. Mikha sama sekali tak ambil pusing. Mungkin saja kepala Kina pusing jika menatap layar terlalu lama. Namun, seolah tak puas hanya membahas perihal dompet, ia kembali mengetikkan pesan. "Katanya lo sakit. Sakit apa?"

"Demam, tapi ini udah mendingan."

Sedikit kelegaan menyelinap di hati Mikha. "Ya udah, istirahat aja biar cepat sembuh." Pesan terakhir yang dikirimkan Mikha, yang membuat kening pemuda itu mengerut. Sejak kapan dia jadi perhatian begini?

Tatapan cowok itu lantas beralih ke dompet yang ada di sampingnya. Lancang memang, tapi entah mengapa dia ingin membukanya karena Dean juga sempat melihat isinya.

"Kinara Sasmitha Dewi." Bak mantra, Mikha merapalkan nama itu.

"Mikhaaaaaa ... makanannya udah dateng. Cepat turun!"

Pemuda itu tersentak hingga dompet di tangannya jatuh. Berapa lama ia memandangi foto gadis dalam kartu pelajar SMA Cendekia sampai makan malamnya tahu-tahu sudah siap. Dia bahkan belum mandi. Seragam sekolahnya yang bau keringat juga masih menempel di badan.

"Mikhaaaaa!"

"Iyaaaa, Maaaaa!" Tak mau kalah, Mikha pun ikut berteriak.

"JANGAN TERIAK-TERIAK! INI RUMAH, BUKAN HUTAN, KECUALI KAMU TARZAN."

Mikha geleng-geleng kepala. Padahal, siapa juga yang memulai duluan? Ia tak habis pikir. Tangan panjangnya lantas terulur untuk meraih dompet yang ada di lantai. Mikha hendak kembali menutupnya dan memasukannya ke tas. Namun, sebuah foto usang yang terpasang di sana menyita seluruh perhatiannya.

The Rain and I Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang