38. Sadar

1K 121 4
                                    

Setelah keluar dari rumah sakit, Jevan pun akhirnya sampai di rumah. Sebenarnya ia tidak ingin pulang dan ingin menunggu Jovan, tetapi Jeff menyuruhnya pulang agar ayah nya itu tidak terus-terusan menyalahkan Jovan padahal Jovan tidak melakukan apa-apa. Jevan pun masuk ke dalam rumah yang sudah ada ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu. Melihat anaknya itu pulang, ia bangkit dari duduknya dan mendekati Jevan.

"Dari mana kamu?" tanya ayah dengan penuh penekanan.

"Dari rumah sakit." jawab Jevan.

"Ngapain kamu ke sana?"

"Yah, Jovan sakit dia lagi kritis di sana."

"Kenapa kamu peduli sama dia lagi?"

"Ayah tanya kenapa aku peduli sama dia? Yah, dia itu kakak kembar aku dan dia sekarang lagi sekarat di rumah sakit karena apa? Karena dia punya tekanan batin yang terus-terusan Ayah kasih ke dia. Asal Ayah tau ya, aku nyesel karena udah percaya sama omongan Ayah waktu itu. Kenapa Ayah tega bohongin aku? Kenapa Ayah tega mau misahin aku sama Jovan?"

"Kamu-" ayah sudah mengangkat tangannya dan siap untuk melayangkan sebuah tamparan pada Jevan. Namun, aksinya itu ia hentikan karena Jevan memotong pembicaraannya.

"Kenapa? Ayah mau tampar aku? Mau pukul aku? Silakan. Ayo pukul aku kayak Ayah yang selalu siksa Jovan." Tantang Jevan. Ayah langsung menurunkan kembali tangannya.

"Yah, Jovan itu cuma pingin Ayah peduli sama dia doang. Dia ga minta banyak-banyak kok dari Ayah. Dia cuma pingin kasih sayang Ayah itu sama rata buat aku sama Jovan. Ayah ga kasian sama Bunda. Dia udah berjuang mati-matian buat melahirkan putra kembarnya tapi saat Bunda meninggal, salah satu putranya tidak mendapatkan keadilan dari Ayahnya. Aku yakin, Bunda pasti marah sama Ayah dan benci sama Ayah. Aku tau Yah, Ayah itu sedih karena Bunda meninggal, tapi jangan menjadikan Jovan adalah penyebab Bunda meninggal. Kenapa hanya Jovan yang di salahkan sedangkan aku juga lahir bareng Jovan hari itu? Harusnya Ayah juga nyalahin aku ga ke Jovan aja."

Ayah hanya terdiam mendengar ucapan panjang lebar dari Jevan. Apakah diam Ayah itu bikin dia jadi sadar? Oh jelas tidak.

"Kamu sudah berani melawan ya Jevan?"

"Yah, sadar. Ayah itu udah keterlaluan. Ayah itu ga pantes di sebut sebagai seorang Ayah. Ayah lebih pantes disebut sebagai pria bajingan. Aku bukannya mau melawan Ayah, tapi Ayah yang udah buat aku kayak gini. Aku cuma mau nyari keadilan buat Jovan. Dia masih anak Ayah, darah daging Ayah sendiri."

"Aku benar-benar kecewa sama Ayah. Bunda juga pasti kecewa banget sama Ayah di sana. Karena lihat suaminya dengan bajingannya nyiksa anaknya sendiri."

Air mata ayah sudah mulai jatuh membasahi pipinya, namun ia langsung cepat-cepat menghapusnya agar Jevan tidak melihat air matanya. Namun, Jevan tetap masih bisa melihat mata ayahnya itu sudah memerah dan berair.

"Soal kuliah di Jerman, aku mau batalin. Bukan aku yang mau kuliah di sana, tapi Jovan. Dia punya mimpi buat pergi ke sana bareng Ayah, Bunda, aku, dan dia. Negara itu adalah negara impian Jovan. Aku ga tau apa mimpinya itu bisa terwujudkan atau tidak. Sedangkan dia lagi sakit dan koma di rumah sakit." lanjut Jevan. Ayah masih saja terdiam di sana. Tidak menjawab apa pun. Dimana ayah yang selalu memiliki pemikiran yang egois itu? Kenapa mendadak dia menjadi diam seperti ini?

"Semoga Ayah bisa cepat sadar ya, Yah, sebelum terlambat. Kalau begitu, aku mau kembali ke rumah sakit."

Setelah mengatakan itu, Jevan langsung pergi lagi dari rumah. Dan ia berharap agar ayahnya itu sadar setelah ia menjelaskan panjang lebar tadi. Saat ia sudah di luar rumah dan hendak masuk ke mobilnya, tiba-tiba ia mendapatkan panggilan telpon dari Haris. Jevan langsung mengangkatnya.

Fraternal J&J [END]Where stories live. Discover now