33. Sebuah Rencana

797 121 16
                                    

Jovan pun akhirnya sampai di rumah Jeff. Ia masih tinggal di sana untuk sementara waktu. Ia pulang dengan menaiki ojek online tadi. Sebenernya, baik Nares maupun Haris menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tetapi Jovan langsung menolaknya. Ia tidak ingin mereka tahu kalau saat ini ia sedang tinggal di rumah Jeff bukan di rumahnya lagi. Lebih tepatnya, ia tidak ingin mendapatkan sebuah pertanyaan nantinya. Ia sangat malas untuk menjawabnya.

Jovan pun langsung masuk ke dalam rumah itu seraya mengucapkan salam. Saat dirinya sudah masuk ke dalam, ia langsung melihat Jeff dan Rani yang sedang duduk di ruang tamu. Mereka seperti sedang menunggu seseorang. Wajah mereka juga tampak sangat serius sekali.

Jovan pun langsung menghampiri keduanya dan bertanya pada mereka.

"Lagi nungguin siapa Bang, Mbak? Mau ada tamu tah?" Tanya Jovan kepada sepasang suami istri itu. Tiba-tiba ia melihat Rani tengah menyembunyikan tangisnya di sana.

"Mbak kok nangis? Lo apain Mbak Rani, Bang?" Tanya Jovan lagi. Rani yang mati-matian untuk tidak menangis, tetapi pertahanannya itu tetap runtuh. Rani semakin menangis di sana.

Jeff pun langsung berdiri dari duduknya. Kemudian, ia memeluk tubuh bongsor sang adik sepupunya itu dengan begitu erat. Jeff juga sempat meneteskan air matanya, namun cepat-cepat ia hapus.

"Maafin gue, Jov." ujarnya sembari menepuk punggung Jovan.

"Jangan bilang lo sama Mbak Rani cerai lagi. Bang sadar Bang, lo ga boleh ngambil keputusan kayak gitu. Kalau ada masalah bisa di bicarakan baik-baik jangan main cerai cerai aja."

"Maafin gue, Jov. Gue udah gagal buat jagain lo. Gue ga bisa nepatin janji gue ke Tante Arin. Gue minta maaf." Jeff semakin menangis seraya memeluk tubuh Jovan yang mulai kurus itu. Jovan masih belum mengerti dengan semuanya. Apa maksud yang telah diucapkan oleh Jeff barusan?

"Maksud lo, Bang?"

Jeff pun melepaskan pelukannya dan beralih memegangi kedua bahu Jovan sembari menghapus air matanya.

"Kenapa lo ga bilang sama gue kalau lo sakit?"

"Lo tau Bang?"

"Rani yang tau duluan karena dia nemuin obat lo di kamar. Untung aja Rani itu Dokter. Jadi, kita bisa cepet tau obat apa itu. Ga taunya obat itu adalah obat untuk penderita kanker."

"Pakek segala lupa nyimpen obatnya lagi gue." monolog Jovan merutuki dirinya yang hampir tidak bisa di dengar oleh Jeff.

"Kita sembuhin penyakit lo ya. Gue yang bakalan tanggung semuanya. Lo harus sembuh Jov."

"Ga perlu Bang karena itu percuma. Penyakit gue ini ga bisa di sembuhin."

"Kita cari rumah sakit terbaik di sini atau ngga kita keluar negri buat sembuhin penyakit lo."

"Bang, penyakit gue itu udah stadium akhir. Udah ga ada harapan apa-apa lagi. Jadi percuma lo buang-buang duit lo buat bayar pengobatan gue kalau akhirnya gue bakalan mati juga."

"Jovan, Mbak sudah bicara dengan rekan Mbak yang biasanya mendapatkan pasien seperti kamu. Dia bilang, dia bisa membantu kamu untuk sembuh. Sebenarnya, kamu itu sudah mulai di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut lagi." ujar Rani ikut membujuk Jovan.

"Urusan gue masih banyak di sini sebelum gue dinyatakan kritis nanti. Gue juga ga mau nyusahin kalian dan jadi beban buat kalian. Gue udah sering nyusahin orang dan jadi beban buat mereka. Gue udah bersyukur banget sama kalian yang udah mau nampung gue di sini."

"Kita sama sekali ga merasa terbebani sama kamu. Kita ingin kamu sembuh." jawab Rani yang sudah berdiri di sebelah Jeff.

"Pokoknya lo harus nurut, Jov. Ga pa pa kalau lo masih mau urusin semuanya dulu di sini. Tapi setelah itu, lo ga boleh nolak buat kita bantu lo untuk sembuh. Lo harus sembuh, oke?"

Fraternal J&J [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang