4. Jevan Marah

1.4K 133 0
                                    

Langit pun berganti menjadi kejinggaan dan lelaki bermata bulan sabit itu sudah tiba di rumahnya. Di dalan rumahnya terlihat tampak sangat sepi seperti tidak ada penghuninya di rumah itu. Di depan juga sudah ada motor miliknya yang tandanya kalau Jevan sudah ada di rumah. Atau mungkin dia sedang berada di kamarnya untuk belajar. Biasanya sih seperti itu.

Jovan pun mengangkat bahunya asal dan berjalan menuju kamarnya. Untungnya Ayah sedang berada di luar kota karena urusan pekerjaannya. Jadi, ia tidak akan mendengar omelan dari Ayahnya itu karena melihat keadaannya yang memar sana sini dan berantakan sekarang.

Sampailah Jovan di depan pintu kamarnya dan siap untuk membuka pintu kamarnya. Tapi, tiba-tiba ia di buat terkejut oleh kehadiran Jevan yang entah sejak kapan sedang berdiri di depan kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamar Jovan. Jevan menatap Jovan dengan tatapan mengintimidasi karena melihat Jovan pulang dengan keadaan yang mengenaskan.

"Anjing!, ngagetin aja sih lo." umpat Jovan karena ia terkejut.

"Kata ngerayain ulang tahun nyokapnya Haris tapi kok babak belur gitu. Kenapa lo? Di tonjokin sama nyokapnya Haris?" ujar Jevan yang membuat Jovan tersentak dengan ujarannya itu. Jovan langsung dibuat gelagapan dan bingung harus menjawab apa?

Lalu, Jovan langsung mengeluarkan jurus merayunya agar Jevan mau memaafkannya, yaitu dengan tersenyum sampai membuat kedua matanya ikut tersenyum membentuk bulan sabit. "Sorry Jev, gue ga ada maksud buat bohong sama lo. Kalau gue jujur, lo pasti ga bakalan bolehin gue."

"Kata siapa?"

Jovan pun membelalakkan kedua matanya. Apakah Jevan akan mengijinkannya jika dia berkata jujur?

"Lo ngebolehin?"

"Ya silakan aja kalau lo masih mau hidup mah."

"Jev, jangan marah dong. Maafin gue ya. Gue janji ga bakalan bohong lagi sama lo." Jovan memohon kepada Jevan seraya menggoyangkan lengan Jevan, seperti anak kecil yang memohon kepada ibunya untuk membelikannya es krim. Jovan juga menyatukan kedua tangannya tanda memohon di hadapan Jevan. Berharap Jevan akan memaafkannya.

"Kalau lo janji ga bakalan tawuran lagi, baru gue maafin." Jovan pun menurunkan tangannya kembali dan wajahnya berubah menjadi sedih.

"K-kalau itu gue...gue ga bisa janji. Ini soal harga diri Jev."

"Lo lebih mentingin harga diri lo ketimbang nyawa lo?"

"Ya ngga gitu, Jev."

"Ya udah klok gitu, lo jangan ngomong lagi sama gue sampe lo mau janji sama gue kalau lo ga bakalan tawuran lagi." setelah mengatakan itu, Jevan pun masuk ke kamarnya. Ia meninggalkan Jovan yang terus memanggil dirinya sembari mengetuk pintu kamar Jevan yang sudah tertutup rapat.

"Jev, Jevan. Jangan gitu dong. Gue usahain deh, beneran."

"PERGI LO JOVANJING. GUE JUGA GA BAKALAN MAU PEDULI LAGI KALAU LO DI HAJAR ABIS-ABISAN SAMA AYAH. GUE BAKALAN BODO AMAT..." teriak Jevan dari dalam kamarnya.

Jovan pun menghembuskan napasnya sembari menundukkan kepalanya dan tangannya masih berada di gagang pintu Jevan yang sempat ia coba untuk membukanya.

Akan sulit bagi dirinya untuk membujuk Jevan jika sudah marah seperti ini. Bagaimana pun juga, Jovan tidak bisa berjanji kalau dia tidak akan ikut tawuran atau yang berhubungan dengan perkelahian.

Toh, Jovan juga tidak sering tawuran. Ia akan ikut tawuran kalau ia merasa ditantang saja. Ia juga tidak pernah memulai duluan. Ia hanya maju kalau ada yang menantangnya. Karena prinsip nya adalah mereka jual kita tawar. Eh maksudnya, mereka jual kita beli.

Fraternal J&J [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz