Season 2 | Ikhlas yang terbaik.

5.3K 160 22
                                    

Gak nyangka tiba-tiba masuk ribuan notif. Jadi saya langsung semangat buat lanjutin lagi.

Oh ya, di season ke dua ini genrenya berubah. Jadi lebih ke islami dan rumah tangga ya.

Jangan lupa like dan komen ya.

____________________________________________

"Tapi maaf Pak, Bu. Saya memutuskan untuk menolak perjodohan ini."

Ucapan Devan tersebut kontan membuat Hanum dan Aditya terkejut. Bukan hanya itu Pak Anwar dan Bu Sarah juga terlihat terkejut dengan apa yang barusan keluar dari mulut Devan.

Seketika suasana ruangan itu jadi hening.

"Van, bukannya waktu itu kamu setuju?" Hanum bingung.

Devan mengangguk. "Iya Bun, tapi Devan berubah pikiran. Bahkan sampai sekarang Devan gak bisa lupain Vania."

"Devan gak mau ngecewain Ayana, kalau ternyata Devan masih mencintai almarhumah istri Devan."

Deg! Satu tamparan membuat dada Ayana sakit. Perempuan itu menarik napas panjang. Agak sulit baginya menerima semua kenyataan ini.

"Tapi-" belum sempat Hanun menamatkan kalimatnya. Secara tiba-tiba Ayana menyela kalimat itu.

"Bu Hanum, Aya setuju sama Mas Devan. Lebih baik perjodohan ini kita batalkan saja."

Kini gantian, ucapan Perempuan berhijab panjang itu yang membuat kedua orangtuanya terkejut. Bahkan Devan pun juga terlihat terkejut.

"Sa...saya minta maaf Aya, karena saya mungkin menyakiti hati Aya."

Ayana tersenyum getir. "Gak apa-apa Mas, Aya paham apa yang Mas Devan rasakan. Kehilangan orang yang kita cintai itu tidak mudah. Jadi Mas Devan gak perlu minta maaf."

"Tapi walau perjodohan ini batal, Aya harap hubungan silaturahmi keluarga kita akan tetap berjalan baik."

"Makasih Aya untuk pengertiannya." jujur, Devan agak merasa tidak enak hati mendengarnya.

"Iya, sama-sama Mas."

.....

Ketika perjalanan pulang, Ayana hanya diam. Mencoba ikhlas untuk menerima semua kesepakatan yang tadi mereka bersama setujui.

Ya, walau baru beberapa minggu bertemu Devan. Ayana sudah lebih dahulu kagum pada sosok lelaki itu. Ia tidak peduli dengan apa masalalu lelaki itu. Yang Aya tahu Devan yang sekarang adalah lelaki yang baik. Bahkan sangat baik.

Namun, rasa cinta itu sepertinya harus Aya pendam rapat-rapat. Kenyataannya hari ini harapannya tidak sesuai ekspektasi. Aya paham apa yang Devan rasakan. Di satu sisi Lelaki itu masih belum bisa melupakan Almarhumah istrinya, dan di sisi lain Ia takut untuk menyakiti Aya.

Sebuah tangan terulur, mengusap telapak tangannya.

"Yang ikhlas ya." Ucap Sarah, menyemangati anak semata wayangnya itu.

Aya mengangguk pelan. "Iya Umi, Aya berusaha ikhlas."

"Percaya sama Abah Nak, jodoh itu udah diatur. Kamu jangan sedih ya, bagaimana pun sekarang, kamu pasti akan bertemu jodoh kamu di waktu yang tepat."

"Aamiin. Iya Bah."

Di tengah semua itu, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel yang Aya pegang.

Hana (Nurse)
Beb, lu sibuk gak? Gantiin gua dulu dong. Gua mencret-mencret nih abis makan seblak janda dower. Gua kayaknya gak bisa jaga shift malem.

Me;
Gak sibuk kok. Ya udah, nanti aku gantiin. GWS Bestie

Hana (Nurse)
Ya Allah bae batt dah bestie gua ini. Oke makasih banyak ya Beb.

Me;
Iya Beb, sama-sama.

"Bah, nanti berhenti di Rumah sakit aja ya. Aya ada tugas shift malem dadakan."

.....

Devan menatap buket bunga lili putih yang ada di genggamannya. Hampir tiap minggu Devan membelinya dan meletakkannya di atas pusara Vania.

Suasana hari ini sedikit mendung, hembusan angin menerbangkan dedauan dan bunga-bunga kering di dalam tempat pemakaman umum ini.

Lelaki 27 tahun itu melambatkan kakinya, berjongkok dan meletakkan buket bunga itu tepat di depan batu nisan Vania.

"Bahkan sudah 9 tahun kamu pergi, aku sama sekali belum bisa melupakan kamu Nia."

"Aku gak tahu ini semua sampai kapan. Sepertinya aku memang tidak bisa membuka hati buat orang lain."

Devan menyeka air matanya.

"Kok Om Epan nangis?"

Devan terperanjat. Rupanya itu adalah Lita, keponakannya. A.k.a anak sulung Reza.

"Om Epan cengeng. Masa udah gede nangis."

Lita tentu tidak sendiri, ada Reza dan sang istri. Ternyata sedari tadi mereka mendengar ucapan Devan.

"Bang Reza? Ma...mau ngapain?"

Reza hanya tersenyum kecil. "Emangnya kamu doang yang boleh kangen sama Vania?"

"Ya udah, udah sore juga. Ayo kita bareng-bareng doain Vania." Sambung Reza.

Devan hanya mengangguk.

.....

Di perjalanan pulang, pikiran Devan tidak bisa lepas dari ucapan yang tadi Reza berikan padanya.

"Kamu gak bisa terus-terusan mencintai Almarhumah adik saya Van. Saya tahu kamu tulus sama Nia. Tapi, kamu juga pantas untuk bahagia."

"Saya mohon, kalau memang ada yang mencintai kamu, dan mau menerima kamu. Lebih baik kamu menerimanya."

"Kalau dulu kamu bisa cinta sama adik saya, saya juga yakin kamu juga bisa mencintai orang lain."

"Ikhlaskan Vania, Van. Ikhlaskan dia."

Devan hanya menarik napas panjang.  pikirannya kacau saat ini. Ia mendadak merasa tidak enak dengan penolakannya terhadap Ayana tadi.

Kalau dipikir-pikir, ucapan Reza ada benarnya juga. Jika ia bisa mencintai Vania karena perjodohan, seharusnya ia juga bisa mencintai Ayana.

Tapi, apa hendak dibuat. Semuanya sudah terjadi. Sulit baginya untuk menemukan gadis lain selain Vania.

Duarrrrrrrr!!!!

Tiba-tiba ban mobil yang Devan kendarai meledak. Kontan lelaki 27 tahun itu mendadak gusar, posisi bengkel mobil masih sangat jauh. Belum lagi, sekarang sedang hujan deras.

Ia segera mengeluarkan ponselnya, berniat menghubungi seseorang untuk menolongnya.

Namun, sepersekian detik sebelum hal itu terjadi. Tanpa sengaja Devan mendengar suara tangisan bayi.

Semakin lama, suara tangisan itu semakin santer ia dengar. Sumber suara itu berasal dari semak-semak yang tak jauh dari tempatnya saat ini.

Penasaran, dengan cepat ia memastikan hal itu ke arah semak-semak tadi. Dan betapa terkejutnya lelaki itu saat melihat seorang bayi yang tengah tergeletak di dalam kardus dengan ari-ari yang belum dipotong itu.

"Saya harus gimana?" Ujarnya.




Married with Devan [END]Where stories live. Discover now