DVNM | Kota Hujan (2)

5.1K 216 1
                                    

Motor Devan terus melaju, membelah jalanan Bogor pada sore itu.

"Kayaknya aku lupa jalannya, Van."

Vania terkejut mendengar ucapan Devan itu.

"Lho, gimana dong? Kata kamu gak jauh."

"Kan, aku lupa sayang."

Deg! Apa? Gak salah dengarkan Vania barusan?

"Sa...sayang?"

"Hm, kamu gak nyaman aku panggil sayang?"

Vania terkesiap. "Eng...enggak gitu Van, cu...cuma Nia kaget aja."

"Oh,"

"Ya udah buka Maps aja." Sambung Devan.

Vania mengangguk. Kemudian membuka aplikasi penunjuk arah.

"Kita balik putar ke jalan tadi."

Devan mengangguk. Mengendarai motornya mengikuti arahan istrinya ke sebuah perempatan. Aduh, pipi Vania sudah seperti tomat sekarang.

"Ini, kita ambil kanan atau kiri?"

Vania berpikir sejenak. "Kanan, Van."

Motor itu kembali melaju beberapa ratus meter.

Secara tiba-tiba Vania menepuk-nepuk punggung Devan.

"Kayaknya salah deh. Tadi, harusnya arah kiri."

Devan menghela napas. Inilah kebiasaan dari cewek yang Devan tidak suka. Kalau nunjukin maps pasti salah. Atau memang kaum hawa sengaja mengarahkannya agar salah jalan? Agar bisa berlama-lama menikmati momen?

"Maaf ya,"

"Jangan marah dong Devan," sambung Vania

"Aku gak marah sayang." Jawab Devan dengan nada bicara yang benar-benar membuat hati Vania meleleh.

"O...oh, kirain aku kamu marah."

Devan lagi-lagi memutar arah motornya. Dahinya berkerut. Sepertinya jalan ini, bukan jalan yang tadi ia lewati.

"Kayaknya kita salah jalan lagi deh Yang."

Kini, dahi Vania ikutan berkerut.

"Masa sih? Tapi kata Mapsnya benar kok. Kita tinggal lurus aja ngelewatin pasar malem, abis itu sampe."

"Oh, mungkin aku tadi ambil jalan yang beda."

Motor keluaran Jepang itu kembali melaju, menelusuri jalanan yang perlahan, tapi pasti mulai menunjukan keramaian.

Terlihat dari kejauhan sana, sebuah bianglala besar, dan tenda-tenda yang menjajakan makanan.

"Dari sini masih jauh gak?"

Vania menggeleng. "Enggak kok, cuma 1 km meter lagi."

"Serius?"

"Iya."

Devan tersenyum. Kemudian memarkirkan motor tersebut pada sebuah parkiran. Tak jauh dari Pasar malam itu.

"Kok berhenti?" Vania bingung. Padahal jarak penginapan masih cukup jauh.

"Kata kamu kan udah deket, ya udah kita jalan-jalan dulu di sini."

Vania mengulum senyum. Menahan diri agar tidak blushing lagi. Entahlah semakin kesini, Devan semakin manis di mata Vania.

Lagi-lagi, Devan menautkan jari-jari tangannya, pada tangan Vania. Menariknya masuk ke dalam pasar malam itu.

"Kamu mau jajan apa?"

Vania berpikir sejenak. "Kayaknya eskrim itu enak." Serunya sambil menunjuk ke arah sebuah stand yang menjual eskrim.

Devan mengangguk.

"Ya udah, kamu pesan gih."

"Bang, saya mau Eskrim alpukat. Terus topingnya pakai boba ya."

"Kamu gak mau?" Tanya Vania pada Devan. Iya tau, lelaki itu memang bukan tipe orang yang suka jajan. Apalagi rakus.

"Hm..." Devan ikut-ikutan berpikir.

"Bang, eskrim rasa cherry ada gak? Soalnya saya suka banget sama rasa Cherry."

Vania melotot. Apa-apaan sih Devan?

"Oh, kalau rasa Cherry enggak ada Mas." jawab si penjual.

"Yah, padahal saya lagi ingin yang rasanya cherry." Devan menatap Vania sekilas dengan tatapan meledek.

"Ya udah deh, saya pesen yang rasa coklat. Gak pakai topping apapun."

Beberapa saat kemudian, eskrim pesanan mereka telah siap.

Devan kembali menarik tangan Vania menuju bianglala besar di depannya. Mereka menaikinya.

Ketika diatas bianglala. Hembusan angin membuat eskrim yang sudah meleleh, terhempas hingga mengenai pipi dan sudut Vania.

"Hahaha... Kamu kayak anak kecil, makan eskrim aja sampai belepotan gitu." Devan terkekeh.

"Masa sih?" Vania tidak percaya. Ia kemudian meraih cermin kecil di dalam tasnya.

Dengan cepat, lengan kekar Devan menahannya.

"Gak perlu, biar aku yang bersihin."

Vania terdiam, saat tangan Devan menyentuh pipinya. Menyingkir helaian anak rambut yang menutupi wajahnya akibat terpaan angin.

Vania ragu-ragu menatap manik mata hazel Devan. Entahlah ia merasa tidak kuat untuk memandangnya.

"De...Van?"

"Hm." Jawab lelaki itu.

"I love you." Hah? Tidak salahkah kata tersebut terucap dari bibir mungil Vania.

Devan tersenyum sekilas. "I love you too Vania."

Lelaki itu menatap lekat wajah Vania, semakin lama jaraknya semakin dekat. Hingga kedua bibir itu saling bertautan. Mereka benar-benar larut menikmati senja di kota hujan, semuanya seakan-akan hanya milik mereka berdua.

*Akhirnya Devan dapat mencicipi lagi eskrim rasa cherry kesukaannya.







Married with Devan [END]Where stories live. Discover now