MwD |

3.7K 165 15
                                    

"Gue hamil anak Devan!" tegas Bella.

"Gak mungkin. Ini semua gak mungkin."

Bella tersenyum sinis. "Kenapa gak mungkin? Buktinya ini." Bella menunjuk ke arah perutnya.

Sesak. Hanya itu yang kini Vania rasakan. Walau ia tadi percaya kata-kata Devan, tapi tetap saja pernyataan Bella sekarang lebih meyakinkannya bahwa memang benar, Bella sedang mengandung anak dari suaminya.

"Udah deh Van. Lo sama Devan cuma dijodohkan. Gue yakin, Devan gak pernah cinta sama lo! Lagi pula pernikahan lo sama Devan juga terkesan paksaan. Jadi, jangan ngarep kalau Devan benar-benar bahagia nikah sama lo!"

Bibir Vania mendadak kelu.

"Satu lagi, lo jangan egois! Lo bisa aja jatuh cinta sama Devan! Tapi ingat! Gue cinta pertamanya Devan! dan, gue bakal minta pertanggung jawaban Devan sekarang juga!"

"Devan selalu menolak gue buat ngakuin perbuatan bejad dia di hadapan orangtuanya hanya karena takut nyakitin lo!"

"Tapi, sekarang lo udah tau. Udah saatnya buat gue ngomong ke kedua orangtua Devan, bahwa gue hamil anak Devan."

"Gue gak mau anak gue lahir tanpa seorang Ayah!"

"Apa buktinya kalau kamu hamil anak Devan?" Vania tidak tinggal diam. Ia tidak langsung percaya. Ia yakin ini semua hanya akal-akalan Bella saja.

"Ck, Vania...Vania... lo mau bukti apa lagi hah? Apa semua ini belum cukup. Buat apa gue kembali ke sini, kalau bukan untuk minta pertanggung jawaban Devan."

Airmata Vania tak terbendung lagi. Kenyataan ini benar-benar menyesakkan dadanya.

"Dan, sekarang gue tanya sama lo. Tadi yang bawa gue ke rumah sakit siapa?"

Vania diam.

"Jawab! Siapa!"

"Devan kan? Buat apa coba Devan repot-repot nganterin gue malam-malam gini kalau bukan dia khawatir sama gue dan anak yang ada di kandungan gue?"

Tak tahan dengan itu semua, Vania memilih untuk pergi. Entahlah terlalu banyak hal masuk akal yang dijelaskan Bella dari pada alibi yang Devan berikan padanya.

Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali Devan membohonginya. Kenyataannya memang begitu, sulit bagi seseorang untuk berhenti berurusan dengan masalalunya.

"Nih, aku beliin kamu bakso telur kesukaan kamu." Devan menyodorkan bungkusan tersebut pada Vania, saat Vania keluar dari ruangan dimana Bella dirawat.

Bukannya menerimanya, Vania justru menyemparnya.

"Cukup! Cukup Van! Kamu gak usah pura-pura baik lagi!"

Dahi Devan berkerut. "Kamu kenapa Yang?"

Vania menghela napas kemudian menyeka bulir-bulir airmata yang mulai membasahi pipinya.

"Nia mau kita cerai."

Mata Devan melotot. Apa-apaan ini?

"Tenangin diri kamu, kita bisa bicara baik-baik. Enggak semua masalah jalan keluarnya adalah perpisahan." Devan menangkup pipi Vania dengan kedua telapak tangannya.

"Lepasin Nia! Tolong Van, talak Nia! Talak sekarang!"

"Hushhhttt... Nia ini rumah sakit. Kalau ada masalah lebih baik kita bicarakan di apartemen ya. Jangan di sini." Devan merasa tidak enak. Sedari tadi hanyak pasang mata yang memperhatikan ke arah mereka berdua.

Vania tidak merespon. Ia justru berlari menjauh. Pergi dari hadapan Devan.

Devan menggaruk pelipisnya. Ia tidak mengerti dengan semua ini. Tak mau membuang waktu, Ia pun segera mengejar Vania.

"NIAAA!" Sial! Vania tidak mengindahkannya.

"NIAAA!"

"VANIAAAAA!"

Di balik ruangan tersebut, Bella tersenyum puas. Entahlah melihat perpisahan, dan pertengkaran mampu membuatnya senang. Semua rencananya berhasil. Ia yakin, ini semua hanya perihal waktu. Cepat atau lambat, Vania pasti akan berpisah dengan Devan. Itu pasti!

Sementara itu, Devan tidak henti-hentinya memanggil nama Vania. Tapi, lagi-lagi Vania enggan mengindahkannya. Semakin kencang Devan mengejarnya, perempuan itu semakin jauh berlari meninggalkannya.

Mata Devan melotot sempurna saat melihat sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi mengarah ke arah Vania.

"VANIAAAA AWASSSSS!"

BRAAAAAKKKKKKKKKKKKKKKK

HALLO apa kabar? Lama ya? Huhu🙃

Publish : 16 Juli 2021

Married with Devan [END]Where stories live. Discover now