DVNM | Manis

7.6K 285 0
                                    

Malamnya, Vania diperbolehkan untuk pulang. Sebetulnya kondisi perempuan itu belum benar-benar pulih. Tapi, sedari tadi ia berusaha untuk membujuk Devan agar mengizinkannya pulang.

Sesampainya di apartemen, Devan segera menghantar Vania menuju kamar.

"Kamu udah makan Van?" Tanya Vania. Ia khawatir dengan Devan. Sedari pagi, lelaki itu terlalu sibuk mengurusnya.

Devan mengangguk.

"Kamu laper gak? Biar nanti Nia masakin dulu." Nia berniat beranjak. Tapi, dengan sigap Devan melarangnya.

"Gak perlu, nanti biar aku pesan di ojol. Kamu istirahat aja."

Dahi Vania berkerut. Ada angin apa Devan menggunakan aku-kamu. Apapun itu, jujur. Itu terdengar sangat manis bagi Vania

"Nia gak salah denger kan? Kok tumben sih pakai aku-kamu."

Sudut bibir Devan terangkat. "Kamu gak suka? Ya udah gue gak bakal pakai aku-kamu lagi."

Kedua alis Vania bertaut. "Ih gak gitu, Nia cuma aneh aja."

"Oh,"

"Ish kok cuma oh doang sih?"

"Oh gitu,"

"Au ah, Nia sebel." Perempuan itu memanyunkan bibirnya.

"Kamu maunya apa?"

"Gak ada." Vania berpura-pura cuek.

"Oh,"

"Ih kamu kenapa nyebelin sih Van?"

Devan tertawa. "Oh,"

Plaaakkkkkkk! Vania menampar lengan Devan.

"Argghhhhhhhhhh!" Pekik Devan. Pukulan Vania tepat mengenai lukan bekas tembakan tadi.

Vania terkejut bukan main saat Devan meringis memegangi lengannya. "Ka...kamu kenapa Van?" Nia tidak habis pikir. Biasanya Devan tidak seperti itu saat mendapatkan pukulan darinya. kenapa kali ini lelaki itu malah melankolia?

Devan menggeleng, menjauhkan lengannya dari Vania.

"Coba sini Nia liat,"

"Gak perlu, ini cuma kepentok meja tadi." Alibi Devan. Ia tidak mau Vania tau apa yang sebenarnya terjadi pada lengannya.

Kedua alis Vania kembali bertaut. Dengan paksa, perempuan itu menarik lengan Devan. Perlahan menyingkirkan lengan baju lelaki itu.

Vania melotot saat mengetahui bahwa ada luka jahitan di tangan suaminya.

"Ini kenapa Van? Gak mungkin kalau kebentur sampai dijahit kayak gini." Vania menjeda. "Apa jangan-jangan ini semua gara-gara Alex?"

"A...anu ini tadi-"

Kalimat itu belum usai, tapi Vania dengan cepat kembali berhambur pada pelukannya.

"Maafin Nia Van, hiks...hiks... ini semua gara-gara Nia, hiks...hiks..." tangis Vania kembali pecah.

Aduh, dasar Vania! Ia kembali sukses membuat jantung Devan jadi abnormal.

Devan menghembuskan napas panjang. "Kan aku udah bilang, lupain aja kejadian itu. Di sini bukan cuma aku yang sakit, tapi kamu juga jadi korban."

"Mungkin, kalau aku gak punya masalah sama Alex, kamu juga gak bakalan tersiksa."

Devan melonggarkan dekapannya. Kemudian menatap wajah Vania dengan seksama.

"Seharusnya aku yang minta maaf kamu." Lanjutnya, sambil mengusap pucuk kepala Nia.

"Mulai sekarang aku mohon sama kamu ya, jangan bahas itu. Aku gak suka,"

Bukannya mereda, tangis Vania malah semakin histeris.

"Lah kok makin kenceng sih nangisnya?"

"Maafin aku Van,"

"Kan, aku udah maafin." Devan menyeka airmata yang membasahi pipi Vania.

Vania menggeleng. "Bukan cuma tentang itu,"

Sebelah alis Devan terangkat.

"Terus?"

"Hiks...hiks... A...Alex, udah nga...ngambil first kiss Nia, Van. Ma...maaf, Ni...Nia belum bisa jadi hiks...hiks...istri yang ba-"

Belum sempat Vania menamatkan kalimatnya, secara tiba-tiba Devan mencium bibir Vania. Tidak memberikan kesempatan bagi perempuan itu untuk berbicara.

Mata Vania kembali melotot, dunia seolah-olah berhenti pada saat itu. Ada jeda beberapa detik, sebelum Vania menarik wajahnya menjauhi wajah Devan. Argh! Pipinya memerah sekarang.

"Ka...kamu mau ngapain?" Pertanyaan Absurd itu keluar dari bibir Vania. Ia benar-benar diluar kendali sekarang, sampai-sampai ia tidak mengerti apa yang barusan diucapnya.

Sudut bibir Devan kembali terangkat. "Aku mau bersihin bekas bibir Alex."

Vania semakin salah tingkah dibuatnya.

"Aku rasa itu belum bersih. Sini aku bersihin lagi."

Lelaki itu mendorong tengkuk Vania, Tapi Vania berusaha untuk mencegahnya.

"De...Devan,"

Devan kembali tersenyum.

"Tenang, aku gak bakal ngelakuin hal-hal lain ke kamu."

Vania mengangguk. Detik setelahnya wkwkwkwk....

...

"De...Devan,"

Lelaki yang sedang asik menonton TV itu menoleh.

"Iya,"

"A...anterin Nia yuk, ke toko Hp."

Devan menghampiri Vania. "Mau ngapain?"

"Nia mau beli Hp baru. Hp Ni...Nia kemarin ilang."

"Oh," Devan menjeda. "Gak perlu, biar aku suruh Geo buat beliin kamu Hp baru."

"Ih gak perlu, Nia juga sekalian mau beli bahan-bahan buat masak. Soalnya Papah sama Mamah mau main ke sini."

"Gak usah Van, nanti biar pesan di ojol aja. Kamu harus banyakin istirahat."

"Nia udah sehat kok."

Devan menggeleng. "Kamu jangan ngeyel Van,"

"Tapi kan-"

"Gak ada tapi-tapian. Mendingan kamu temenin aku nonton TV aja."

Nia menghembuskan napas panjang. Kemudian mengangguk.

Devan membawa Vania menuju sofa. Ia merebahkan kepalanya di atas paha Vania. Refleks tangan Vania mengusap-usap lembut rambut Devan. Pandangannya pun tidak terfokus pada acara TV di depan. Ia justru tidak bisa luput dari memandangi wajah lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya.

Entahlah. Semenjak kejadian itu Vania mulai merasa nyaman oleh setiap perlakuan Devan terhadapnya. Belum lagi ketika ia melihat senyuman terbit dari bibir lelaki itu. Ia benar-benar tidak bisa melepaskan pandangannya dari Devan. Senyuman Devan seolah-olah candu baginya.

Ada apa nih sama Vania?

Makasih udah mau mampir. Karena aku lgi mood bngt buat nulis. Inshaa Allah bakal sering² up.

Publish : 15 Maret 2021

Married with Devan [END]Where stories live. Discover now