Tubuh Wina menegang, menatap Axel yang masih menoleh kebelakang, di dalam kegelapan ini Wina tak bisa menebak ekspresi apa yang ditunjukan Axel. Tapi degup jantung di dadanya begitu keras hingga terasa menyakitkan. Itu membuat tenggorokannya kering, dan kepalanya terlalu kosong.

“Xel!”

Wina terkejut, nyaris yakin kalau dia baru saja hampir memutahkan jantungnya dan sekarang nyangkut di tenggorokan.

Seorang pemuda datang menghampiri mereka, sementara Axel kembali mengarahkan pandangannya ke depan.

“Ini udah malam, Rik. Jangan berisik.” Ujar Axel enteng dan kembali melangkah.

Riko menaikan alisnya, dan menatap Wina dipunggung Axel yang kini menunduk. “Gue nyariin lu karena lu tiba-tiba hilang, kenapa lu sama junior?” Mata Riko masih mengikuti Axel yang melewatinya, dan akhirnya memutuskan mengikuti pemuda itu. “Kalian ngapain? Malam-malam main gendo—“

PLAK!

Dengan tenang, Axel memukul kepala Riko, dari suaranya bisa dibayangkan itu cukup keras membuat pemuda blasteran itu mengaduh. “Jaga mulut lu! Dia jatuh habis dari kamar mandi.”

Riko memegang kepalanya dengan tak percaya, mengejar pemuda itu yang mendahuluinya. “Tapi kan lu gak perlu ngegeplak kepala gue, Xel! Tega banget lu, gak sayang lagi sama gue!”

“Berisik!”

“Hati perjaka gue hancur berkeping-keping!”

“Seakan-akan lu masih perjaka.”

“Gila! Lu gak percaya? Gue itu masih perjaka kali!”

Wina menghela napas, semua kegugupan tadi hilang dan menguap begitu saja dengan kedatangan Riko. Riko yang masih mengoceh protes terdengar berisik di samping mereka, tapi pemuda itu tak lagi bertanya-tanya tentang Wina yang berada di punggung Axel. Sementara Wina, menengadah menatap langit tertutup pohon pinus, pasrah.

Apa maksud kata-kata Axel tadi? Apa dia baru aja ngegodain gue? Ngerayu gue? Apa gue terlalu overthinking?

Tunggu! Dia gak lagi nembak gue kan? Sadar Win, dia udah punya pacar!

Ah, Riko rese! Kenapa dia harus datang disaat yang gak tepat sih?!

***

“Wina!” Rifka yang menatap Wina memasuki tenda, berbisik dengan kaget.

Dengan tertatih-tatih gadis itu mendekati Rifka, berusaha keras tidak menyenggol Risti yang tidur tak jauh dari pintu tenda.

Rifka menarik Wina hingga terduduk di sampingnya saat tangannya menyentuh gadis itu, meraba-raba untuk memastikan Wina utuh dan baik-baik saja. “Lu gak apa-apa kan? Ya Tuhan, gue khawatir banget!”

Wina menunjuk salah satu kakinya yang terjulur, pada pergelangan kaki itu ada perban elastis putih yang melilit. “Keseleo ringan, gue jatuh tadi.”

Mata Rifka melebar, saat melihat perban itu yang ada di pikirannya hanyalah ingin memekik. Tapi untungnya dia bisa menghentikan mulutnya tepat waktu, dan menelan keterkejutan itu diperutnya. “Ya ampun, Win… Kok bisa sih lu sampai jatuh, kak Axel gak ketemu lu?” pelan-pelan Rifka menyentuh perban Wina, takut menyakitinya.

“Kak Axel? Kenapa? Dia nyari gue?” Please Win, jangan ge-er!

“Enggak, tapi gue yang lapor ke dia.” Rifka tanpa ekspresi, dan tanpa merasa bersalah.

Wina menghela napas tak percaya, “Lu ngelaporin gue? Dimana kesetiaanmu, Rifka Indraswari?”

“Kesetiaan gue dikalahkan kekhawatiran lu mati dibunuh pembunuh berantai!”

Wina memberikan tatapan ‘yang benar saja’ pada Rifka. “Ini bukan Eropa abad pertengahan.”

“Kalau ini Eropa abad pertengahan, kekhawatiran gue bukan pada Jack The Ripper, tapi warewolf!”

Wina memijat dahinya, tiba-tiba pusing. “Rif, lu habis baca apaan sih sebelum tidur? Imajinasi lu terlalu liar!”

“Asal lu tahu, gue bahkan gak berani untuk tidur. Makanya gue memutuskan untuk ke kamar mandi buat cuci muka. Di jalan, gue ketemu Kak Axel. Kayaknya dia baru datang, soalnya dia ngelepas jaketnya buat diganti sama almet. Dia lagi ngobrol sama Kak Riko, tapi karena gue khawatir gue akhirnya ngedatangin dia. Lu gak tahu betapa gue takutnya ngomong sama Kak Axel!” Rifka mengeluh.

“Tunggu dulu, Kak Riko juga tahu?”

Sesaat Rifka kosong, memberikan Wina tatapan tidak percaya. “Sepanjang itu kalimat gue, dan fokus lu cuma apa Kak Riko tahu apa enggak?” Rifka mencondongkan tubuhnya ke depan Wina yang refleks menarik tubuh ke belakang. “Hello Win, gue khawatir. Lu sadar apa enggak.”

Wina menahan bahu Rifka, memberikan senyum canggung. “Iya, Rif, iya gue sadar lu khawatir. Tapi gue juga khawatir kalau Kak Riko tahu masalahnya bakal besar. Lu tahu kan, gue ini udah jadi sorotan senior.”

Rifka menarik tubuh dan menghela napas, “Hhh, enggak Kak Riko gak tahu. Gue ngobrol empat mata sama Kak Axel, habis itu dia langsung masuk hutan ninggalin gue, dan gue buru-buru balik ke tenda biar gak ditodong Kak Riko.”

Kelegaan memenuhi hati Wina, dia mundur dan menahan tubuh pada kedua tangan dibalik punggungnya. Wina serius mengatakan tak ingin menambah masalah. Kalau dihitung, masalah Wina sudah cukup banyak, jika ditambah lagi dia takut masa-masa kuliahnya nanti akan semakin sulit.

“Jadi, gimana? Lu ketemu Kak Axel gak? Terus kenapa kaki lu bisa jadi kayak gini?”

“Ceritanya panjang, Rif.”

“Diperpendek.”

“Gue—“

“Rifka? Natasha? Kalian gak tidur?”

Suara serak disebelah Rifka sukses membuat bulu kuduk kedua gadis itu merinding. Serempak, mereka menatap Risti yang sejak tadi tidur tanpa suara, tiba-tiba membuka matanya. Mereka bertanya-tanya apakah Risti mendengar percakapan mereka tadi. Wina bahkan tak ingat apakah diseluruh percakapan mereka berbisik apa tidak.

“Katanya nanti kita bakal dibangunin senior, jadi mending tidur biar gak ngantuk.”

Rifka dan Wina saling pandang, kemudian sama-sama memberikan senyum canggung pada Risti.

“Kita bikin lu bangun ya, Ris? Maaf lu jadi susah tidur.” Wina memancing, ingin tahu sejak kapan Risti terbangun.

“Gak apa-apa, gue juga baru bangun.” Gadis itu menguap. “Gue mau tidur lagi, kalian juga lebih baik cepat tidur.” Ujarnya memelan. Membalikan badan, napas Risti menjadi tenang dan kembali tertidur.

Wina menatap Rifka, dan memberikan isyarat untuk ikut berbaring.

Rifka membalasnya dengan tatapan tak puas. “Lu belum cerita!” ujarnya dengan berbisik nyaris tak bersuara.

Wina sudah berbaring di sebelahnya, menarik Rifka untuk ikut berbaring. “Nanti, gue cerita semuanya ke lu sama Nazwa.” Janjinya. “Sekarang mending tidur, biar Risti gak kebangun lagi.

Menatap Risti sekilas, Rifka terpaksa setuju. “Kira-kira, Risti dengar gak ya?”

“Gue harap enggak.”



----------------------------------------------------------------------------------

MARRY X'MAS!!!!

Ini hadiah natal buat kakak-kakak yang merayakan. Dan hadiah untuk malam minggu untuk kakak-kakak yang sendirian dan gabut. Juga hadiah untuk semua kakak-kakak yang baik hati.

Met malam minggu kakak-kakak ku... >.<




Ps. Ku tiba-tiba jatuh cinta sama Axel. Sigh.... (Inget Rei, dia hanya imajinasimu.)

Clockwork MemoryNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ