58

155 25 2
                                    

"Ngapain aja??" Kedua bola mata Emi bersinar, gadis itu melongokkan kepala di depan kamar Tazkia, menunggu dipersilahkan masuk.

Tazkia yang baru saja pulang ke kosan, setelah diantar Muji, mendesah pelan. Ia menyuruh Emi masuk, disusul Una yang bersidekap di belakangnya. Kedua sahabatnya itu segera duduk di atas karpet, memperhatikan Tazkia yang berganti baju menjadi piyama. Baju yang dipakai Tazkia malam itu dimasukkannya ke dalam tas laundry--ia ingin mengembalikan baju Sisil dalam keadaan bersih dan rapi.

"Tidur." Jawab Tazkia malas, beringsut membersihkan wajahnya menggunakan micellar water di depan cermin.

"Tidur... gitu-gitu?" Tanya Emi penasaran. Bahunya disenggol Una yang risih dengan pertanyaan Emi yang selalu berkonotasi negatif, meski ia sendiri juga penasaran.

Semalam, ia dan Emi sudah larut dalam dunia mereka masing-masing dan tidak memperhatikan Tazkia. Keduanya baru sadar ketidakhadiran Tazkia dan Muji di Southbank saat mau pulang. Ia pun segera mencari kabar Tazkia, setelah ribuan pesan dan panggilan tak terjawab, akhirnya Una dan Emi tahu kalau sahabat mereka berada di rumah Muji. Info itu pun didapatkan keduanya dari Juna yang dikirimin pesan oleh Muji.

"Tidur. Literally tidur." Tazkia menyoroti Emi tajam sambil duduk di hadapan kedua sahabatnya. "Gue nggak ngapa-ngapain sama Muji. Serius!"

"Tapi gue liat lu sama Muji ciuman di depan Bar, Taz." Sahut Emi gregetan.

Jantung Tazkia berdegup kencang, aliran darahnya terpompa kencang hingga membuat wajahnya memanas. Ia masih ingat ciuman itu. Bahkan rasa bibir Muji yang melumat bibirnya pun masih terasa segar diingatannya--membuat bulu kuduknya merinding. Perubahan wajah Tazkia yang menjadi gugup disadari Emi dan Una, kedua sahabatnya itu nyengir.

"Gimana rasanya?" Tanya Una jahil. "Kan, dulu lu sering banget bilang nggak mau ciuman sebelum nikah. Sekarang, kan, kejadian. Menurut lu gimana?"

"Geli." Jawab Tazkia cepat. "Tapi cuma itu doang. Gue nggak ngapa-ngapain sama Muji."

"Ya, lu mau lebih dari itu juga terserah lu, sih, Taz. Asalkan udah consent aja."

"Nggak! Serius! Gue malah nangis semalam."

"Menangis karena sakit?" Tanya Emi dengan kedua mata terbelalak.

"Iya, sakit hati." Sahut Tazkia mencoba sabar. "Sebelum ciuman sama Muji, gue ketemu sama Dika."

"Dika!?"

Una dan Emi berseru lalu saling berpandangan. Mereka tidak percaya kalau Tazkia bisa bertemu Dika di Southbank karena semalam keduanya sama sekali tidak melihat batang hidung pria itu--atau keduanya memang tidak peduli dengan sekitar.

"Iya, rumah produksi yang kerjasama bareng radio Muji itu yang lagi bikin serinya Salif. Webtoon yang diurus Dika." Jelas Tazkia tanpa perlu ditanya.

"Terus?? Dia ngapain ampe lu nangis?" Tanya Una menahan suara agar tidak memekik.

"Dia ciuman sama selingkuhannya. Di depan mata gue." Jawab Tazkia menahan kesal yang tiba-tiba terasa di dada. Ia kesal mengingat pemandangan itu, juga sedih karena menjadi insecure mengingat paras selingkuhan Dika yang jauh lebih cantik darinya.

"Lah? Jangan bilang kamu ciuman sama Muji karena kesal liat Dika?"

"Nggak!!" Elak Tazkia cepat. "Gue nangis, Mi!!"

"Terus? Kenapa lu jadi ciuman sama Muji??"

Tahu akan banyak hal yang harus ia jelaskan kepada kedua sahabatnya. Tazkia berdehem, menceritakan bagaimana Muji meminta izin untuk menciumnya di hadapan Dika dan bagaimana ia terbawa suasana--membalas ciuman Muji yang kalau diingat membuatnya geli. Lalu tentang Muji yang mendorongnya di salah satu bilik toilet, bagaimana ia terus membalas ciuman pria itu sampai tangan Muji mulai meraba tubuhnya di balik pakaian yang ia gunakan semalam.

Diddler [Complete]Where stories live. Discover now