30

141 26 0
                                    

Tazkia mematut wajahnya di depan cermin. Melihat dua mata yang bengkak dan memerah. Beberapa jam lagi ia harus ke kantor untuk bekerja dan ia tidak punya waktu untuk menenangkan diri. Selepas diantar Muji pulang, Tazkia hanya bisa menangis di atas kasur sambil memukul pahanya menggunakan tangan yang ia kepalkan berkali-kali. Paha yang sudah cukup membiru, yang rasa sakitnya terkalahkan dengan rasa sakit yang menyeruak di dada Tazkia.

Entah sudah berapa kali Tazkia menyalahi diri. Ia seharusnya tidak menerima botol alkohol Salif. Ia seharusnya tidak menerima ajakan Muji ke Club. Ia seharusnya tidak sedang bersedih sekarang.

Ponsel Tazkia tiba-tiba berdering. Gadis itu meliriknya sekilas. Panggilan dari Una. Lalu Emi. Dan Juna. Ketiga orang itu memenuhi daftar panggilan tak terjawab juga bar notifikasi chat yang tidak ia buka sejak pulang dari hotel. Tazkia tidak punya energi untuk berbicara kepada siapa pun sekarang. Rasanya Tazkia ingin menenggelamkan diri di laut, menghilang dari peradaban sampai perasaannya membaik. Sayangnya Bandung tidak punya pantai dan ia tetap harus bekerja untuk mendapatkan uang.

"Taz!!" Una berseru dari luar kamar Tazkia. Gadis itu mengetuk pintu beberapa kali lalu memanggil namanya kembali dengan suara lirih. "Taz!! Lu baik-baik aja, kan!?"

Tazkia tidak mampu menjawab. Dadanya sesak dan air mata kembali muncul di pelupuk mata.

"Tazkia!! Please!! Lu baik-baik aja, kan!?"

Kepala Tazkia bergerak ke kiri dan ke kanan. Gadis itu menatap pintu dengan nanar, lalu melirik bayangan Una yang masih berdiri di depan kamarnya dari bawah pintu. Lagi-lagi Tazkia tidak bisa menjawab.

"Tazkia!!" Una kembali berseru, kali ini mengetuk pintu kosannya dengan lebih kencang.

Tubuh Tazkia kaku. Ia masih tidak bisa mengeluarkan suara.

"Taz!!" Panggil Una sambil menghela napas panjang. Gadis itu masih sempat mengetuk pintu kamanya beberapa kali sebelum menyerah.

"Taz! Gue tahu lu lagi nggak baik-baik aja. Tapi, please jawab pesan gue dan bilang lu masih idup! Gue tahu, lu korban di sini dan gue ama Emi berani pasang badan kalau emang lu mau laporin Muji ke kantor polisi!" Jelas Una frustasi di luar sana. Tazkia tetap diam, malah air matanya yang bergerak bebas jatuh dari pelupuk mata.

"Tazkia! Please... jangan pendam semuanya sendiri. Lu tahu masih ada Emut, kan!? Gue sama Emi sayang banget sama lu! Please, jangan bikin kita nggak berguna untuk lu, Taz!" Seru Una lagi--dan tidak sedikit pun Tazkia menggerakkan tubuhnya untuk membuka kunci pintu.

"Taz... gue sama Emi sayang banget sama lu. Kalau lu udah tenang, feel free to contat anyone of us, oke?"

~~~

Muji mengacak rambutnya frustasi. Ia tidak sanggup menghentikan putaran memori yang menampakkan wajah Tazkia yang basah oleh air mata. Gadis itu sama sekali tidak mau disentuh meski Muji ingin memeluknya--untuk menghentikan getaran tubuh Tazkia yang menangis tersedu-sedu. Dada Muji sesak dan ia menyesal sudah melakukan hal bodoh itu. Ia tidak mengira Tazkia akan sesakit itu. Dipikirnya Tazkia sama seperti perempuan-perempuan lain yang tidak pernah menolak ciumannya.

"Gue nggak mau bela lu, ya, Mu kalau misalnya mereka ngelaporin lu ke polisi." Kata Juna tegas sambil mengacak pinggang di hadapannya. Pria itu bisa bicara terang-terangan di kantor yang sudah sepi, hanya ada mereka berdua di ruang tengah sekarang.

"Iya." Balas Muji acuh. Ia juga merasa kesal dengan dirinya sendiri, bukan kepada Juna yang sudah mengirimkannya ribuan kata kasar di chat pagi tadi.

Napas Juna tiba-tiba terhela panjang. Pria berjaket denim itu lalu duduk di samping Muji, menepuk bahu temannya pelan. "Lu ada ngontakin Tazkia hari ini, nggak?"

Muji menggelengkan kepala. Sejak kembali ke rumah ia hanya bisa menatap kolom chat Tazkia. Harapan agar gadis itu mem-block nomornya hingga ia punya alasan untuk tidak menghubunginya pupus sudah.

"Ya... mending jangan dulu." Kata Juna simpati.

"Nggak bakal, Jun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak bakal, Jun. Gue udah janji buat ga temuin Tazkia lagi." Ujar Muji lalu menghela napas gusar. "Tahu nggak, sih? Gue ngerasa bodoh banget. Gue ngerasa brengsek banget. Gue... kayak abis merkosa anak orang, Jun!"

Juna menaikkan kedua alis, agak terkejut mendengar penuturan Muji. Tapi ia tidak mengelak pula. Temannya itu memang benar, apalagi setelah membayangkan apa yang dilakukan Muji kepada Tazkia.

"Ya, gue nggak membenarkan sikap lu, Mu."

"Salif bangsat!" Muji berseru sambil mendorong meja menggunakan kaki hingga meja itu bergeser cukup jauh.

"Mu, dah... Mu. Lu mau salahin Salif juga nggak bikin semuanya balik dari awal."

"Bangsat anjing! Kalau Salif nggak campurin minuman Tazkia..."

"Mu!" Juna menegurnya dengan tegas. "Kalau lu mau salahin Salif, mending lu mikirin kesalahan lu juga! Inget nggak gue nyuruh lu buat nganterin dia ke kosannya!?"

Lantas Muji diam. Pria itu menggeram, mengacak rambutnya frustasi sebelum berdiri dari sofa. "Iya. Gue salah." Kata pria itu geram dan berjalan dengan langkah besar menuju studio siaran.

" Kata pria itu geram dan berjalan dengan langkah besar menuju studio siaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juna mengerutkan dahi. Ia kesal mendengar perkataan Muji tapi karena merasa masih waras, Juna pun tidak memasukkannya ke dalam hati. Ia hanya menghela napas panjang, menggeleng-gelengkan kepala lalu ikut beranjak dari ruang itu.

Don't forget to like and comment yaa kalau suka ^^

Diddler [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang