48

135 26 0
                                    

Senyum Tazkia belum kunjung muncul sejak keluar dari Mall bersama Sisil dan kedua sahabatnya setelah berbelanja baju haram keduanya. Bahkan hingga ia duduk bersidekap di sebuah sofa di dalam ruangan Pub, memperhatikan Emi dan Una yang bercengkrama dengan Sisil juga seorang pria yang dikenalkan gadis itu sebagai pacarnya. Iya. Pria berbanie yang pernah mereka temui di Lengkong Kecil bersama Sisil. Keempat orang itu kelihatan asyik menikmati musik EDM yang terputar di setiap speaker yang terpasang, tertawa sambil menegak minuman beralkohol di tangan mereka.

"Mau nge-dance nggak, Taz!? Sekalian kenalan sama temen-temen aku!?" Sisil berseru saat dirinya berdiri dari sofa sambil menggaet tangan pacarnya.

Tazkia segera menggelengkan kepala. Ia mempersilahkan Sisil, pacarnya dan Emi bergegas dari meja mereka ke tengah ruangan untuk bertemu dengan sekumpulan orang-orang yang cukup dikenalnya sebagai pegiat radio di Bandung. Mulai dari penyiar, tim marketing, hingga tim produksi yang pernah dilihatnya dalam diskusi tahunan bersama PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional). Orang yang ia kenal sepintas dan Tazkia yakin mereka tidak mengenalnya balik.

"Taz?"

Suara Una sedikit lembut menyapa Tazkia yang melamun. Gadis itu menepuk pahanya yang terbuka, menatap Tazkia dengan dua bola mata iba. Tatapan yang menyebalkan.

"Jangan minum banyak." Kata Tazkia tegas.

"Taz... rileks. Set yourself free today, please?"

Napas Tazkia terhela panjang dan gusar. Daritadi ia harus bersidekap dan menyandarkan punggung di sofa agar menghalau rasa dingin yang menerpa. Ia tidak nyaman dan bagaimana bisa ia bebas kalau begitu?

"Na, gue masih parno ke tempat begini. Lu masih inget, kan, kenapa!?"

"I know!" Seru Una cepat. "Tapi Muji udah bikin lu nyaman, kan? Dia udah buktiin kalau dia baik, kan?"

Kedua bola mata Tazkia berputar. "Bukan soal dia baik atau nggak. Gue masih parno. Gue masih takut, Na. Dan gue nggak pengen balik ke tempat begini."

Di balik lagu yang memekakkan telinga, Una bisa merasakan emosi dalam perkataan Tazkia. Dadanya sesak, rasa sesal pun timbul karena sudah memaksa sahabatnya turut datang ke Pub dengan pakaian super minim. Una segera bergeser duduk lebih dekat dengan Tazkia, berniat meraih tangan gadis itu tapi tangannya segera ditepis.

"Gue baik-baik aja. Don't show me that pity face, Na."

"Maaf, Taz..."

"Udah telat. After all gue udah di sini dan gue nggak mungkin ninggalin kalian, kan?"

Una mengangguk lemas sambil menaruh gelasnya di atas meja. Keduanya pun diam dengan suasana awkward yang tercipta. Tazkia, meski kesal, tidak bisa meninggalkan Emi dan Una apalagi kedua sahabatnya itu suka lupa diri setelah meminum alkohol. Ia juga tidak bisa pulang sendiri karena nebeng mobil Emi. Kalau memaksa pulang dengan Taxi, ia parno karena pakaiannya yang terlalu seksi.

"Hey girls..."

"

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.
Diddler [Complete]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz