3

294 36 2
                                    

Tazkia sudah terbiasa dengan bau rokok. Setiap hari ia bergerumul dengan asap dan bau itu di kantor, apalagi sekarang ia jadi ikut menghirup nikotin meski levelnya masih dasar. Tapi, begitu sampai di Club, kebiasaannya itu tidak berarti apa-apa. Asap rokok, bau alkohol dan berbagai macam bau parfum memenuhi indra penciumannya. Entah sudah berapa kali Tazkia mengipas-ngipaskan tangan di depan wajah, mencoba mencari udara segar yang tidak akan pernah didapatkannya selama ia masih berada di dalam bangunan itu.

Bersama Una dan Emi ia memasuki club, berdiri di depan bar setelah memesan minuman. Ketiganya memperhatikan isi Club yang mulai penuh dengan manusia. Tazkia mencoba bersikap senormal mungkin tapi Una tidak. Gadis itu daritadi memicingkan mata, memperhatikan manusia di sekitar mereka yang asyik berjoget di bawah kerlap kerlip lampu disko.

"Sumpek!" Seru Una kesal.

Emi yang terbiasa ke tempat Clubbing di Kota Bandung tertawa. Ia menepuk lengan sahabatnya itu pelan. "Kamu kalau nggak mau sumpek ya jangan ke Club, lah!"

Una mengerucutkan bibir. "Terus ini kita ngapain? Ga bisa duduk, ya?"

"Bisa! Bayar 2 juta, mau!?"

"Serius!?" Una melebarkan mata dan lagi-lagi Emi tertawa. Tazkia hanya bisa menghela napas pelan. Ia juga ingin sekali duduk, tapi ia tahu, harga open table cukup mahal meski mereka sudah patungan sekali pun.

Begitu minuman mereka sudah jadi, ketiganya memilih berdiri di dekat Bar, menikmati sedikit-sedikit minuman itu sebelum beranjak ke tengah ruangan untuk berdansa. Hanya Una dan Emi yang memesan minuman beralkohol. Tazkia memilih mocktail karena ia yang harus membawa mobil saat pulang nanti. Lagipula ia tidak pernah tahu kadar ketahanannya terhadap alkohol sampai mana--Tazkia tidak pernah minum dan tidak tertarik pula untuk mencobanya.

"Yuk!" Emi menggerakkan kepala, mengajak kedua temannya membaur di sana.

Karena tidak mau berdiri seperti orang bodoh, Tazkia dan Una pun menyanggupi ajakan Emi dan berdansa di tengah ruangan, mengikuti lantunan lagu yang memekakkan telinga. Yang awalnya terasa awkward akhirnya terbiasa dan tertawa karena bisa melepas sedikit beban yang diemban mereka setiap hari.

"Kalau lagunya Korea bakalan lebih seru anjir!!" Cetus Una sambil berjingkrak-jingkrak senang.

Tazkia dan Emi segera tertawa, menyetujui seruan Una di tengah musik EDM yang makin tidak jelas melodinya. Ketiganya asyik berdansa, tidak peduli dengan apapun di sekitar mereka. Semua orang yang ada di sana pun nyatanya tidak pernah peduli. Tujuan mereka ke club pun sama; melepaskan stress.

Energi Una dan Emi cukup tinggi. Tazkia heran, ia tidak tahu apakah kedua temannya itu sudah dipengaruhi oleh alkohol sampai bisa sesemangat itu atau memang keduanya suka berdansa dengan alunan musik EDM. Yang jelas, Tazkia segera menarik diri dari lantai dansa karena merasa lelah, ia duduk di salah satu kursi kosong depan bar, memesan satu gelas mocktail lagi.

Sembari menunggu pesanannya dibuat, Tazkia mengedarkan pandangan ke seisi club. Ia melihat beberapa orang yang pernah dilihatnya di media sosial. Para influencer, musisi lokal yang pernah mendatangi radionya untuk promosi, bahkan beberapa penyiar dari radio ternama.

Tazkia menelan ludah, sedikit takut kalau orang-orang itu mengenalinya.

Tapi, siapa yang kenal Tazkia? Ia tidak pernah bergaul dengan penyiar di radio lain. Tidak menjadi influencer pula meski sudah menjadi penyiar radio.

"Hai!"

Napas Tazkia tertahan. Bahunya ditepuk oleh seorang pria.

"Sendirian!? Mau gabung ke meja kita, nggak!?" Seru pria berwajah arab itu dengan santainya.

Diddler [Complete]Where stories live. Discover now