EGO MERUNTUH

61 2 0
                                    


Salah satu murid mengangkat tangan kanannya. "Kita mau ke mana ya, Bu?" Tanya salah satu murid membuat seluruh murid juga ikut bertanya-tanya.

"Masih dirahasiakan. Intinya kalian akan tau ketika sudah sampai di tempat tujuan, dan ibu yakin kalian pasti akan suka."

Para murid berbaris rapi menunggu giliran masuk ke dalam bus. Ryan dan Sely berjalan bersebelahan kemudian berhenti di antara dua bus yang berbeda, yaitu bus kelas XA IPA dan bus XIIB IPA. Mereka berdua berdua saling menatap satu sama lain dengan lirikan mata canggung, hanya seper kian detik untuk berani mempertemukan manik mata mereka.

Sely membuang gitu saja tatapan matanya sembari berjalan masuk ke dalam bus yang tepat berada di hadapan.

Ryan terdiam dengan wajah kecewa, karena tidak bisa satu bus dengan Sely.

Ce-elah entar juga ketemu lagi kalau udah sampai. Sely juga enek kali liat muka lo terus.

Sely melangkah di antara barisan bangku untuk mencari tempat yang telah diatur sesuai dengan nama. Setelah beberapa kali melihat satu persatu, akhirnya ia menemukan bangku yang bertuliskan namanya. Kursinya tepat di barisan tengah antara bangku lain, lalu ia segera menghampiri dan duduk.

"Lo duduk di sini ternyata?" Ungkap Faris, kedatangannya begitu mengejutkan Sely.

"Iya, kak." sahut Sely.

"Kebetulan bangku gue di sini juga, buat mengawasi murid lain."

Sely tertawa kecil. "Iya, kebetulan banget."

"Gue boleh duduk di sini?" tanya Faris, seraya menunjuk ke arah bangku yang berada di sebelah Sely.

"Bolehlah, kan Ini bangku kakak." Sely duduk di bangku bersebelahan dengan kaca.

Setelah memastikan Faris duduk, Sely dengan rasa ragu ingin menanyakan sesuatu. Matanya terus melirik kepada Faris. "Aku boleh nanya sesuatu nggak?"

Faris menoleh ke arah Sely. "Boleh, nanya apa?" tanpa pikir panjang ia memfokuskan pandangan dengan lawan bicaranya.

"Mereka berdua itu punya masalah apa ya sampai saling dendam, terus aku dengar defi ada bilang tentang masa lalu, dan ada juga yang bilang mereka sahabat." Sely melontarkan beberapa pertanyaan yang sedari tadi mengusik pikirannya.

Faris tertegun sejenak, kemudian menghela nafas diiringi senyuman tipis. 'Maksud lo Ryan sama Galen?" Ia menaikkan kedua alis. "Dulu waktu mereka masuk di sekolah SMA Tirta Cahaya, Galen dan Ryan ada di kelas yang sama, kelas XB IPA. Mereka bersahabat nggak cuman berdua, tapi berempat."

Sely terkesiap. "Siapa lagi?"

"Ryan, Galen, Defi, dan satu temannya lagi, ada."

Sely mengedipkan mata beberapa kali. "Jadi Defi juga bersahabat sama ketiga cowok itu?"

"Iya, gue tau cerita mereka waktu di kelas X, karena cerita-cerita yang beredar di sekolah. Kalau untuk masa kecil mereka gue kurang tau banyak."

Sely begitu antusias ingin mengetahui hal yang diketahui Galen. "Terus?"

"Mereka sering nongkrong di lantai loteng apartemen bapaknya Defi, waktu itu masih SMP. Sampai suatu hari salah satu dari mereka melakukan bunuh diri di loteng apartemen itu, lompat dari lantai 12 dan akhirnya meninggal di tempat. Nah, setelah kejadian tersebut, mereka saling asing kaya sekarang, terutama Galen dan Ryan. Gue kurang tau masalah awalnya apa."

"Kalau boleh tau, nama satu teman yang bunuh diri itu siapa, ya?" tanya Sely, dengan rasa penasaran nya.

Faris berfikir sejenak. "Namanya Paz-"

Tiba-tiba saja ada yang menepuk bahu kanan Faris yang membuat pembicaraannya terputus. "Eh, gue duduk di sini boleh ya?" pinta Ryan, orang yang mengejutkan Faris dan Sely.

Apa yang dilakukan Ryan di bus khusus kelas X IPA ini?

Faris merasa kesal. "Lo bikin kaget gue, Yan"

Ryan tersenyum ledek. "Ya sorry. Jadi boleh ya?"

"Lah? lo kan di bus sebelah, bukan di sini."

"Gue males di bus sebelah, banyak tikusnya."

"Dih, teman lo juga," imbuh Faris, tertawa kecil geli.

Dengan terpaksa Faris mengizinkan Ryan untuk duduk di tempatnya dengan Sely yang hanya membuang mentah-mentah wajahnya dengan menatap jendela bus.

Ryan tersenyum girang. "Yes, makasih, pul."

Faris melontarkan tatapan silet kepada Ryan bak ingin menerjang buas, kemudian menghentikan pergerakannya yang ingin bangkit dari kursi.

Ryan tertegun sesaat. "Iya, Faris."

Panik kau bang

Hingga Ryan duduk di tempat yang ia inginkan, tepat bersebelahan dengan Sely yang menjadi tujuan awal sampai nekat pindah bus.

Sedangkan Faris duduk di bangku kosong bagian depan karena iya mempunyai tanggung jawab mengawasi murid-murid sepanjang perjalanan.

Setelah semua murid dipastikan sudah berada di dalam bus, akhirnya bus-bus tersebut pun mulai berangkat untuk mengantarkan seluruh murid ke tempat tujuan yang padahal masih belum diketahui oleh para murid.

Defi yang duduk sendirian di barisan kursi belakang hanya sibuk memainkan ponsel nya. Di dalam layar ponsel terlihat foto-foto ia dan Friska masih menjadi sahabat dekat.

"Akhirnya gue mengalami kehilangan untuk kedua kalinya, dengan masalah yang berbeda,"

batin Defi. Kini bola matanya mulai berkaca-kaca, membendung kesedihan yang ia rasakan. Seperti kehilangan seseorang yang sangat mengerti sikap dan perilakunya.

"Ini semua bukan salah Friska, tapi salah gue. Kelicikan gue yang merugikan orang lain bahkan buat sahabat gue. Tapi dengan cara itu gue bisa dapat apa yang gue mau." Defi terlarut di angan-angan penyesalan dan terus berpikir kalau tidak ada lagi yang ingin berteman dengannya lagi.

"I'm alone."

Defi menoleh ke kiri dan melihat Friska yang berada tepat di seberang barisan kursi. Terlihat Friska menatap datar ke arah luar jendela dengan telinga yang senantiasa tertutup dengan earphone.

"Tolong perhatiannya!" kata Faris, berdiri di bagian depan membuat murid lain segera terfokus kepada ketua OSIS tersebut.

"Jadi kita bakalan melakukan perjalanan selama 6 jam, nanti setiap 2 jam sekali kita singgah untuk beristirahat sejenak, makan, minum dan yang ingin ke kamar kecil. Kalau lokasi yang akan kita tuju masih dirahasiakan guru dan para sopir bus. Mereka nggak akan mengungkapkan sampai kita lihat sendiri ketika sampai nanti."

"Hah! beneran nih 6 jam? lama banget!!" ucap salah satu siswi.

"Saya yakin, lelah dan sabar kalian akan terbayar ketika sampai nanti," imbuh Faris. Setelah menyampaikan beberapa informasi ia kembali duduk.

"Sel, kalau lo ngantuk gue bisa kasih bahu gue kok, free." Ryan menepuk-nepuk bahu kirinya berulang kali.

Sely tersenyum kecut. "Thanks, gue bawa bantal leher kok, lebih empuk dari bahu lo!"

Ryan seketika terdiam atas jawaban Sely, akan tetapi bibirnya perlahan membentuk senyuman tipis. "Memang ya, kalau di dekat lo tuh bawaannya senang."

Sely mengerutkan alis."Dih! siapa juga yang lagi melawak? aneh."

"Egois itu tidak baik, akan tetapi tidak buruk juga. Dia hanya harus ditempatkan di tempat yang seharusnya saja."

ASTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang