SELALU ADA

72 5 0
                                    

Dengan gagah seorang laki-laki berjalan di koridor sekolah untuk menuju kelas. Murid cewek yang berada di pinggir koridor yang terlihat sedang duduk santai seketika mengalihkan tatapan mereka ke arah laki-laki tersebut.

Tidak sesekali lelaki itu memainkan rambutnya yang terlihat lumayan tebal berwarna hitam pekat. Sehingga, ketika ia menyisir rambut ke arah belakang dengan jari, rambut itu akan kembali ke posisi semula. Dengan percaya diri dan gaya bak model, ia memperbaiki kerah baju dengan dua kancing yang terbuka bebas, nyaris memperlihatkan dada bidangnya.

Gplak!

Tiba-tiba sebuah kertas mendarat di wajah Ryan. Suara kaset rusak akhirnya berbunyi. Ryan mematung dengan ke dua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

"Ada surat buat lo," tutur Faris. Ia yang menempelkan sebuah kertas tersebut di wajah Ryan. Faris mengambil kembali kertas yang tertempel menutupi pandangan Ryan.

"Eh, Apul," sapa Ryan, ter cengir lebar kepada Faris.

"FARIS!! NAMA GUE FARIS AFARKA! BUKAN APUL!" seru Faris, menahan emosi yang menggebu-gebu.

Selama Ryan satu kelas dengan Faris. Ia sudah terbiasa memanggil Faris dengan sebutan Apul. Entah nama dari mana yang diciptakan Ryan untuk Faris itu. Faris sudah sangat sering memprotes kepada Ryan bahwa namanya bukanlah Apul. Namun, Ryan merasa nama tersebut sangat cocok dengan Faris

Ryan tercengang melihat ekspresi Faris. "I-iya, nggak usah gas juga kali." Ryan menepuk pelan bahu Faris agar amarahnya mereda. "Santai-santai, kalem."

Faris membuang muka malas. "Nih." Faris menyodorkan sebuah kertas yang berisi tulisan.

"Apa nih?" tanya Ryan, seraya menerima kertas tersebut.

"Tagihan listrik," tukas Faris.

"Hah! iya kah? Astagfirullah, bener. Gue lupa bayar listrik bulan ini, untung lo ingati." Ryan menepuk bahu Faris, lagi.

Saat ini Fariz sudah sangat gemas. Ia mencengkeram kedua tangannya ke depan wajah Ryan. Ingin sekali memegang leher Ryan dengan kuat, sekuat-kuatnya. Sesekali Faris mengacak-acak rambut karena stres menghadapi makhluk yang berada di depan mata ini.

"Ini kertas undangan dari sekolah buat orang tua," jelas Faris, berusaha menahan emosi.

Ryan mengangguk pelan. "Terus."

"Adryan Gletser Bhalendra." Faris sedikit menekan suaranya.

"Wish, udah kayak mau ijab kabul aja lo pake nama lengkap segala." Ryan terkekeh.

Faris menghela nafas dengan keras. "Lo sekolah?" tanya Faris, singkat.

"Sekolah."

"SMA atau TK."

"SMA."

"BACA!" murka Faris, sambil menunjuk ke arah kertas yang dipegang oleh Ryan.

"Oh, thanks Pul." Ryan beranjak pergi meninggalkan Faris dengan mata terfokus ke kertas yang ia pegang.

Faris berbalik badan melihat punggung Ryan dari kejauhan kemudian mendekatkan tubuhnya ke depan tembok. "AHHHHH!!!!!" Faris mengamuk seraya membenturkan kepala yang tidak menyentuh tembok sedikitpun.

Tanpa ia sadari, dua cowok yang lagi lewat melihat tingkah Faris. "Kenapa tuh," tanya salah satu teman di sebelahnya.

"Stres mungkin."

"Iya kali, makanya nggak usah pintar-pintar, entar jadi kayak dia lagi." Mereka menggelengkan kepala secara pelan.

***

ASTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang