Setiap kata-kata Mama itu sejujurnya menusuk hati Wina berkali-kali, dan tetesan air mata gadis itu semakin deras membasahi punggung tangan di atas pangkuannya. Tak satupun kata yang diucapkan Mama tidak bisa dia terima, meski dia tahu apa yang dituduhkan Mama tidak sepenuhnya benar. Hanya saja, berbohong jelas merupakan kesalahan utamanya, dan dia merasa bersalah karena itu. Jadi Wina tak berani berkata apapun.
Mama yang menatap Wina sejak tadi jelas jengkel dan marah, tapi disatu sisi melihat gadis itu menunduk dengan air mata yang menetes membuat hati keibuannya tak tega. Jadi dia berdecak dan mencoba sekuat tenaga menahan amarahnya yang tersisa. Alih-alih, dia mengulurkan tangan. “Mana ponsel kamu.”
Gemetar, Wina mengulurkan ponselnya, air matanya masih belum berhenti. Pada saat ini, dering telepon mengejutkan gadis itu. Melirik Mama yang sudah menyentuh ponselnya, tiba-tiba saja Wina tidak ingin menyerahkannya jadi dia mencengkram ponselnya dengan erat.
Seketika itu juga kekesalan Mama kembali, dan akhirnya merebut ponsel yang masih berdering itu.
Ketakutan, Wina menatap Mama dengan tatapan memohon. “Ma, Ma, jangan dijawab, please. Ini salah Wina, bukan salah dia. Wina yang pergi sendiri, lagian dia baru kemalangan, Wina mohon, Ma.” Wina tahu dia salah, dan dia tidak ingin melibatkan Axel, lagipula bukan salah pemuda itu Wina membohongi orang tuanya dan pergi ke Semarang sendirian. Juga, Wina malu kalau sampai Axel juga dimarahi oleh Mama atas kesalahannya sendiri.
Menatap anak yang sejak tadi begitu ketakutan tiba-tiba saja agresif, Mama berdecak, benar-benar kesal. Tapi pada akhirnya dia hanya menonaktifkan ponsel Wina dan mencabut kartu simnya. “Mulai sekarang, kamu gak diijinkan lagi memakai ponsel, dan hapus semua game dari laptop kamu. Selain untuk keperluan sekolah kamu, kamu gak boleh memakai laptop!”
Wina terkejut dengan keputusan Mama, namun dia tidak punya cukup keberanian untuk membantah. Kalimat tadi sudah merupakan seluruh keberanian yang dia punya.
“Mama sama Papa kecewa. Kamu sudah mengkhianati kepercayaan kami. Gak nyangka anak yang kami besarkan bisa semudah itu berbohong.” Melempar ponsel Wina di atas meja, amarah ibunya terasa menekan. “Mama harap ini yang terakhir kalinya kamu bohong. Pikirkan baik-baik kesalahan kamu.” Lalu, Mama bangkit dari duduk meninggalkan Wina yang terisak tanpa kata.
Pada akhirnya, gadis itu hanya bisa tertunduk. Pikirannya campur aduk ternoda oleh rasa bersalah yang sangat dalam
***
Kalau bisa memilih, Wina ingin bolos saja hari ini. Tapi itu tidak mungkin, pasalnya kemarin dia sudah membolos, dan dua hari berturut-turut itu akan membuat gurunya mempertanyakan dan akan memicu kemarahan orang tuanya lagi. Jadi, dengan terpaksa gadis itu datang kesekolah dalam semangat yang rendah.
Memasuki kelasnya yang selalu sama ramainya dengan hari-hari biasa, Wina malu jadi dia menundukan wajahnya dalam-dalam tidak mau ada teman sekelasnya yang tahu kalau wajahnya sembab karena menangis semalaman. Dengan gugup, dia menutupi mata dengan poni yang hampir menyentuh ujung hidungnya, dan perlahan-lahan berjalan menuju mejanya menghindari Toni teman sekelasnya yang dikejar-kejar bendahara kelas.
Mengambil tempat duduk di sebelah Ditha yang bahkan tak menyapanya seriang biasa, Wina masih tidak mengangkat kepalanya.
“Sejak kapan Nenek gue meninggal?” setelah jeda yang cukup panjang, Ditha akhirnya mengejutkan Wina dengan nada yang sinis.
Wina yang berpura-pura sibuk mengeluarkan buku Bahasa Indonesia ke atas meja, membeku. Mencengkram bukunya erat-erat, Wina bahkan tak menoleh, “sorry, Dith.” Bisiknya.
Ditha berdecak, bangkit dari duduknya dan mengambil tasnya, pindah ke tempat duduk kosong di pojok kelas meninggalkan Wina sendirian.
***
Setelah pelajaran pertama berakhir, Wina minta ijin untuk istirahat di UKS. Guru piket yang melihat wajah Wina sembab dan tampak lesu akhirnya mengijinkannya setelah memeriksa bahwa Wina tidak demam.
Jadi, hingga bel istirahat berbunyi Wina hanya berbaring di ranjang UKS, memejamkan mata walau dia tidak benar-benar tidur. Setelah menangis semalaman dan kurang tidur, kepalanya sekarang sakit.
Suara pintu UKS yang terbuka menyadarkan Wina, tapi gadis itu tidak berniat untuk bangun. Hingga seseorang duduk di kursi sebelah tempat tidurnya dengan berisik, Wina membuka mata untuk menemukan Gita yang memandangnya dengan menilai. “Apa? Datang buat nyindir-nyindir gue?” Suara Wina serak dan terdengar lelah, dia kemudian membalikan tubuhnya. “Gue udah cukup dengar semua itu dari Ditha, bisa gak kalau lu gak usah nambahin?”
Gita menarik bahu Wina untuk kembali menghadapnya. “Apa lu gak ngerasa bersalah? Wajar kalau Ditha marah, tapi apa hak lu buat marah?”
Dengan kasar Wina duduk, menyingkirkan tangan Gita dari tubuhnya. Tatapan mata gadis itu sengit. “Ya, wajar Ditha marah! Terus, apa hak lu juga buat marah?”
Berdiri dengan kesal, Gita berkacak pinggang. “Gue kesini niatnya mau nengahin lu sama Ditha, kenapa lu jadi nyerang gue terus?!”
Wina terdiam, dengan perlahan dia mengusap air mata yangternyata telah meleleh di pipinya. “Gue minta maaf Git, gue gak maksud bentak-bentak lu. Tapi sungguh, kepala gue mumet. Gue gak tahu lagi harus gimana.”
Gita menghela napas, dan duduk disamping Wina. Merangkul bahu gadis itu dan menepuk-nepuknya pelan sementara Wina sekarang benar-benar menangis. “Pertama-tama, ada baiknya lu ceritain apa yang sebenarnya terjadi. Jadi gue juga tahu harus gimana. Gue rasa belakangan ini banyak hal yang lu rahasiain dari kita, jadi gue harap lu sekarang jujur, kemana lu dua hari kemarin?”
Dengan kosong, Wina memeluk lututnya, dia tahu cepat atau lambat dia harus menceritakan masalah Axel kepada mereka berdua. Tapi dia tak pernah menyangka, akan dimulai dengan sebuah kesalahpahaman.
***
“Dua bulan, Win? Anggap aja itu khilaf, kesalahan masa muda.”
----------------------------------------------------------------------------------
SELAMAT MALAM MINGGU!!!!
❤️❤️❤️
ESTÁS LEYENDO
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 24
Comenzar desde el principio
